Pengertian Aqiqah
Aqiqah menurut bahasa berarti rambut di kepala bayi yang baru
lahir.[1]
Dalam arti yang lain, aqiqah adalah memotong.[2]
Adapun menurut istilah syara’, aqiqah adalah hewan yang disembelih pada hari
pencukuran rambut bayi yang baru lahir.[3]
Ada pula yang mendefinisikan sebagai penyembelihan kambing karena kelahiran
seorang bayi.[4]
Dan, masih banyak lagi definisi lain, yang pada intinya semua definisi itu mencakup
dua unsur pokok, yaitu penyembelihan hewan dan dilakukan karena
kelahiran seorang bayi.
Hukum Aqiqah
·
Mayoritas
ulama ahli fiqih menyimpulkan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah, bukan
wajib. Bahkan menurut ulama Syafi’iyah, seandainya bayi itu meninggal
sebelum berusia 7 hari, aqiqah tetap sunnah dilakukan.[5]
·
Adapun
menurut ulama Hanafiyah, hukumnya adalah mubah (dilaksanakan tidak dapat
pahala, ditinggal pun tidak berdosa).
·
Ada
juga yang mengatakan wajib, yakni pendapat Imam Hasan Al-Bashri dan Imam
al-Laitsy.[6]
Dasar Pijakan Aqiqah
Ada banyak dalil yang bisa dijadikan pijakan disunnahkannya aqiqah,
di antaranya adalah beberapa hadits berikut.
كُلُّ غُلَامٍ
مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
وَيُسَمَّى
“Setiap anak
digadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7 dari kelahirannya,
dicukur rambutnya, dan diberi nama” (H.R.
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Tirmidzi)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ أَنْ
يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ
) رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَه ُ
“Dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw memerintahkan
mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (cukup umur) untuk bayi
laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan.” (Hadits shahih riwayat
Tirmidzi.)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَاَلَ
: قَاَلَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَحَبَّ
مِنْكُمْ اَنْ يُنْسَكَ عَنِ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ الْغُلاَمِ شاَتَاَنِ
مُكاَفأَ َتاَنِ وَعَنِ الْجاَ رِيَةِ شاَةٌ . (رواه احمد وابو داود والنسائى)
“Barangsiapa di antara kalian ingin beribadah tentang anaknya,
hendaklah dilakukannya; untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya
dan untuk anak perempuan seekor kambing.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Nasai)
Hewan Aqiqah
·
Untuk
mendapatkan kesunnahan yang sempurna (akmal as-sunnah), hewan yang
disembelih adalah 2 ekor kambing untuk anak laki-laki dan 1 ekor
kambing untuk anak perempuan.
·
Kambing
yang akan disembelih tersebut telah memenuhi syarat sebagaimana syarat hewan
qurban, yaitu sehat, tidak kurus, dan tidak cacat serta telah berusia 1 tahun
atau pernah berganti gigi.
·
Walaupun
demikian, jika tidak mampu 2 ekor kambing maka boleh dan sah beraqiqah
dengan 1 ekor kambing baik anaknya perempuan atau anak laki-laki.[7]
Dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata,
“Rasulullah Saw pernah mengaqiqahi Hasan dan
Husain (cucu beliau), masing-masing satu ekor domba.” (H.R. Abu Daud) [9]
·
Hewan
aqiqah tidak harus jantan, tetapi boleh juga betina. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا
يَضُرُّكُمْ أَ ذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا
“Untuk anak laki-laki (diaqiqahi)
dengan 2 kambing, sedangkan anak perempuan dengan 1 kambing, entah itu kambing
jantan maupun betina.” (HR. An-Nasai dan Abu Daud)
·
Bolehkah
aqiqah dengan selain kambing? Dalam hal ini para ulama ahli fiqih berbeda
pendapat.[10]
a)
Mayoritas
ulama membolehkan aqiqah dengan selain kambing, yakni dengan hewan-hewan yang
sah untuk qurban (sapi/kerbau dan unta).[11]
Namun, para ulama yang berpendapat demikian masih berselisih pendapat tentang kebolehan
satu sapi atau unta untuk 7 anak. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa 1 sapi
atau unta boleh untuk 7 anak (sebagaimana ketentuan qurban), tetapi ulama dari
madzhab lain berpendapat 1 sapi atau unta hanya sah untuk 1 anak.[12]
b)
Sebagian
ulama lain (zhahiriyah) tidak membolehkan aqiqah dengan selain kambing.
