ads
Thursday, November 8, 2007

November 08, 2007
Tak hanya jagat politik, dunia keagamaan ternyata terjamah pula oleh perilaku neko-neko, nyeleneh
atau aneh-aneh. Saksikan saja aliran-aliran baru yang kini menjamur, selain berlawanan dengan kaidah-kaidah pakem, perilaku dan ajarannya terkadang juga membuat kita geli. Misalnya, sang guru penyebarnya mengaku mendapat wahyu dari Tuhan setelah bertapa atau bersemedi. Kemudian mereka menahbiskan diri sebagai Imam Mahdi, Isa Al Masih, nabi penyempurna, rasul utusan Tuhan, titisan malaikat, dan sebagainya.

Yang membuat takjub, bukan karena mereka bisa 'menjadi' nabi, rasul, atau titisan malaikat, melainkan karena mereka berhasil mengelabui dan membodohi orang lain untuk menjadi murid dan pengikut setianya. Yang lebih mencengangkan, kebanyakan mereka adalah kaum terpelajar dan intelektual. Sekata dengan Prof Dr KH Didin Hafidhuddin (Republika, 28/10/2007) ihwal kenabian, wahyu, serta Alquran dan sunnah Nabi sebagai syari’at umat Islam, dan beberapa hal lainnya bagi umat Islam adalah final dan qath’i (tetap dan mengikat).

Al Qiyadah
Sempalan paling anyar dan tengah memanas adalah Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan H Abdus Salam alias Ahmad Moshaddeq. Sebetulnya, apa yang membuat umat Islam geram dengan sempalan baru ini? Di antaranya:

Pertama,
klaim Moshaddeq sebagai nabi penyempurna. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi," (QS Al Ahzab [33]: 40).

Kalaupun diyakini bahwa setiap kerusakan di muka bumi akan berujung pada diutusnya seorang nabi (sebagaimana diyakini Al Qiyadah), maka yang Allah kirim tentu bukan nabi, melainkan seseorang yang berderajat mujaddid (pembaru yang memurnikan ajaran Islam dari penodaan dan pemalsuan ajaran suci Muhammad). Dan, kedatangan Moshaddeq bukan sebagai mujaddid, apalagi nabi.

Kedua,
Al Qiyadah mengakui Alquran sebagai kitab suci, tetapi di saat yang sama mereka mengingkari sunnah Muhammad SAW. Secara memprihatinkan mereka menafsirkan (dalam kebanggaan Moshaddeq: mentakwilkan) ayat-ayat Alquran secara serampangan dan semaunya. Akibatnya, mereka benar-benar terjerumus ke dalam kesesatan yang nyata. Islam bukan saja telah disempurnakan oleh Allah melalui Alquran yang diwahyukan kepada Muhammad sebagai Rasul terakhir, tetapi juga dijabarkan melalui sunnah (keteladan) Nabi Muhammad SAW. Menyedihkan, yang dilakukan Moshaddeq hanyalah mengutip ayat-ayat Alquran untuk mendukung dan membenarkan pandangannya, serta membuat orang yang tidak paham Alquran dapat diperdaya untuk masuk kelompoknya.

Ketiga,
aliran ini juga mengajarkan syahadat baru, yaitu: Asyhadu an-laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Al Masih Al Mau’ud Rasulullah (Saya bersaksi tiada ilah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Anda [Al Masih Al Mau’ud alias Ahmad Moshaddeq] adalah Rasul Allah). Kesaksian (syahadat) atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad merupakan pilar utama dalam Islam, apabila ditentang dengan sengaja akan berujung pada kemurtadan. Karena itu, kita wajib menyadarkan mereka agar kembali kepada ajaran Islam yang diajarkan Muhammad SAW.

Keempat, kesesatan nyata lainnya, aliran baru ini tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji. Perihal ini, Moshaddeq menyamakan kondisi abad ini dengan kondisi perkembangan Islam awal di Makkah sebelum Muhammad hijrah. Sehingga, menurut dia, sebelum hijrah dan sebelum terbentuk Khilafah Islamiyah, semua perintah tersebut belum wajib ditunaikan.

Uniknya, aliran ini juga mengenal penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada Al Masih Al Mau’ud sebagai bagian dari ajaran berinfak. Sebelumnya, penebusan dosa semacam ini hanya kita dapati dalam ajaran Nasrani (Katolik). Sedangkan penebusan dosa dalam Islam hanya dapat dilakukan dengan taubat nashuha, beriman, dan konsisten beramal saleh.

Mungkin permasalahan akan menjadi lain apabila kelompok tersebut tidak membawa Islam sebagai payung induknya. Artinya, mereka berdiri dengan bendera baru dan kitab suci baru, sehingga memungkinkan ajaran mereka 'dilindungi' oleh pasal-pasal kebebasan berekspresi. Namun, faktanya, mereka menenteng nama Islam dalam gerakannya, sementara ajaran asasi atau qath’i dan ushuli (bukan zhanni dan furu’i) agama tersebut mereka nodai.

Peran intelijen
Sebelum heboh Al Qiyadah, muncul beberapa aliran. Di Bandung ada Alquran Suci dan penganut Tatatan Persatuan Quran, di Sumedang ada kelompok penyembah matahari, di Kuningan ada ajaran Finalillah, di Madiun ada wanita Rusmiyati yang mengaku diwisuda Tuhan sebagai Ratu Adil dan panglima perang melawan iblis, di Jakarta ada Lia Eden, dan di Sulawesi Tengah ada Zikrullah bin Ali Tatang yang menobatkan diri sebagai nabi baru.

Dari persebaran aliran-aliran tersebut, termasuk Al Qiyadah yang mengklaim berpengikut 41 ribu orang, mencuatlah sebuah pertanyaan, mengapa intelejen dan lembaga Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) selalu terlambat dalam mengendus dan menindak kasus-kasus tersebut? Enam tahun Al Qiyadah beraksi bukanlah waktu yang singkat. Pun, gerakan-gerakan keblinger lain, selalu bisa memancangkan ajarannya dalam waktu yang tidak pendek.

Menurut Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Di samping itu kejaksaan juga harus mencegah terjadinya penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

Perkembangan dan terpublikasikannya aliran-aliran ini secara deras mengindikasikan bahwa peran intilejen dan PAKEM harus diperbaiki. Lembaga-lembaga tersebut semestinya mengendus keberadaan aliran-aliran yang meresahkan dan menindaknya, tanpa perlu menunggu protes dan aksi anarkhis massa yang main hakim sendiri. Kita tidak menginginkan itu, bukan?

-----------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di koran Republika pada Rabu, 7 November 2007.

0 comments: