ads
Sunday, April 19, 2009

April 19, 2009


Menantu
Oleh Endang Supriadi


Awalnya saya pikir, setelah Nuri anak perempuan saya yang pertama mendapatkan jodohnya, beban saya akan berkurang. Tidak lagi apa-apa saya. Tentunya Seno, menantu saya itu sedikit banyaknya akan membantu kesulitan-kesulitan yang selama ini saya tanggung. Namun lacur. Semua hanya mimpi. Kehidupan saya tidak seperti pak Junet, yaitu tetangga saya yang juga sama-sama sudah punya menantu.
Menantunya itu begitu tanggap pada apa yang dibutuhkan keluarga pak Junet. Contohnya ketika Reza, adik Yanti, yaitu anak pak Junet yang sudah bersuami itu jatuh sakit, serta-merta suaminya Yanti, Wandar namanya, membawanya ke dokter ketika pak Junet tak ada di rumah. Tidak itu saja.
Ketika mertua perempuannya butuh diantar ke pasar saat pak Junet tak sempat, sang menantu bersedia menggunakan mobilnya mengantarkan mertua perempuannya itu ke pasar. Masih ada lagi yang bikin saya iri terhadap perilaku menantu pak Junet. Namun, tidak demikian dengan menantu saya yang tinggal di rumah saya sejak menikahi Nuri lima bulan lalu.
Kami memang sepakat Nuri dan suaminya untuk sementara tinggal serumah bersama kami karena masih ada kamar kosong yang tak ditempati sebelum mereka mendapat rumah tinggal baru.
Pada minggu-minggu awal tinggal bersama kami, saya pikir wajar kalau seandainya Seno masih kaku atau kurang paham dengan kebiasaan kami di rumah. Atau masih sungkan untuk bertindak bijak, atau berbuat yang membungakan hati kami sekeluarga. Sedang saya, sejak anak-anak sudah mulai berpikir dan bertanya, saya mulai ajarkan sifat menolong. Sifat membantu bagi siapa saja yang bisa dibantu, siapa saja yang bisa menolong dan ditolong.
Tanpa pamrih. Namun, saat masa perkawinan memasuki bulan kedua dan ketiga, banyak kejadian di rumah kami yang sepatutnya si Seno ini tanggap akan hal-hal yang membutuhkan uluran tangannya kala yang membutuhkan perhatiannya itu ada di dekatnya. Ini tidak. Tidak sama sekali! Bingung saya. Apa harus saya perintah? Apa harus saya beri contoh dulu? Ah, saya pikir tidak perlu karena dia sudah dewasa dan cukup berpendidikan bahkan saya pikir amat terdidik!
Padahal, kurang bagaimana saya terhadap menantu saya ini. Setelah saya pensiun, mobil milik saya banyak menganggurnya. Alias jarang dipakai. Makanya ketimbang mobil sedan saya banyak nongkrong di garasi, silakan saja dipakai kerja olehnya. Asal tangki bensin selalu terisi bila kembali ke rumah.
Tujuan saya adalah agar mobil itu selalu siap pakai jika ada keperluan mendadak keluar rumah. Sebulan berjalan mulus. Namun di bulan kedua, sewaktu mobil itu mau saya gunakan pergi ke arisan keluarga, tangki bensin kosong. Aki mobil soak!
"Tidak kamu kontrol dulu sebelum jalan kemarin, Sen?" tanya saya padanya mengenai aki mobil.
"Tidak sempat, Pak...," katanya singkat.
"Bensinnya tidak kamu isi?" tanya saya lagi. Kali ini Seno gagap.
"Anu, Pak. Hmm, pom bensin yang ada di ujung jalan bensinnya habis. Akhirnya mobil saya bawa pulang saja langsung, khawatir mogok di jalan."
Saya tak lagi menanggapi omongan menantu saya itu. Saya langsung ambil jeriken dan pergi cari bensin pakai sepeda motor. Sepulang beli bensin, tangki mobil langsung saya isi. Aki saya ganti dengan aki cadangan. Menantu saya hanya melihati saja. Tak peduli saya. Biar sekali-sekali saya bertindak seperti ini. Belajar tanggap di depan hidungnya! Biar dia tersinggung! Biar dia mikir!
Gumam saya dalam hati. Tapi dasar menantu sialan! "Beli bensinnya banyak, Pak?" hadangnya di depan pintu." Wah, kalau begitu sepulang Bapak dari arisan, saya mau pakai mobilnya ke Pancoran. Ada teman nawarin bisnis. Siapa tahu duitnya gede!"
Aku hanya menghela napas tanpa dia tahu.
Semalaman saya diskusikan sifat-sifat buruk menantu saya itu di kamar bersama istri.
