ads
Thursday, February 9, 2012

February 09, 2012
6
Ketika hendak makan siang, seorang nenek menghampiriku. Dengan wajah memelas dan ekspresi kesedihan yang mendalam disertai mata yang berkaca-kaca, beliau berkata kepadaku, “Mas, jalan ke arah Wonogiri mana, ya?”

Dahiku berkerut dan kedua alisku hampir saja menyatu. Untuk beberapa saat, aku bingung harus menjawab apa, karena memoriku justru dipaksa berpikir keras untuk membedakan antara Wonogiri dan Imogiri. Dua nama daerah yang hampir sama. Belum lagi ketika memoriku dikacaukan pula oleh nama daerah lain yang hampir mirip, semisal Wonosari. Duh, jadi makin kelabakan untuk menjawabnya secara cepat.

Seakan mengetahui titik kebingunganku, nenek tersebut segera menjelaskan, “Itu lho, Mas. Wonogiri yang deket Solo.”

“Oh, iya, saya tahu, Nek,” sahutku lega karena sudah memahami daerah mana yang ditanyakannya. “Nenek keluar saja dari gang ini menuju jalan raya. Paling-paling cuma 150-an meter kok, Nek. Nah di situ nanti akan ada angkot yang akan mengantarkan nenek ke jalan Solo. Dari jalan Solo itulah Nenek akan dibawa bus ke daerah tujuan Nenek,” terangku.

Nenek itu terdiam. Tidak ada jawaban apa pun yang keluar dari mulutnya. Matanya seakan menatap hampa ke tanah. Sementara kakinya yang tampak masih kuat berjalan tidak beranjak dari tempatnya berdiri untuk melangkah menuju jalan yang aku tunjukkan.

“Ada apa, Nek? Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.

Nenek itu lalu menceritakan bahwa beliau berasal dari Wonogiri. Beliau datang ke Jogja dengan tujuan mencari anaknya yang bekerja di warung makan dekat kampus UIN Sunan Kalijaga. Tapi malang, menurut penuturannya, sang anak ternyata telah dipindahkerjakan di cabang daerah lain yang lebih jauh lagi.

Sampai di situ, entah bagaimana, seketika otakku berpikir liar ke semua warung makan yang ada di dekat kampus. Kebetulan semasa masih tercatat sebagai mahasiswa di kampus itu, jelajah kuliner menjadi salah satu kegemaranku. Dan, dari hasil jelajahku, setahuku tidak ada warung makan besar di sana yang mempekerjakan banyak karyawan atau bahkan memiliki cabang di daerah lain.

Ah, itu kan dulu. Siapa tahu sekarang sudah banyak warung makan yang memiliki banyak karyawan dan membuka cabang di daerah lain, pikirku mencoba menepis buruk sangkaku.

“Nenek ada sangu (uang) untuk pulang?” tanyaku.

Dengan mimik sedih, sang nenek menjawab bahwa dia datang ke Jogja membawa sangu Rp 65.000, tapi sudah habis untuk ngojek dan lain-lain. Maka aku keluarkan dompetku dari saku celana. Aduh, ternyata hanya ada nominal yang tidak begitu besar. Terpaksa aku berikan semua kepada beliau, kecuali beberapa ribu saja sekadar mencukupi untuk makan siang.

Kami pun berpisah. Beliau berjalan menuju jalur yang aku tunjukkan, sementara aku ke jalur yang berbeda untuk sekadar mengganjal perut dengan sepiring lotek di pinggir rel. Saat menikmati makan siang itu, aku tercekat melihat sang Nenek ternyata tidak jadi naik angkot jurusan jalan Solo. Beliau justru berjalan kaki ke selatan melewati rel, menjauh dari jalan Solo.

