عَنْ
أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: " إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ
إلَيْهِ". رواه
البخاري ومسلم
Dari Amirul Mukminin Abi Hafs Umar bin
Khattab, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Semua perbuatan bergantung
pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) menurut apa yang dia
niatkan. Karenanya, barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan ridha)
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita
yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabab al-Wurud
Sebab turunnya/tersabdakannya hadits ini karena
ada seorang lelaki yang melamar wanita bernama Ummu Qais.[1] Ummu
Qais menolak menikah dengan lelaki itu, kecuali jika sang lelaki mau berhijrah.
Akhirnya, demi bisa menikahi Ummu Qais, lelaki itu pun berhijrah. Karena itulah
sang lelaki tersebut dikenal dengan sebutan Muhajir Ummi Qais (orang yang
berhijrah karena Ummu Qais).
Nur al-Qalbi
1. Niat merupakan setengah dari
Islam, karena pada dasarnya agama itu mencakup dua aspek, yaitu zhahir dan
bathin. Zhahir = amal, dan bathin = niat.
2. Niat merupakan pondasi dan ruh ibadah.
Amal yang tidak disertai niat (karena Allah), sama dengan tubuh yang tidak
bernyawa.
3. Niat menjadi pembeda antara ibadah dan bukan ibadah. Karena itulah tidak
semua perbuatan yang secara lahiriyah tampak baik dapat bernilai ibadah di sisi
Allah Swt jika tidak disertai niat yang baik pula.
4. Pembeda antara ibadah yang
satu dan ibadah lainnya. Misalnya, membedakan antara shalat Zhuhur dan Ashar, Shalat
Dhuha dan shalat sunnah mutlak atau lainnya, sedekah dan zakat fitrah, aqiqah
dan qurban, dan sebagainya.
5. Tempat niat adalah di hati. Jika
niatnya baik, tentu amal dan ibadahnya pun baik, tetapi bila niatnya rusak maka
rusak pula amalnya.
ألاَ وإنّ في
الجسد مُضْغَة إذا صَلُحَت صَلُحَ الجسد كلّه، وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجسد كُلُّه
ألاَ وهي القلب رواه البخاري
6.
Pada hakikatnya tujuan akhir dari
semua ibadah adalah menjemput Ridha Allah Swt (Ibtigha’a Mardhatillah).
Sedangkan amal ibadah hanyalah perantara (wasilah) untuk mendapat
keridhaan tersebut, bukan merupakan tujuan.
7. Tiga tingkatan ikhlas:
1) Melakukan suatu amal (ibadah)
karena takut kepada Allah. Seperti seorang hamba atau pelayan yang takut
mendapat sangsi dari majikannya.
2) Melakukan suatu amal karena ingin mendapatkan
pahala dan surga. Seperti seorang pedagang yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan
keuntungan.
3) Melakukan suatu amal karena menunaikan
hak ‘ubudiyah kepada Allah, malu kepada-Nya, serta mengungkapkan syukur kepada-Nya.
Inilah ibadahnya al-Ahrar (orang-orang merdeka) yang tidak terpengaruh
oleh apa pun, selain Allah semata.
8. Dhawuh Ibnu
Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam (203):
كما
لا يحب العمل المشترك كذلك لا يحب القلب المشترك . العمل المشترك لا يقبله والقلب
المشترك لا يقبل عليه
“Sebagaimana Allah tidak menyukai amal yang tidak
sepenuhnya bagi-Nya, begitu pulalah Allah tidak menyukai hati yang tidak
sepenuhnya bagi-Nya. Amal yang tidak sepenuhnya bagi-Nya, tidak Dia terima; dan
hati yang tidak sepenuhnya bagi-Nya juga tidak Dia pedulikan.”
9. Ketidakikhlasan dalam
beramal dan beribadah disebabkan oleh hawa nafsu dan ananiyah. Kata Ibnu Atha’illah as-Sakandari (al-Hikam
201), penyakit yang paling kronis
adalah bersarangnya hawa nafsu di dalam qalbu.
تمكن
حلاوة الهوى من القلب هو الداء العضال
Dan, salah satu hawa
nafsu yang kerap tidak kita sadari adalah bersegera melakukan amalan-amalan
sunnah daripada amalan wajib, atau amalan-amalan yang memuaskan hazhzhun-nafsi
(kepentingan pribadi) daripada amalan yang
bermanfaat untuk umat/orang banyak.
10.Salah satu cara untuk
mengobati dan melenyapkan hawa nafsu dan ananiyah adalah dengan membuang jauh-jauh kata “aku” dari
dalam hati.
11.Al-Fudlail bin ‘Iyadl berkata, “Meninggalkan amal perbuatan
karena manusia adalah riya’. Sedangkan melakukan amal karena manusia adalah
syirik. Sedangkan ikhlas adalah, Allah menyelamatkan kamu dari keduanya.”
Fiqih Niat
1- “Semua perbuatan bergantung
pada niatnya” berarti sahnya perbuatan ditentukan oleh niatnya.
Misalnya, shalat, puasa, dan haji, semua itu harus didahului dengan niat
sebagai rukun dari ibadah-ibadah tersebut.
Bisa pula berarti sempurnanya perbuatan agar bernilai
ibadah dan berpahala harus disertai niat. Jika tidak disertai niat maka tetap
sah tetapi tidak berpahala. Misalnya, menghilangkan najis, mengembalikan pinjaman, dan sebagainya.
2- Waktu dari niat adalah pada
permulaan ibadah. Seperti takbirul ihram dalam shalat atau ihram dalam haji. Adapun
niat puasa, cukuplah sebelum fajar karena kesulitan membersamakan niat tepat
pada waktu fajar.
3- Para ulama sepakat (tidak ada
perbedaan sedikit pun) bahwa mahall an-niyyat (tempat niat) adalah di
dalam hati. Adapun pengucapan niat sebelum beribadah bukan hal yang wajib juga
bukan hal yang haram (berdosa), tetapi ini tidak terbilang sebagai niat.
Intisari pengajian jamaah haji KBIH Arafah Bantul
Disampaikan pada Ahad, 5 Januari 2014
[1] Nama
aslinya Aminah binti Mihshan al-Asadi, termasuk shahabiyah yang pertama kali
ikut berhijrah.
Referensi:
- al-Wafi fi Syarhi al-Arba'in an-Nawawi
- al-Hikam li Ibni Atha'illah as-Sakandari
- Bahjat an-Nufus li Ibni Atha'illah as-Sakandari
- Silsilah A'mal al-Qulub li Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Sumber gambar
0 comments:
Post a Comment