Judul Buku : Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren (Kontribusi Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren)
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2007
Tebal : xi + 405 halaman
Identitas pesantren pada awal perkembangannya merupakan sebuah institusi pendidikan dan penyiaran agama Islam. Dari sisi historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indegenous) Indonesia . Dari sisi tujuan, pada mulanya pesantren bertujuan menyiapkan santri menjadi kader-kader ulama atau kiai melalui pendalaman dan penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fi al-din), sebagai lembaga dakwah, dan benteng pertahanan umat di bidang akhlak.
Seiring perkembangan zaman, pesantren juga menemukan dinamisasinya. Jika sebelumnya hanya berkonsentrasi pada pengajian kitab kuning dan ibadah ritual yang fiqh oriented, kini pesantren juga menjadi lembaga sosial yang mengemban fungsi-fungsi kemasyarakatan bagi komunitas sekitarnya.
Dengan pelebaran peran ini, pesantren diharapkan memiliki kepekaan sosial untuk merespon persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat, seperti mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, mengurangi pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat, dan sebagainya.
Salah satu pesantren yang berhasil memainkan peran sosial adalah Maslakul Huda, sebuah pesantren salaf yang berdiri di Desa Kajen, Pati, Jawa Tengah. Pesantren yang diasuh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh atau akrab dipanggil Kiai Sahal ini telah memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap persoalan-persoalan sosial masyarakatnya.
Di antara keberhasilan Kiai Sahal dan komunitas pesantrennya dalam memberdayakan masyarakat adalah dengan mendirikan dan mengembangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Huda Abadi yang beraset puluhan miliar rupiah unit simpan pinjam syari’ah (USPS), beberapa kelompok swadaya masyarakat (KSM) binaan, pembuatan pakan ternak dari limbah tapioka, dan masih banyak lagi usaha sosial lainnya.
Kiprah dan keberhasilan kiai nomer wahid di jajaran Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini memantik perhatian Zubaedi untuk menelisiknya lebih dalam. Hasil telisik ini kemudian ia formulasikan ke dalam sebuah disertasi yang berjudul Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh (Perubahan Nilai Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat). Selanjutnya, didorong gairah besar untuk membumikan jiwa sosial Kiai Sahal dan komunitas pesantrennya, Zubaedi kemudian meramu disertasinya ke dalam bentuk buku. Sehingga, bisa dibilang buku ini adalah jelmaan dari disertasi tersebut.
Secara substantif, buku ini mengarah kepada studi tentang dialektika perumusan pemikiran fiqh sosial, implementasi fiqh sosial bagi pengembangan masyarakat dan perubahan nilai-nilai pesantren sebagai konsekuensi dari adanya gagasan fiqh sosial, serta implementasi fiqh sosial Kiai Sahal dalam komunitas Maslakul Huda.
Dalam hal ini, Kiai Sahal bisa didudukkan sebagai tokoh “salaf” yang pembaharu. Ia berhasil menggeser cara pandangan terhadap fiqh, yakni dari fiqh sebagai paradigma “kebenaran ortodoksi/klasik” menjadi paradigma “pemaknaan sosial”. Jika yang pertama menundukkan realitas kepada kebenaran fiqh dan berwatak tekstualis (hitam putih) dalam memandang realitas, maka yang kedua menggunakan fiqh secara kontekstual dan memperlihatkan wataknya yang bernuansa responsif dalam memecah realitas sosial. (halaman 5)
Gagasan fiqh sosial yang dikembangkan Kiai Sahal merupakan bentuk kontekstualisasi dan reaktualisasi terhadap metodologi fiqh Syafi’iyyah dalam upaya menemukan pemikiran alternatif yang sejalan dengan cita-cita ideal transformatif, tak hanya dataran ide melainkan terimplementasi secara rapi, terkontrol, dan terlembaga untuk kemaslahatan bersama.
Fiqh sosial Kiai Sahal sejatinya bukanlah sesuatu yang luar biasa dan fenomenal, melainkan memang demikianlah sebetulnya ajaran Islam. Substansi setiap ajaran Islam sebetulnya berdimensi sosial. Hanya, dalam realisasinya, dimensi ini dalam keberagamaan umat Islam masih kalah menonjol oleh aspek ibadah ritual-vertikal (ibadah mahdlah).
Fiqh sosial Kiai Sahal sejatinya bukanlah sesuatu yang luar biasa dan fenomenal, melainkan memang demikianlah sebetulnya ajaran Islam. Substansi setiap ajaran Islam sebetulnya berdimensi sosial. Hanya, dalam realisasinya, dimensi ini dalam keberagamaan umat Islam masih kalah menonjol oleh aspek ibadah ritual-vertikal (ibadah mahdlah).
Buku ini amat penting menjadi pembuka mata hati umat Islam, utamanya para kiai dan komunitas pesantren yang dipimpinnya, agar memandang agama tidak sekadar persoalan kitab kuning dan ibadah mahdlah (ritual individual), melainkan juga mencakup persoalan-persoalan sosial (ibadah ijtima’iyah) yang menyentuh langsung ke kehidupan riil masyarakat bawah.
Harapan utama kehadiran buku ini, pesantren berani merubah kecenderungannya dari berpola fiqh secara normatif tekstual menuju pola fiqh secara kontekstual; dari kecenderungan berdakwah dengan ceramah (da’wah bi al-lisan) menuju berdakwah dengan amal perbuatan nyata (da’wah bi al-hal); dari pola sufisme eksklusif menjadi sufisme yang dinamis dan apresiatif terhadap kegiatan duniawi; serta dari kecenderungan kesalehan ritual individual menjadi kesalehan sosial.
--------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di harian Solo Pos pada Ahad, 30 Desember 2007.
--------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di harian Solo Pos pada Ahad, 30 Desember 2007.
0 comments:
Post a Comment