***

Entah mengapa, melihat sang Nenek yang berjalan menjauhi jalan Solo, secara spontan memoriku serasa dipaksa berpikir mundur mengingat dua peristiwa beberapa tahun lalu. Peristiwa pertama terjadi di daerah yang sama, di dekat rel tempat aku makan siang kali ini. Saat itu ada seorang ibu menghampiriku dan mengisahkan bahwa ia berasal dari Wonosari. Kedatangannya ke Jogja adalah untuk menjenguk saudaranya di RS Sardjito. Tapi ia tersesat, tidak tahu arah menuju rumah sakit tersebut. Juga sudah kehabisan ongkos. Akhirnya, aku luluskan uang sekadar cukup untuk sampai ke rumah sakit.

Peristiwa kedua terjadi di Masjid Mantrijeron, di daerah Jokteng Kulon. Saat itu, seusai shalat Ashar, seorang ibu dan anaknya sekira usia SD menghampiriku. Sang ibu mengatakan bahwa dia kehabisan ongkos untuk pulang ke kampung halamannya (kalau tidak salah ingat) di Klaten. Beliau bermaksud minta ongkos yang cukup untuk sampai ke sana.

Belum sampai dompetku kukeluarkan, entah mengapa pikiranku serasa terganjal. Ada sesuatu yang memaksaku untuk mengingatnya. Tapi, apa…? Aku mencoba untuk terus mengingatnya, dan akhirnya terjawab juga. Ternyata ibu yang ada di hadapanku saat ini adalah sosok yang sama, yang beberapa bulan lalu mengaku berasal dari Wonosari dan kehabisan ongkos untuk menjenguk saudaranya di RS Sardjito. Ya, tidak salah, beliau adalah orang yang sama.

“Maaf, Ibu ini yang dulu pernah tersesat di dekat rel karena mau menjenguk saudara di Sardjito, kan?” tanyaku.

Aneh, ibu itu justru terlihat kaget dan pucat.

“Bagaimana keadaan saudaranya, Bu? Sudah tidak di rumah sakit lagi, kan?”

Bukan jawaban yang aku dapatkan, sang Ibu dan seorang anaknya itu justru buru-buru berlari menjauhiku. Hmmmm…. barulah aku sadar, kemungkinan besar ibu itu memang mencari uang dengan jalan menipu.

Satu lagi peristiwa yang baru terjadi minggu kemarin. Di lampu merah ring road jalan Parangtritis. Seorang pemuda yang secara fisik dan usia terbilang produktif untuk bekerja, dengan gaya dan ekspresi memelas dia menghampiri semua kendaraan yang berhenti menanti lampu hijau menyala.

“Pak…, Bu…., minta uangnya. Saya kelaparan. Belum makan,” ucapnya memelas dan mengiba kepada semua pengendara.

Melihat tubuhnya yang tegap perkasa dan usianya yang masih muda, aku teringat kepada seorang bapak tua di depan kampus UAD (Universitas Ahmad Dahlan) selatan stadion Mandala Krida. Usianya yang sudah tua dan fisiknya yang tak lagi perkasa, tak menyurutkan semangatnya untuk bekerja. Ditambah lagi kakinya yang cacat, bapak tua ini tetap tegar mencari nafkah. Dengan duduk di atas kursi rodanya, ia berjualan majalah dan koran. Lelaki tua ini selalu menjadi inspirasi dan penginjeksi semangatku setiap pagi saat berangkat bekerja.

Aku pun tidak percaya lelaki muda itu kelaparan. Karena sebelumnya aku telah melihatnya tertawa dan bermain bersama kawan-kawan yang di perempatan lampu merah itu. Kalau dia bilang belum makan, aku percaya. Tapi belum makannya sejak sejam atau dua jam yang lalu. Hehe…

“Ibu muda dan lelaki perkasa, andai mereka tidak menipu, tentu semua orang akan dengan senang hati membantu. Tapi, akan berbeda cerita jika mereka mencari nafkah dengan dengan kebohongan dan kedustaan,” ujarku kepada istri saat itu, mengisahkan persitiwa di Masjid Mantrijeron dan pemuda di lampu merah.