·
Bolehkah
aqiqah dengan cara bersedekah uang seharga kambing? Salah satu inti aqiqah
adalah adz-dzabihah (sembelihan), karena itulah aqiqah harus
berupa penyembelihan hewan. Tidak boleh diganti dengan uang.[13]
Waktu Aqiqah
Waktu yang paling utama (afdhal) untuk melaksanakan aqiqah adalah
pada hari ke-7 dari kelahiran. Jika tidak bisa pada hari tersebut, boleh menyembelihnya
pada hari ke-14. Jika tetap tidak bisa maka boleh pada hari ke-21, dan
seterusnya sampai mampu.
Wahbah Zuhaili dalam Fiqih Imam Syafi’i menyebutkan bahwa
waktu pelaksanaan aqiqah berlangsung sejak hari kelahiran hingga menginjak
usia baligh. Adapun waktu penyembelihannya disunnahkan di antara waktu dhuha
hingga tergelincirnya matahari.[14]
Karena itulah tidak apa-apa jika aqiqah dilakukan sebelum hari ke-7, karena
pada intinya aqiqah itu dilakukan setelah adanya sebab, yaitu kelahiran.[15]
Siapa yang Mendapat Perintah Aqiqah?
Pada dasarnya yang mendapat perintah (disunnahkan) beraqiqah adalah
orang tua atau wali dari si anak. Perintah ini tetap melekat di atas pundak orang
tua atau wali sampai si anak mencapai baligh. Jika sudah baligh, terlepaslah titah
tersebut dari orang tua atau wali. Selanjutnya, pada masa baligh ini, orang
tua/wali dibolehkan memilih antara mengaqiqahi atau tidak. Atau, boleh juga si anak
yang sudah baligh tersebut mengaqiqahi dirinya sendiri. [Walaupun dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat.][16]
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin
Malik rodhiyallohu 'anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
“Bahwasanya
Nabi Saw beraqiqah untuk dirinya sendiri setelah nubuwwah (menjadi Nabi).” (Sunan Kubro, no.19273)
Meskipun
Imam Baihaqi menyatakan bahwa hadits ini munkar yang berarti tidak dapat
dijadikan dasar hukum, namun Syekh Zainuddin Al-‘Iraqi dalam Torhut Tatsrib
menyatakan bahwa hadits ini memiliki sanad lain yang diriwayatkan oleh Abusy
Syaikh dan Ibnu Hazm dari Al-Haitsam bin Jamil yang dapat dipakai sebagai
dalil.[17]
Terlepas
dari status/derajat hadits tersebut, ternyata ada beberapa atsar dari para
salaf yang mengindikasikan kebolehan mengaqiqahi diri sendiri ketika sudah
baligh. Di antaranya dari Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Imam Ahmad,[18] ulama
Syafi’iyah, dan sebagian Hanabilah.[19]
Pembagian Daging Aqiqah
·
Jika aqiqah tersebut adalah aqiqah wajib
(nadzar), maka semua daging hewan sembelihan harus disedekahkan kepada orang
lain (fakir, miskin, dan lainnya). Orang yang beraqiqah dan diaqiqahi tidak
boleh ikut memakannya.
