ads
Saturday, February 4, 2012

February 04, 2012
10
Orang-orang lebih karib memanggilnya Mas Tino. Lengkapnya Hayat Prihatino. Entahlah, mengapa orangtuanya memberinya nama itu. Padahal arti dari nama tersebut, menurut saya, kurang bagus. Hayat artinya hidup, sedangkan Prihatino berarti sebuah perintah agar pemilik nama itu selalu  prihatin, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) "prihatin" berarti bersedih hati, waswas, bimbang (karena usahanya gagal, mendapat kesulitan, mengingat akan nasibnya, dan sebagainya).

“Pantesan aku tidak pernah melihatnya tertawa, atau setidaknya sekadar tersenyum senang,” batinku mengaitkan keadaan hidupnya dengan nama yang disandangnya.

Setiap hari, Mas Tino berjualan bensin dan pulsa di dekat tempatku bekerja. Dengan mengayuh sepeda yang sudah berkarat dimakan usia, pagi hari Mas Tino datang ke tempat jualannya. Ketika malam mulai gelap, Mas Tino kembali ke rumah kontrakannya dan meninggalkan tempat jualannya. Begitu setiap hari ia lakoni. Dan, sepeda tua itulah yang selalu setia menjadi temannya bekerja.

“Nggak makan, Mas?” tanyaku kepada Mas Tino.

“Wah, lagi sepi, Mas. Sampai sesiang ini belum ada pembeli,” keluhnya, “jadinya terpaksa tidak makan siang dulu, Mas. Cukup air putih dan sepotong pisang goreng, bagiku sudah bisa mengenyangkan. Setidaknya untuk hari ini.”

Aku hela napas panjang. Ada guratan keprihatinan dan kesedihan yang ikut aku rasakan.

“Kasihan perut sampeyan lho, Mas. Makan saja dulu. Saya yang traktir. Mumpung hari ini saya ulang tahun,” ajakku.

Sampai aku menghabiskan satu bungkus nasi kucing, Mas Tino belum juga menikmati menu lain selain sepotong pisang goreng. Seolah tidak ingin cepat habis, ia gigit pisang goreng itu sedikit-sedikit. Setiap satu gigitan ia sela dengan beberapa teguk air putih. Mungkin itu siasatnya agar sepotong pisang goreng bisa mengenyangkan perutnya.

“Jangan sungkan-sungkan, Mas. Ayo pilih menu apa saja yang sampeyan suka. Anggap saja ini syukuran hari lahir saya, Mas,” desakku.

Akhirnya, ia luluskan desakanku. Diraihnya sebungkus nasi kucing sambal tomat dan sepotong tempe goreng sebagai lauknya.Agar perut Mas Tino tidak terlampau mengempis, aku ulurkan kepadanya beberapa menu.

"Nggak usah sungkan, dimakan saja, Mas," kataku.


***


“Rasanya jadi orang kaya itu gimana ya, Mas?” tanya Mas Tino tiba-tiba.

Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. “Wah, pertanyaan sampeyan ini salah alamat, Mas. Mestinya bukan diajukan ke saya, tapi ke para anggota dewan yang pada kaya-kaya itu,” jawabku.

“Ini pada ngomongin apa toh? Aku dengar kok ada kaya-kaya segala,” suara Mbok Darmi membelah percakapan saya dengan Mas Tino.

“Ini, Mbok, Mas Tino menanyakan bagaimana rasanya jadi orang kaya,” jawabku.

“Memangnya kenapa kok tanya-tanya itu?” seloroh Mbok Darmi.

Mas Tino terdiam. Diletakkannya sendok yang ada di tangannya, lalu kepalanya tertunduk. Lidahnya pun kelu.

Terdengar helaan napas panjang Mbok Darmi. “Hhhhhmmm…., Simbok tahu kok, No. Kamu ini sedang terbebani perasan minder dan frustasi. Iya, toh?”

“Iya, Mbok,” jawan Mas Tino singkat.

“Dari kemarin Simbok kan sudah bilang, tak usahlah kamu minder seperti itu, apalagi frustasi. Bisa cepat tua lho,” petuah Mbok Darmi.

Mas Tino memang sedang terbebani pikiran yang tidak menentu. Dia terlahir sebagai lelaki miskin. Hidup dan tumbuh pun di tengah keluarga miskin. Tetapi, saat hendak berumah tangga, ternyata Allah menghendaki ia berjodoh dengan perempuan dari keluarga kaya raya. Jadilah Mas Tino salah satu menantu di keluarga kaya itu.

