ads
Friday, July 4, 2014

July 04, 2014
Menjelang shalat Isya' tadi dapat SMS dari ibu saya di kampung. Pukul 18:52.

"Piye le? Ramene opo ning kono? Dunyo wes rusak tenan!" [Bagaimana, Anakku? Yang ramai apa di sana? Dunia benar-benar sudah rusak!]

Begitu SMS dari ibu saya. Namun, tidak serta merta SMS tersebut membuat saya paham dalam sekali baca. Saya coba membaca sekali lagi, tetapi tetap gagal memahami. Yang jelas, dari SMS itu saya bisa merasakan ada kesedihan mendalam yang menyesaki batinnya. Andai saya bisa bertemu muka langsung dengan beliau malam ini, mungkin bisa kulihat tetesan air matanya seperti yang sudah-sudah.

Ya, ibu saya memang mudah bersedih dan menangis, bahkan sering juga terlecut emosi. Entah karena hal-hal kecil menyangkut urusan pribadi maupun perkara besar berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Demi mendapat jawaban yang gamblang, akhirnya saya kirim SMS balasan yang saya harap bisa menenangkan beliau.

"Pripun, Bu'? Wonten nopo?" [Bagaimana, Bu? Ada apa?"]

Beberapa menit belum ada balasan dari beliau membuat hati saya resah. Maksud hati ingin menelepon beliau, akan tetapi urung karena saya harus shalat Tarawih. Sehabis Tarawih pun saya harus melanjutkan pengajian rutin di mushalla. Barulah selepas pengajian saya lihat HP; sudah ada SMS balasan dari beliau.

"NU gonmu kampanye Jokowi po ra?" [Nahdlatul Ulama di daerahmu kampanye untuk Jokowi apa tidak?]

"Lha pripun tho, Bu'? Wonten nopo?" [Lha memangnya bagaimana toh, Bu? Ada apa?] SMS saya. Pertanyaan ini saya sampaikan sekadar untuk menenangkan hati beliau yang sedang gundah dan galau. Walaupun sebetulnya saya mulai mengetahui sumber kesedihan dan kegundahan beliau, yaitu tentang Pilpres dan Netralitas NU. Dalam konteks ini adalah Muslimat NU, karena selama ini beliaulah yang diamanahi sebagai ketua Muslimat NU di kecamatan. Selain bertujuan menenangkan, pertanyaan saya juga bermaksud mengetahui lebih jelas penyebab kesedihan beliau.

Tiga menit kemudian beliau mengirim SMS balasan ke HP saya.

"Mau sore aku diwehi kaos karo sarung cap Jokowi seko Muslimat NU. Kak Itah yo iyo." [Tadi saya saya diberi kaos dan sarung bercap Jokowi dari Muslimat NU. Kak Itah juga dapat.]

Kak Itah adalah panggilan karib kami kepada Kakak pertama kami, Miftahul Huda. Dia juga aktif dalam struktural NU di kecamatan.

Saya menarik napas dalam. Saya memahami kesedihan hati beliau. Kesedihan dari seorang yang sudah sepuh (tua), yang sudah 50 tahun mengabdi dan berjuang di beragam badan otonom NU, mulai IPPNU, Fatayat NU, hingga Muslimat NU. Selama itu pula beliau menyaksikan riak-riak kecil maupun besar di tubuh ormas Islam berlambang tali jagat itu. Riak-riak yang di antaranya kerap muncul pada momentum pemilihan umum, baik legislatif maupun presiden. Termasuk dalam Pilpres bulan ini.

Barangkali kesedihan beliau adalah karena adanya bingkisan berlabel Jokowi dari Muslimat NU tersebut. Bukankah secara keorganisasian NU itu netral? Mungkin begitu batin beliau.

Lagi-lagi demi menenangkan hati beliau, dan sekadar membuat tersenyum

beliau, saya kirimkan SMS balasan berikut.

"Nggih mpun ditampi mawon, Bu'. Anggep mawon sedekah saking capres kangge rakyat jelata kados awake dewe." [Ya sudah, diterima saja, Bu. Anggap saja itu sedekah dari capres untuk rakyat jelata seperti kita.]

Belum sempat mendapat SMS balasan dari beliau, buru-buru saya kirim SMS lagi. "Lha jenengan ajeng milih sinten, Bu? Menawi cocok kalih Jokowi, nggih monggo nyoblos Jokowi. Nanging menawi cocok kalih Prabowo Subianto, nggih coblosen gambar Prabowo." [Lha Anda mau memilih siapa, Bu? Kalau cocok dengan Jokowi, ya silakan coblos Jokowi. Tapi kalau cocok dengan Prabowo, ya cobloslah gambar Prabowo.]

"Muslimat NU ki netral. Ora melu partai-partainan. Tapi aku pribadi sak keluargo wes manteb milih Prabowo." [Muslimah NU itu netral. Tidak ikut parta-partainan. Tapi, saya pribadi dan keluarga (maksudnya kakak2 dan adik2 saya) sudah mantab memilih Prabowo.]

"Ooo.. nggih mpun. Mugi-mugi berkah. Sedoyo sami rukun senajan bedo2 pilihane." [Ooo.. ya sudah. Semoga berkah. Semua rukun walaupun berbeda pilihannya.]

Dalam hati saya juga berdoa semoga NU dan badan otonomnya tetap berwibawa sebagai suatu ormas Islam yang memayungi dan mengayomi seluruh jamaahnya, walau berbeda partainya dan berbeda pula pilihan capres-cawapresnya.

"NU bukan bagian dari partai politik apa pun. Bukan bagian dari PDIP, GOLKAR, PD, GERINDRA, PKB, PPP, dan seterusnya. Bagi saya, Karena NU jauh lebih besar dari partai, justru partai2lah yang jadi bagian dari NU. Dan banyak sekali kader2 NU ada di dlmnya.” Demikian di antara tweet Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Agil Siraj melalui akunnya @saidaqil. Dengan demikian, tidak selayaknya NU dan badan otonomnya ditarik-tarik ke sana kemari untuk ikut beradu jago di pentas politik praktis dengan membawa bendera dan lambang NU maupun badan otonomnya.

Ulurkan 5 jari Anda, kan kuulurkan 5 jari saya. Kita bersalaman! Salam ukhuwah! Salam persaudaraan! Salam Indonesia Raya!

NB.
1) Tentang ibu saya bisa dilihat di link ini --> http://www.nu.or.id/
2) Tentang tweet Ketua Umum PBNU: https://twitter.com/saidaqil atau http://www.nu.or.id/

3) Redaksional SMS aslinya banyak berupa singkatan, biasaaaa demi penghematan pulsa. Hehehe... Tapi, dalam postingan ini saya tulis secara sempurna tanpa singkatan, agar lebih mudah dan nyaman dibaca.

0 comments: