Di
Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak
saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah.
Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat
almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu
juga.
SubhanaLlah!
Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal,
saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang
tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara
spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh
jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu
yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat
seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!
Sepanjang perjalanan itu pun saya terus
diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia
mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.
Berperawakan gagah. Hidung mancung.
Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya.
Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan
raut mukanya yang sedap dipandang.
Melihat penampilan dan rumahnya yang
tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang
akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap
minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan
… semuanya disuguh makan.
Selain pengajian-pengajian itu, setiap
hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah
untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga
yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau
terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.
Ketika beliau masih menjadi pengurus
(Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak
pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan
masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah
maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta
beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin
membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu
jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat,
beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman
Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.
Ketika kondisi beliau sudah tidak
begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya
pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali
orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan
tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.
Mbah Dullah, begitu orang memanggil
kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk
oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah.
Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang,
termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya
hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini
adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui
banyak orang.
Tawaduk atau rendah hati dan
kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir
batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang
yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa
kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung
arogan atau minimal tak mau direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri.
Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri
muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar
dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu
sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu
–kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau
pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang
tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya?
Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai
langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk
masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat
berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti
melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang yang melayani
umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak
mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat
langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan
memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan
sekedar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau.
Beliau tidak hanya memberikan waktunya
untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai
pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut
dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya
beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.
Pernah ada seorang kaya yang ikut
mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan
semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah
Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah
Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman
dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau.
Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan
diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah,
“Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu.
Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.
Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.
***
Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap
beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu.
Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah,
sedekah kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada
lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang
yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah
kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang
faqir?” tanya mbah Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu
terbata-bata.
Belum lagi selesai bicaranya, mbah
Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa
kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”
Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’
mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat
daerahnya. Mbah
Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama
rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan
berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar
mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal. 32 tahun
pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini.
Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini.
Mereka yang akan sekolah dengan niat
mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’,
jangan coba-coba memasuki madrasah ini.
Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak
menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya
ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis
shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan
mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum,
sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan
kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat
belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang
membedakan ialah karakternya.
Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui
teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak
manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya
‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri
sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.
Bila benar; inilah perjuang yang luar
biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru
kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini
justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari
luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.
Orang menganggap dirinya kuat bila
memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski
bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling
lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila
ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena
merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.
Waba’du;
sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang
langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya
sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal
yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat
menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan orang
mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!
Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu
a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan
sejauh mungkin-- melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya,
Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau;
baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.
Begitulah; Mbah Dullah yang selalu
memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas
ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal.
Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan
orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap
Khaliqnya.
Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November
2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun
dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di
Polgarut Kajen Pati.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”
Disalin dari www.gusmus.net
Sumber gambar 1.
Sumber gambar 2.
Sumber gambar 3.
2 comments:
Innalillahi wainna ilai'hi rojiun, Allahummafighrlahu warhamhu wa afihi wa'fu anhu.
Saya sampai terkagum kagum akan sosok beliau dalam tulisan ini mas..tentu sangat langka di jaman sekarang orang yang seperti Mbah Dullah ini, Insyaallah beliau mendapat tempat yang sangat layak di sisi-Nya..aamin
Benar banget, sosok yg alim, zuhud, wira'i, bersosial tinggi, andap asor, dan kukuh memang sgt jarang, Mas. Apalagi jk dibandingkan dg ustad2 atau dai2 selebriti, wah ya jauuhh skli, Mas. Bahkan, tdk layak dibandingkan. Atas doa panjenengan, semoga Allah mengijabahi. Aamiin.
Post a Comment