·
Tapi
kalau bukan nadzar, maka dia dan keluarganya boleh bahkan disunnahkan makan
dagingnya walaupun sedikit, maksimal sepertiga. Karena, daging aqiqah dan
daging qurban didistribusikan kepada tiga sasaaran. Pertama, untuk orang
yang aqiqah dan keluarganya. Kedua, hadiah untuk famili dan tetangga. Ketiga,
disedekahkan kepada fakir miskin. Sabda Nabi Saw: “Makanlah (daging aqiqah
atau qurban), dan berikanlah kepada orang lain, juga simpanlah ( Kuluu wa
ath'imuu waddakhiruu).”(HR. Muslim)[20]
·
Disunnahkan menyedekahkan daging aqiqah dalam
keadaan masak. Sebagian ulama mensunnahkan pula memasaknya dengan rasa manis.[21]
·
Walaupun demikian, tidak dilarang membagikan
daging aqiqah dalam keadaan mentah.[22]
·
Disunnahkan memberikan kaki hewan aqiqah (dalam
kondisi mentah) kepada orang yang membantu kelahiran sang bayi. Dan,
disunnahkan pula tidak memecahkan/mematah-matahkan tulang hewan aqiqah.[23]
Doa Menyembelih Hewan Aqiqah
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ لَكَ وَإِلَيْكَ هَذِهِ
عَقِيقَةُ فُلاَنٍ
Bismillahi wallahu akbar, Allahumma laka wa ilaika hadzihi ‘aqiqotu Fulan (ganti dengan nama anak yang diaqiqahi). [dalam redaksi yang lain tanpa menggunakan wallahu akbar]
“Dengan
asma Allah, Allah Mahabesar, Ya Allah, demi Engkau dan kepada Engkau aku
lakukan aqiqah si Fulan.” [24]
Wallahu a’lam
[1] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih
Imam Syafi’i (terjemah), jilid 1, hlm. 575, Jakarta: almahira, 2010; Fiqih
Islam wa Adillatuhu (terjemah), Jilid 4, hlm. 295, Jakarta: Gema Insani,
2011.
[2] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul
Awlad fil-Islam, jilid 1, hlm. 73, Mesir: Dar al-Salam, Cet. 31, 1997.
[3] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih
Imam Syafi’i (terjemah), jilid 1, hlm. 575.
[6] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul
Awlad fil-Islam, jilid 1, hlm. 74.
[7] Ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa disunnahkan beraqiqah untuk anak laki-laki dengan 2
ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan 1 ekor kambing. Tetapi, boleh
juga beraqiqah dengan 1 ekor kambing karean ada hadits Ibnu ‘Abbas yang
menyebutkan demikian. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni cukup satu ekor
kambing. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30:
279-280.); http://library.islamweb.net
[9] Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah melakukan aqiqah untuk Hasan dan Husain masing-masing dengan dua ekor kambing dua ekor kambing. http://125.164.221.44/hadisonline/hadis9/kitab_open.php?imam=nasai&nohdt=4148
[14] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili,
Fiqih Islam wa Adillatuhu (terjemah), Jilid 4, hlm. 297, Jakarta: Gema
Insani, 2011.
[16] http://www.ddhongkong.org,
Fiqih Islam wa Adillatuhu (terjemah), Jilid 4, hlm. 297.
[21] Kifatatul Akhyar Juz 2/638 cet Darul khoir, http://library.islamweb.net.
[23] http://library.islamweb.net,
http://library.islamweb.net/hadith,
Fiqih Islam wa Adillatuhu (terjemah), Jilid 4, hlm. 298.
[24] http://library.islamweb.net,
http://library.islamweb.net/hadith/,
http://islamport.com,
http://library.islamweb.net/newlibrary/,
http://fatwa.islamweb.net/fatwa/,
Fiqih Islam wa Adillatuhu (terjemah), Jilid 4, hlm. 297
Sumber gambar 1
2 comments:
Salam kenal kembali. Terima kasih
Wa'alaikumussalam warahmatullah.
Sebagai pebisnis aqiqah, Aqiqah Jogja tentu telah mengetahui jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dengan demikian, tidak perlu bagi saya untuk menjawabnya.
Salam
Post a Comment