ads
Tuesday, February 7, 2012

February 07, 2012
4
Punggungnya sudah bungkuk, buah dadanya kering, lengannya tampak lemah, dan kakinya pun sudah mengingsut kecil. Usianya delapan puluh dua tahun. Namun ia tidak pernah mau menyerah pada kerentaannya. Ia tetap bersemangat untuk mengais rezeki. Mbah Darsimah namanya. Ia adalah saudara tertua Mbok Darmi, pemilik angkringan tempat aku biasa makan siang.

Mbah Darsimah mempunyai dua orang anak. Perempuan semua. Namanya Rabingah dan Wasingah. Sejak keduanya berkeluarga, Rabingah dan Wasingah diboyong ke rumah suami mereka. Rabingah bermukim di Purwokerto, sedangkan adiknya, Wasingah, tinggal di Purworejo.

Sejak ditinggal Rabingah dan Wasingah, Mbah Darsimah hidup bersama suaminya, Mbah Karto. Lelaki tua itu lumpuh beberapa bulan lalu karena kecelakaan. Saat itu Mbah Karto sedang mencari nafkah mengayuh becak di area wisata Malioboro. Tiba-tiba mobil Xenia warna hitam menyeruduknya dari belakang. Mbah Karto terpelanting lalu rubuh tak sadarkan diri. Hampir sebulan Mbah Karto dirawat di rumah sakit. Jiwanya selamat, namun kakinya tak bisa lagi dijejakkan untuk mengayuh becak seperti biasanya.

Keadaan itulah yang menuntut Mbah Darsimah bekerja mencari nafkah dengan berjualan kolonjono, semacam rumput gajah atau rumput ilalang. Kebanyakan pembelinya adalah para peternak sapi dari daerah Kulonprogo. Ada yang membeli sebongkok (seikat), ada pula yang beberapa bongkok. Harga per bongkok-nya adalah sepuluh ribu rupiah. Sebongkok itu kira-kira seukuran pelukan orang dewasa. Dan tingginya juga setinggi orang dewasa.

Mbah Darsimah menebas sendiri kolonjono itu dari sawahnya yang tidak begitu luas. Tangannya yang tampak lemah ternyata masih cukup kuat untuk sekadar mbongkoki (mengikat) kolonjono. Punggungnya yang sudah tidak lagi tegak, masih tampak perkasa untuk memanggulnya dari sawah menuju pinggir jalan untuk dijajakan. Kakinya yang kecil juga terlihat masih kuat untuk berjalan menyusuri pematang sawah.

Tidak hanya Mbah Darsimah yang berjualan konlonjono. Masih ada banyak warga lain yang memiliki profesi yang sama. Mereka menjajakan rumput untuk makanan sapi itu di sepanjang jalan selatan LP Pajangan kabupaten Bantul. Mereka yang masih muda dan memiliki tenaga perkasa, dalam sehari bisa mbongkoki (mengikat) lebih dari dua puluh ikat kolonjono. Namun, bagi Mbah Darsimah, lima ikat kolonjono sudah maksimal. Wajar, karena tenaganya yang tinggal sisa-sisa.

***

Dari pagi Mbah Darsimah menunggui dagangannya. Sampai adzan Zhuhur berkumandang, belum satu pun kolonjono-nya terjual. Mbah Darsimah pasrah dan tawakal. Ia tinggalkan begitu saja lima ikat dagangannya itu di pinggir jalan. Ia bergegas menuju mushalla kecil yang tidak jauh dari tempatnya berjualan untuk menunaikan shalat Zhuhur.

“Mbah, Sampeyan ini niat jualan apa tidak? Siang-siang begini biasanya ramai pembeli, lha kok malah ditinggal begitu saja,” cetus Kang Darsan, lelaki empat puluhan tahun yang juga berjualan kolonjono.

“Cari nafkah itu memang wajib, San. Tapi, ngumawulo alias beribadah kepada Allah itu juga wajib. Bahkan lebih wajib. Dengan menunaikan shalat, berarti kita percaya bahwa Allah-lah yang berkuasa membagikan rezeki-Nya. Sebaliknya, kalau kita nggak mau shalat, itu sama artinya kita tidak percaya bahwa Allah Mahakaya dan berkehendak membagikan setitik kekayaan-Nya kepada kita. Akibatnya, tenaga, pikiran, dan hati kita jadi capek dan mudah kecewa karena tidak berhasil menguber-uber rezeki,” terang Mbah Darsimah.

Kang Darsan memang tergolong lelaki gila kerja. Bahkan saking gilanya, tak boleh ada sedikit pun waktu yang terbuang percuma. Dan ironisnya, bagi Kang Darsan, shalat itu juga terbilang membuang-buang waktu secara sia-sia. Sama sekali tidak ada untungnya, begitu menurutnya. Na’udzubillah min dzalik

Sampai adzan Ashar terdengar, kolonjono Mbah Darsimah masih utuh jumlahnya. Belum ada satu pun yang terjual. Sementara kolonjono Kang Darsan sudah terjual tiga ikat. Mbah Darsimah kembali meninggalkan kolonjono-nya untuk menunaikan kewajiban shalat Ashar.

Sepulang dari mushalla, Mbah Darsimah menyempatkan mampir di tempat Kang Darsan berjualan.

“Sudah laku berapa, San?” tanya Mbah Darsimah.