***

Kembali ke sosok sang Nenek? Apakah beliau juga melakukan cara yang sama seperti sang ibu itu untuk mendapatkan uang? Ah, tentu saya tidak boleh mengambil kesimpulan yang segegabah itu. Bisa-bisa malah terperosok dalam jurang su’uzhan alias berburuk sangka.

“Tidak ikhlas, ya, Mas?” tanya istriku.

“Ini bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas, Sayang. Bisa jadi ini memang skenario Tuhan untuk menguji saya apakah mau bersedekah pada saat kondisi dompet sedang mengempis. Bisa juga nenek itu memang tersesat dan membutuhkan ongkos pulang, tapi ia ingin jalan-jalan dulu di kota ini. Atau kemungkinan-kemungkinan yang lain,” uraiku mencoba membentuk positive thinking di pikiranku sendiri.

“Intinya tetap tidak ikhlas, kan, Mas?”

“Ikhlas, Sayang. Ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Toh semua yang kita punya saat ini sejatinya kan bukan kepunyaan kita. Kita cuma dititipi. Kata Aa’ Gym, ibarat tukang parkir, dia akan selalu ikhlas manakala mobil di parkiran yang ia jaga diambil oleh pemiliknya.”

“Lalu? Yang Mas risaukan apa?”

“Saya risau dan sedih, juga tidak ikhlas jika saudara-saudara kita atau bahkan kita sendiri hidup dengan penuh kebohongan. Bahkan, untuk mendapatkan rupiah saja harus dilakukan dengan cara menipu. Ada penipu kelas teri seperti ibu dan lelaki muda tadi. Ada pula penipu kelas tinggi seperti para oknum pejabat yang mengisap uang rakyat.”

“Semoga saja nenek yang Mas ceritakan tadi tidak termasuk kelompok itu, ya, Mas.”

“Iya, semoga.”

***

Barang siapa yang membawa senjata atas kami (menyerang kami), maka ia bukan dari golongan kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka ia pun bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda: "Tangan yang di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah (diberi) dan dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah adalah sedekah yang diberikan oleh orang yang mempunyai kelebihan. Barangsiapa yang berusaha untuk menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaga kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang merasa dirinya cukup maka Allah akan mencukupkannya." (Riwayat Bukhari)



(Cerita ini dipublikasikan juga oleh penulis di KotaSantri.com
dengan judul Antara Sedekah, Bekerja, dan Mengemis)


[Sudah setahun lebih saya tidak melewati kampus UAD. Gimana kabar sang bapak tua sekarang, ya? Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan, keberkahan, dan rezeki yang cukup untuk keluarganya. Amin.]


6 comments:

HIPUTINDO said...

keren ceritanyaaaaa.... :)

Irham Sya'roni said...

@HIPUTINDO Kisah nyata, mas. Semoga ada serpihan hikmah dan pelajaran yg bisa kita ambil.

Nurmayanti Zain said...

masyaAllah...
jangan sampai tipuan yang seperti itu menjadi kebiasaan untuk mendapat simpati :( miris juga ya

Irham Sya'roni said...

@Nurmayanti Zain Begitulah, Sobat, fenomena dunia ini. Bukan pemberian/sedekah yg kita sesali, tapi menipu adalah cara yg tdk suci dan dibenci oleh Ilahi Rabbi.

Ditter said...

Wah, saya juga dulu pernah mengalami hal yg sama, Pak. Saya dihampiri bapak setengah tua yg mengaku kehabisan uang dan sangat kelaparan.
Tanpa banyak omong, saya langsung pergi ke angkringan terdekat utk beli makanan utk bapak itu. Anehnya, bapak itu nggak memakan makanannya. Katanya nanti saja. Saya jadi curiga dan agak berat untuk memberikannya ongkos pulang. Tapi akhirnya saya berikan juga.
Setelah menerima uang itu, si bapak langsung pergi, tanpa memakan makanannya....

Irham Sya'roni said...

@Ditter hehehe... Berarti, kesimpulannya, beliau tidak benar2 kelaparan ya? ;-)