"Ibu juga bingung Pak dengan kelakuan menantu kita itu. Dia juga kikir sama Nuri. Coba bayangkan, Nuri kan istrinya, masak Nuri minta dibelikan tas cangking saja sampai sekarang tidak dibeli-belikan juga. Gimana minta dibelikan rumah, barang murah saja susah!" tutur istri saya. "Kemarin Yoga, pinjam jaketnya barang sebentar tak diberi. Yoga kan adik iparnya, masak tidak melihat sih?" kata istri saya heran.
"Mestinya dia mikir," lanjut istri saya lagi, "Sudah untung tidak kita suruh mereka ngontrak rumah setelah mereka kawin karena Ibu kasihan dan tidak tega sama Nuri, masak anak kita harus ngontrak rumah segala. Rumah kita ini masih cukup besar walau misalnya mereka punya anak dua atau tiga!"
"Jadi kita harus bagaimana, Bu?"
"Tak tahulah, Pak..."
*
Ya, menantu saya ini sudah mulai menjengkelkan. Baru menginjak bulan kelima sudah banyak bikin masalah. Bagaimana satu tahun? Lalu punya anak? Tak terbayang oleh saya. Kehadirannya bukan membuat senang keluarga istri, eh malah bikin kesal semua orang yang ada di rumah!
Suatu hari mobil saya yang selalu dipakai Seno berangkat, ini kali tidak pulang bersama Senonya. Esoknya baru bisa diketahui bahwa ternyata mobil saya dibawa berburu bersama teman- teman Seno ke hutan di daerah Sukabumi. Mobil sedan yang tidak pantas masuk hutan itu, tampak banyak goresan di pintu mobil seperti terkena ranting dan rodanya penuh lumpur.
Saya mau marah, tak enak terhadap Nuri. Ada bekas luka gores juga di betis Seno, katanya kena ranting yang menghalangi jalannya. Tidak sekalian ranting itu nancap di pahanya! Gumam saya saking kesalnya terhadap menantu saya itu. Oh, maafkan bapakmu ini, Nuri. Bapak sudah menyumpahi suamimu, saya membatin. Akhirnya Seno hari itu tidak berangkat bekerja dengan alasannya capai dan kurang tidur.
Hasil buruannya cuma seekor anak rusa dan seekor tringgiling yang sudah mati. Konon, sang suami jika istrinya sedang hamil tidak boleh membunuh binatang? Apa Seno tahu itu? Ah, semoga saja tidak ada masalah dengan kehamilan Nuri, renung saya kemudian.
Siang itu saya guyur mobil yang penuh lumpur itu dengan air bekas cucian baju. Tak ada niat menyuruh Seno untuk membersihkannya. Kalau dia punya pikiran pasti dia sudah mencuci sendiri mobil saya sejak kembali pulang dari berburu dan menghilangkan semua kotoran yang melekat di mobil saya di mana bentuknya seperti habis terbenam di lumpur.
Dan nyatanya tidak. Sampai mobil itu kembali bersih, sampai goresan- goresan yang ada di kiri kanan pintu mobil itu hilang setelah saya olesi dempul khusus untuk bodi mobil. Seno, si menantu sontoloyo itu, tak tampak batang hidungnya untuk membersihkan mobil saya di garasi! Malahan siang itu saya mendapatkan Nuri menangis saat berpapasan dengan saya di dapur.
"Ada apa, Nur?" tanya saya ingin tahu.
"Mas Seno, Pak. Aku kan lagi ngidam rujak Betawi. Mas Seno nggak mau belikan aku asinan itu. Alasannya capai. Padahal dia tahu tempat mangkalnya!" rengek Nuri.
"Ya, sudah ndak usah nangis biar Bapak yang jalan, kasih tahu di mana mangkalnya?" kata saya sekadar meredakan kesedihan Nuri juga bermaksud agar Nuri mendapat apa yang sedang diidamkan. Demi calon cucu saya juga, kata saya dalam hati. Soal menghadapi perilaku menantuku, saya harus sabar. Seno menantu saya adalah anak saya juga, sebisa mungkin saya harus bisa menjaga kerukunan dan keharmonisan rumah tangga mereka.
Tapi masalah yang dimunculkan selalu saja ada. Dan ini membuat saya panas.
Saat Nuri minta diantar ke bidan oleh Seno untuk memeriksakan kandungannya yang baru berjalan tiga bulan. Seno tak bersedia mengantar dengan alasan ada temannya mau datang ke rumah. Akhirnya, ibunya yang mengantar Nuri ke bidan. Sedang Seno pergi dengan temannya yang datang menjemput ke rumah.
"Bapak harus tegur si Seno, Pak! Jangan diam terus. Nuri nggak mau diperlakukan seperti pembantu!" pinta Nuri pada saya tiba-tiba.