“Tumben hari ini sepi, Mbah. Dari dua puluh ikat, cuma terjual tiga,” desah Kang Darsan. “Jangan-jangan sapi-sapi sekarang sudah ndak mau makan kolonjono,” Kang Darsan menambahkan.

Lha makan apa kalau tidak kolonjono, San?”

“Hamburger atau sate klathak, Mbah,” jawab Kang Darsan sekenanya.

Mbah Darsimah tertawa mendengarnya.

***
Matahari mulai menemukan tempat persembunyiannya di ufuk barat. Para penjual kolonjono, termasuk Kang Darsan, beramai-ramai mengangkut barang dagangannya untuk dibawa pulang. Jika esoknya masih terlihat segar, kolonjono yang tidak laku itu akan dijajakan lagi. Tapi jika sudah layu, biasanya dilemparkan begitu saja di kandangnya sendiri untuk djadikan santapan kambing atau sapi piaraan. Bagaimana jika tidak punya kambing atau sapi? Ya dibuang begitu saja di belakang rumah. Memang begitulah nasib mereka yang berjualan kolonjono.

Sementara Mbah Darsimah, demi menghemat tenaganya yang sudah tidak lagi perkasa, lima ikat kolonjono-nya ia titipkan di halaman rumah Pak Mahmud, sang pemilik mushalla. Maklum, rumah Mbah Darsimah lumayan jauh dari tempat ia berjualan. Sekira dua atau tiga kilo meter. Tentu cukup merepotkan jika harus membawa pulang kolonjono-nya. Apalagi ia tidak punya kendaraan untuk mengangkutnya.

“Sini, Mbah, saya bantu,” ucap Pak Mahmud, menawarkan bantuan mengangkat dan menyandarkan lima ikat kolonjono di dinding mushalla.

***
Saat malam, ketika Pak Mahmud sedang ngopi dan nonton televisi, tiba-tiba terdengar pintu rumah diketuk seseorang. Tok… tok… tok…!

“Assalamu’alaikum…,” ucap orang tersebut.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawab Pak Mahmud.

Pak Mahmud melangkah keluar untuk melihat siapa tamunya. Ternyata seorang pemuda berusia sekira dua puluh limaan tahun.

 “Ada yang bisa saya bantu, Mas, sampai malam-malam begini Sampeyan datang kemari?” selidik Pak Mahmud.

Pemuda itu lalu menjelaskan bahwa dia berasal dari Kulonprogo. Ceritanya tadi siang ia diberi amanah oleh orangtuanya untuk membeli kolonjono. Namun karena terlalu asyik bermain di rumah teman-temannya di Jogja, ia menjadi lupa bahwa waktu sudah malam. Untunglah, saat perjalanan pulang ia melihat ada lima ikat kolonjono yang tersandar di dinding mushalla. Maka, didatangilah Pak Mahmud, pemilik mushalla.

Kolonjono-nya dijual, kan, Pak?” tanya pemuda itu.

“Iya, dijual. Tapi itu milik Mbah Darsimah, bukan milik saya.”

“Wah, saya butuh banget kolonjono itu sekarang, Pak. Kalau harus menunggu sampai besok pagi saat Mbah Darsimah ke sini, sapi-sapi orangtua saya bisa mati kelaparan, Pak.”

Pak Mahmud berpikir sejenak, lalu diputuskan transaksi jual-beli itu diwakilinya. Pemuda itu memborong semua kolonjono lalu dinaikkannya di atas mobil bak terbuka. Kemudian diulurkannya uang seratus ribu kepada Pak Mahmud, sebagai wakilnya Mbah Darsimah.

“Wah, maaf, Mas, ada uang pas? Kebetulan saya sedang tidak punya kembalian sama sekali,” ucap Pak Mahmud.

“Kalau begitu, tidak usah ada kembalian saja, Pak. Biar semuanya untuk Mbah Darsimah, sebagai tanda terima kasih saya karena telah menolong saya malam ini.”

Seperginya pemuda itu, Pak Mahmud tidak henti-hentinya bertasbih memahasucikan Allah, Dzat Yang Mahaadil dan Mahakaya. Ternyata benar, Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang beriman dan rajin serta ikhlas beribadah kepada-Nya. Dan, benar pula bahwa rezeki adalah misteri Ilahi. 


إن روح القدس نفثت في روعي أن نفساً لن تمـوت حتى تستوفي رزقها فاتقوا الله عبادَ الله، وأجملوا في الطلب واستجملوا مهنكم ولا يحملنكـم استبطاء شيء من الرزق على أن تطلبوه بمعصية الله فإن الله تعالى لا ينال ما عنده بمعصيته

"Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan ke dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencahariaanmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya." (H.R. Ibnu Majah, al-Hakim, dan Ibnu Hibban)

gambar: ignatiussuparyanto.blogspot.com

4 comments:

Kang Muroi said...

Subhanallah ...pelajaran yang sangat berharga buat kita...:)

Irham Sya'roni said...

@Muro'i El-Barezy Ini kisah nyata seorang wanita tua di kampung saya, Mas. Tentunya, nama dan alurnya sedikit ada perubahan. Semoga menggugah kesadaran kita semua. amin

Eel Pecidasase said...

Kasian ya.. Semoga ada bantuan dari Pemerintah terutama dinas Sosial untuk meringankan beban mereka :)

Irham Sya'roni said...

@Eel Pecidasase amin, semoga diberi kelancaran usaha oleh Allah swt.