Tidak ingin dirinya dibilang kere munggah bale, orang miskin yang kawin hanya untuk climb society alias pindah ke golongan yang lebih tinggi, Mas Tino tetap setia dengan gaya dan perjuangan hidupnya seperti semula. Satu unit rumah kontrakan, satu sepeda kayuh, serta sebuah lapak untuk berjualan bensin dan pulsa telepon seluler, itulah modal hidupnya untuk membahagiakan istrinya. Alhamdulillah, istrinya tidak pernah mengeluh apalagi protes dengan kemiskinannya itu. Padahal ia terlahir kaya, dan semua saudaranya hidup bergelimang harta.

***


HP Mas Tino berdering nyaring. Segera ia mengangkatnya. Lalu terjadilah percakapan antara Mas Tino dan seseorang. Entah siapa.

“Ada apa, No?” selidik Mbok Darmi mendapati mimik muka sedih Mas Tino setelah menyudahi percakapan melalui telepon selular bututnya.

“Ini, Mbok. Istri saya barusan nelpon. Dia sedang jalan-jalan dengan keluarga besarnya.”

“Lha wong jalan-jalan saja kok bikin kamu sedih, Mas. Apa yang disedihkan?” sergahku.

“Istri saya bilang sedang jalan-jalan menikmati motor baru milik saudaranya. Katanya naik motor itu enak. Aku tahu, dia sama sekali nggak bermaksud apa-apa dengan ucapannya itu. Tapi, entah kenapa, hatiku jadi ciut mengkerut. Apalagi jika keluarga istriku asyik berkisah tentang gaya rumah mewah, mode pakaian indah, rencana naik haji yang kesekian kali, atau tentang agenda pelesiran ke tempat wisata terindah. Mendengar semua itu, aku makin frustasi. Karena mustahil bagiku bisa bergaya hidup seperti mereka. Tahu sendiri kan berapa penghasilan dari jualan bensin dan pulsa?!” urai Mas Tino.

Mbok Darmi menata duduknya, agak mendekat dengan Mas Tino. Dengan suara lembut dan teduhnya, Mbok Darmi memberi petuah, “No, itu namanya dalam diri kamu saat ini sedang terjadi konflik peran.”

“Maksudnya apa, Mbok?” Mas Tino tidak paham. Aku pun demikian. Maka aku tunggu penjelasan Mbok Darmi tentang konflik peran tersebut.

“Peran adalah watak yang kita mainkan di dalam pergaulan sosial. Konflik peran terjadi jika kita harus memainkan watak yang tidak selaras atau bahkan bertentangan. Dalam konteks miskin dan kaya, misalnya, seseorang yang berasal dari keluarga sederhana yang terbiasa hidup sederhana dan ekonomis, kemudian harus menyesuaikan diri dengan pasangan barunya atau keluarga pasangannya yang kaya, ia akan mengalami konflik peran. Seringkali terpaksa harus bertindak yang sama dengan pasangannya, padahal hati kecilnya tersiksa. Nah, lama-kelamaan ini bisa menimbulkan frustrasi. Karena dia harus menjadi orang yang bukan dirinya sendiri.”

Kusimak penjelasan Mbok Darmi secara saksama. Begitu pula Mas Tino, pandangan dan pendengarannya terlihat benar-benar fokus kepada Mbok Darmi.

“Perjuanganmu pagi, siang, sampai malam untuk membahagiakan istrimu insya Allah tidak akan sia-sia. Man jadda wajada, barangsiapa yang sungguh-sungguh pasti akan berhasil. Tapi saat dirimu berjuang dan bekerja, jangan sampai ambisi duniawi lebih menguasai hati dan pikiranmu. Jika itu yang terjadi, berarti kamu telah diperbudak dunia. Jalani saja usahamu jualan bensin dan pulsa sungguh-sungguh tanpa dikotori kemaruk dan iri hati terhadap penghasilan orang lain. Pastilah akan lelah hati dan pikiran kita. Lakoni saja sebagai sebuah kewajiban yang dititahkan Allah kepada seorang suami.”

Aku menghela napas puas. Lalu menimpali petuah Mbok Darmi, “Benar sekali, Mbok. Pakdhe saya dulu juga pernah bilang, lebih baik kemajuan kita itu diperoleh karena achievement  kita sendiri, bukan karena mobilitas sosial yang diperoleh dari pasangan. Dengan begitu, harga diri juga tetap bisa dipertahankan. Bangga, kan, kalau kita kemudian menjadi kaya, dan step by step  perjuangan kita bisa kita nikmati.”

Pandangan Mas Tino menerawang ke langit. Napas panjang pun terembus panjang dari dadanya. Lalu ia berucap, “Oh, mungkin ini arti mimpiku semalam.”

“Memangnya kamu mimpi apa, No?” tanya Mbok Darmi.

“Aku bermimpi kuburan bapak saya dibongkar. Aku saksikan kuburan itu penuh dengan air. Beliau mandi dengan air itu dan tersenyum segar. Jasadnya masih utuh. Hanya sedikit saja di bagian dadanya yang sudah rusak,” tutur Mas Tino.

“Apa kesimpulanmu dari mimpi itu, Mas?” tanyaku.

“Mungkin mendiang bapakku sedang mengingatkan aku, bahwa saat ini hatiku sedang rusak dan kotor oleh ambisi-ambisi duniawiku karena konflik peran tadi. Beliau mungkin hendak mengingatkanku agar hatiku sumeleh, tenang dan tenteram dengan takdir dari Allah ini. Rumah kontrakan, sepeda kayuh, serta lapak bensin dan pulsa ini harus aku syukuri.”

Selesai menafsirkan mimpinya, HP Mas Tino kembali berbunyi tanda ada SMS yang masuk. Dibacanya SMS itu, lalu tersenyum senang. Ternyata SMS itu datang dari Maisaroh, istri Mas Tino.

Mas, aku cinta sampeyan lahir batin dan dunia akhirat. Aku cinta sampeyan karena Sang Yang Maha Penggenggam cinta, bukan karena harta atau tahta. Perbanyak membaca shalawat ya, Mas, biar hatinya tenang. Selalu ber-positive thinking, biar pikirannya lapang.

Dari pemimpin bidadari surga: Maisaroh.


 gambar: aghoesdc.blogspot.com

10 comments:

Banyu Waseso Segoro said...

Waduh, gemetar aku membaca kalimat yang terakhir mas, ....

Arif Mahfudz said...

waduh... lha kok sama..
Hampir akhir aq sudah terharu bacanya..
begitu sampai kalimat terakhir, ******************* :D
Sykron y kang Irham....

semoga saja ada bnyak "Maisaroh2" d dunia ini.. :P

Zikir dan Kontemplasi said...

sejuk rasanya membaca sms Maisaroh, posting yang sangat bagus mas, saya suka

Irham Sya'roni said...

@Rubiyanto Sutrisno Sekadar tulisan ringan Mas. Tp walopun ringan, semoga bisa kita petik manfaatnya. terlebih oleh sy pribadi. makasih kunjungannya mas

Irham Sya'roni said...

@Arif Mahfudz Sama pripun Kang Arif? apanya yg sama? Mari kita berdoa, semoga ada banyak Maisaroh di sekeliling kita. Wabil khusus, Maisaroh ibu dr anak2 kita. hehe

Irham Sya'roni said...

@Zikir dan Kontemplasi Makasih kunjungannya Mas. Semoga "Maisaroh" yg ada di samping kita di dunia nyata pun tak pernah bosan mengirim sms yg lebih sejuk lagi. :-)

Akhmad Muhaimin Azzet said...

Mantap kali SMS Maisaroh, aku ikut klepek-klepek membacanya, hehe...
jadi ingat nama teman saya dulu kala di tsanawiyah, Prihatin Suasana. Serius, ini bener2 nama teman saya.

Irham Sya'roni said...

@Akhmad Muhaimin Azzet Maisaroh emang bikin klepek-klepek, Mas. Hehe...

Prihatin Suasana? weleh, ada-ada saja. Mungkin lahirnya memang pas dlm suasana yg memprihatinkan, Mas. :-)

Seagate said...

Mak nyuss mas ceritanya, terima kasih telah diingatkan, insyaallah bakal sering main kesini..:)

Irham Sya'roni said...

@Seagate Hahahaha.... kaya' makanan saja: mak nyuuusss..., semoga saya juga bisa sering2 silaturahim ke rumah maya jenengan.