"Ada apa lagi, Nur?" tanya saya sedikit terkejut.
"Masak aku minta cuciin baju satu saja Mas Seno nggak mau, Pak! Katanya perempuan hamil muda tidak boleh kerja berat dulu, tidak bagus buat kandungannya. Tapi Mas Seno nggak peduli. Dia kayaknya nggak takut terjadi apa-apa pada kandunganku!"
"Kalau hanya satu baju kamu, kasih ke ibu. Biar ibu yang cuci," kata saya memberi saran.
"Tidak, Pak. Bapak sekali-kali harus kasih nasihat Mas Seno. Jangan didiamkan saja. Bisa-bisa ngelunjak nantinya!" kata Nuri mulai tampak kesal pada suaminya sendiri.
"Jangan Bapak, Nur. Nanti suamimu salah paham terhadap Bapak," potong istri saya yang muncul dari dapur. "Coba kamu omongin baik-baik dengan suamimu soal bagi-bagi tugas selama kamu hamil. Siapa tahu suamimu akan paham."
"Ah, bosan Bu. Sudah sering aku sampaikan, tapi Mas Seno tetap saja begitu, nggak mau mengerti keadaanku!"
Saya menghela napas lagi. Siapa yang salah dalam hal ini? Apa saya yang salah tidak memberi pengarahan sewaktu Seno datang menghadap saya di mana seminggu kemudian akan membawa orangtuanya untuk melamar Nuri anak saya? Atau Nuri yang kurang jeli memilih calon suami waktu itu? Ah, tak tahulah saya.
Kejadian yang sangat tidak terduga dan sangat membuat saya panas sekaligus menggigil adalah sewaktu saya secara kebetulan melihat mobil saya yang dibawa Seno sama-sama berhenti di lampu merah di mana saat itu saya sedang mengendarai sepeda motor dan baru keluar dari toko buku setelah membeli alat-alat lukis.
Yang membuat saya terperanjat adalah sosok perempuan yang duduk di sampingnya itu bukan Nuri. Perempuan lain yang tidak saya kenal. Dan tampak perempuan itu begitu manja saat berbicara pada Seno. Untuk tidak sampai keberadaan saya diketahui oleh menantu saya itu, motor saya mundurkan sedikit ke belakang. Dan ketika lampu merah menyala, saya biarkan mobil saya yang dibawa Seno itu melaju lebih dulu di depan dan saya membuntutinya dari belakang untuk mengikuti ke mana Seno pergi membawa perempuan yang tidak saya kenal itu.
Dari jalan protokol masuk ke jalan kecil lalu membelok ke kanan dan kemudian berhenti tepat di depan pintu gerbang sebuah rumah yang cukup besar bercat putih. Rumah perempuan itukah? Pikir saya saat melacak. Seno mengantar perempuan itu hanya sampai depan pintu gerbang rumah itu. Dia tak turun dari mobil.
Tapi yang membuat saya panas dingin waktu itu saat melihat perempuan itu hendak turun dari mobil. Perempuan itu memberi kecupan mesra kepada Seno menantu saya. Ah, siapa perempuan itu? Pikir saya. Ini pemandangan gila yang pernah saya lihat yang dilakukan menantu saya! Menantu edan! Umpat saya dalam hati. Pemandangan gila dari menantu gila! Umpat saya lagi. Apa yang harus saya lakukan setelah melihat kejadian tadi?
Saya ternyata tak bisa berbuat apa-apa sebagai mertuanya saat itu, sebagai bapak dari anak gadis yang dinikahi oleh lelaki yang memberi tontonan menjijikkan tadi itu. Handphone saya tak berkamera, saya tak bisa mengabadikan kejadian itu!
Saya lebih dulu tiba di rumah. Bayangan yang menjijikkan tadi masih melekat di pelupuk mata saya. Sepuluh menit kemudian saya mendengar suara mobil masuk ke dalam garasi. Itu pasti bajingan kuyuk yang saya lihat tadi baru pulang!
Umpat saya lagi. Seno masuk lalu duduk di sofa kemudian membuka sepatu, membuka dasi yang melilit di lehernya. Tampak seperti tak membawa dosa sama sekali. Nuri datang menyapa dengan senyum manis sambil membawa air minum di gelas. Nuri mencium tangan suaminya. Meletakkan sepatu Seno di rak sepatu. Menggantungkan dasi ke kapstok. Mata saya perih!
Bukti menantu bejat apakah harus saya ceritakan pada istriku? Apakah harus saya sampaikan ke Nuri anakku yang sedang mengandung anak dari suami yang bejat tadi? Oh, harus bagaimana saya ini? Sebentar lagi mereka akan memberi saya cucu? Saya pusing! *
Sumber: Suara Pembaruan 12/12/08.

0 comments: