BERBEDA dengan ibadahibadah lain dalam Islam, haji merupakan ibadah yang menuntut persiapan
besar baik materi, fisik, maupun mental. Dari ketiga hal itu, (biasanya) persiapan materi menjadi perhatian ekstra. Tak berlebihan muncul ”vonis”, yang bisa haji hanyalah mereka yang kaya dan berada.
Bagi mereka yang memang berkekayaan melimpah, haji adalah hal biasa alias tidak istimewa. Mereka bisa berkali-kali pergi umrah atau haji. Fenomena ahl al-hajj (menunaikan haji secara berulang-ulang) ini tentu saja memantik ketakjuban dan rasa ”iri” masyarakat sekitarnya, ”Betapa beruntungnya si A itu, bisa pergi ke tanah suci berulang kali. Sedangkan aku, untuk mengepulkan asap dapur saja tak mampu, apalagi berhaji.”
Berhaji lagi
Ada beberapa alasan mengapa seseorang menunaikan ibadah haji untuk kali kedua atau bahkan ke sekian. Di antaranya, karena haji yang pertama belum sah lantaran ada beberapa rukunnya yang rusak, tidak sempat atau lupa dijalankan. Bisa juga karena merasa belum sempurna atau belum khusyuk secara total. Atau sekadar untuk menambah ”kesakralan diri” dengan memperbanyak amalan (haji) sunah. Bahkan ada pula yang menjadikan haji sebagai arena pertobatan setelah setahun lamanya merasa sering melakukan dosa.
Jumhur (mayoritas) ulama berkeputusan, haji hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup bagi muslim yang mampu (mustathi’). Jika setelah itu ia melakukan ibadah haji lagi, sekali atau beberapa kali, maka itu terhitung sebagai haji sunah. Simpulan ini menemukan referensinya pada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad, ”Barangsiapa ingin menambah atau mengulangi ibadah haji itu hukumnya sunah”.
Dalil lain yang kerap juga dijadikan pijakan adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Muslim, ”Wahai manusia, telah diwajibkan atas kalian haji, maka berhajilah.” Seorang sahabat kemudian bertanya, ”Apakah ibadah haji itu diwajibkan atas kita sekali dalam setahun, wahai Rasulullah?” Mendengar pertanyaan ini Nabi SAW diam, hingga sahabat tersebut mengulangi pertanyaannya untuk kedua kali. Barulah Nabi SAW memberi jawaban, ”Seandainya saya mengatakan Ya, maka akan menjadi wajib, sedangkan kamu takkan sanggup memenuhinya.”
Namun demikian, di luar jumhur ini ada seorang ahli fiqih asal Irak Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (hidup pada masa Bani Umayyah) yang berpendapat lain. Ibrahim pernah mengeluarkan fatwa hukum bahwa sedekah itu lebih baik daripada haji sunah, bahkan hajinya bisa menjadi makruh apabila ditemukan alasan ('illat) yang memakruhkannya semisal adanya persoalan penting dan mendesak diatasi menyangkut kemaslahan umat secara universal (pengentasan kemiskinan misalnya).
Permasalahan ini pernah pula diperdebatkan dalam Forum Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyyah pada Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama di Situbondo, 8-12 Desember 1984. Pertanyaannya, ”Bagaimana pandangan Muktamar terhadap keutamaan penggunaan dana haji ghairu wajib (haji yang bukan wajib, yakni yang kedua dan seterusnya) dibandingkan dengan untuk membiayai amaliyah yang bersifat sosial kemasyarakatan?”
Dengan mengutip pendapat Qadhi Husain dalam kitab Mughnil Muhtaj, sebagian muktamirin (peserta muktamar) berpendapat bahwa haji, sekalipun ghairu wajib, tetap utama dibanding dengan ibadah-ibadah yang lain. Karena, selain mencakup harta dan badan, haji juga menghimpun seluruh pengertian ibadah; salat, puasa, itikaf, juga amal sosial, dan bahkan berjuang di jalan Allah.
Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa menyalurkan dana haji ghairu wajib untuk kepentingan sosial jauh lebih utama ketimbang untuk ritual haji ghairu wajib yang mengindividual. Pendapat ini mengacu pada tausiyah Imam Syafi’i seperti dikutip dalam kitab Idhahu Muhyis Sunnah karya Ibnu Hajar Al- Haitami.
Mencermati kondisi masyarakat saat ini yang lebih membutuhkan dana sosial daripada melihat orang berhaji berkali-kali, maka bukan tidak mungkin pendapat yang kedua jauh lebih utama (www.nu.or.id).
Haji sosial
Alkisah, sepasang suami isteri berjalan kaki dan naik unta ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika melewati sebuah desa yang berpenduduk miskin dan sejumlah anaknya terserang busung lapar, muncullah rasa empati sehingga mereka memutuskan untuk memberikan semua bekal yang dibawanya. Keputusan ini mereka dasarkan pada penghayatan sebuah hadis Nabi SAW, ”Tidaklah beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui bahwa tetangganya kelaparan.”
Akhirnya, mereka memutuskan kembali ke kampung halaman, tidak jadi berhaji. Sesampai di rumah ternyata sudah ada seorang lelaki yang tidak dikenal menunggu. ”Selamat datang dari haji mabrur,” ucap lelaki itu. ”Anda salah, kami tidak jadi berhaji karena semua bekal telah kami diberikan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan,” protes suami isteri. ”Itulah haji mabrur!” sahut lelaki itu, lalu menghilang entah ke mana.
Kitab Hilyatul Auliya juga menceritakan kisah sewarna. Abdullah bin Mubarak bersama rombongannya pergi berhaji. Mereka melewati berbagai daerah hingga ayam yang mereka bawa ada yang mati. Abdullah bin Mubarak lalu menyuruh seseorang untuk melemparkannya ke tempat sampah. Setelah dilempar, sekonyongkonyong datanglah seorang perempuan mengambil bangkai tersebut. Abdullah bin Mubarak terhenyak, lalu menanyakan alasan mengapa perempuan itu sudi mengambil bangkai ayam.
Perempuan malang itu menceritakan bahwa ia terpaksa memungut bangkai itu karena tidak mendapatkan makanan sejak beberapa hari. Abdullah bin Mubarak iba. Semua bekal hajinya ia serahkan kepada perempuan itu, seraya mengatakan, ‘’Ini lebih baik daripada haji kita tahun ini.’’
Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali, dalam karya magnum opus-nya, juga mengamini pendapat ini. Bahkan tak hanya pelaku haji sunnah yang menjadi sorotannya, melainkan juga haji wajib.
Terhadap mereka yang berhaji wajib, al-Ghazali mengkritik bahwa di antara mereka banyak yang berangkat tanpa kesucian hati dan jiwa. Mereka banyak mengabaikan dimensi psikis dan etis ibadah haji. Sementara terhadap pelaku haji sunah, al-Ghazali memandang mereka sebagai orang yang teperdaya (ghurur), karena mengabaikan skala prioritas dalam beribadah.
Paparan kisah sufistik dan kritik al- Ghazali di atas bisa kita pandang sebagai sebuah pesan moral sekaligus kritik keras terhadap mereka yang menjadikan haji sebagai hobi tahunannya, padahal di sekelilingnya masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan atau menjadi pengangguran.
Mari kita berandai, jika setiap jamaah haji berkomitmen menyantuni, misalnya, dua orang miskin saja, maka berapa ratus ribu penduduk miskin akan tertolong hidupnya dalam setahun. Taruhlah 200 ribu jamaah haji, maka 400 ribu penduduk miskin per tahun akan terentaskan. Jumlah yang sangat besar.
Apakah kemiskinan akan kita biarkan menyeret mereka kepada kekufuran? Tentu tidak, bukan? Mari menjadi ”haji sosial”!
---------------------------------------------
Tulisan/opini dipublikasikan di harian sore Wawasan pada Senin, 3 Desember 2007.
0 comments:
Post a Comment