ads
Monday, September 10, 2007

September 10, 2007
Judul : Harmoni dalam Budaya Jawa
(Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender)
Penulis : Drs. Moh. Roqib, M.Ag
Penerbit : STAIN Purwokerto Press bekerja
sama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2007
Tebal : xv + 258 halaman

Minggu, 09 September 2007
Budaya Jawa disinyalir tak lagi menjadi referensi dalam kehidupan belakangan ini. Ada kecenderungan, masyarakat lebih gandrung pada budaya Barat dan idiom-idiomnya. Sebagian dari mereka menganggap, kalau berbicara tidak keinggris-inggrisan belum bisa dibilang intelek, terpelajar atau maju. Jadi, keinggris-inggrisan itulah yang dijadikan ukuran kemajuan.Bahasa menunjukkan bangsa. Karenanya, identitas lokal harus terus dijaga dan dikembangkan sembari merumuskan budaya baru yang lebih baik.

Untuk menjembatani itu, berpikir global dan beraktifitas lokal (think globally and act locally) merupakan jalan alternatif yang harmonis untuk bisa maju tanpa menanggalkan identitas lokal. Budaya Jawa, misalnya, yang dikenal adiluhung, bisa dikembangkan dalam berbagai aspeknya seperti pendidikan, ekonomi, kesenian, politik, dan sebagainya, melalui tangan-tangan kreatif dan hati yang teduh masyarakatnya. Kendati pergaulan dan pemikirannya sudah menasional bahkan go internasional, orang Jawa harus tetap berbuat untuk masyarakat Jawa. Di sinilah urgensi think globally and act locally mutlak dikedepankan.

Dengan lain kata, perubahan budaya mesti disikapi secara moderat dan akomodatif-selektif tanpa menegasikan ruang lebih untuk kearifan lokal (local wisdom). Dalam implementasinya, nilai-nilai budaya yang positif merupakan aspek terpenting yang mesti dikukuhkan secara berkelanjutan. Akulturasi budaya yang disikapi secara keras, kejam, dan serampangan, hanya akan memunculkan disharmoni sosial yang ditandai adanya gesekan-gesekan antara kubu “Baratisme” dan “Arabisme”. Pasti tak ada seorang pun yang menghendaki itu. Masyarakat Jawa, misalnya, mereka memiliki filosofi, “rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, yang dalam pepatah Indonesia dikenal dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.Harmonitas sosial yang dimaksud bukanlah “kehidupan harmonis ala malaikat” yang monoton karena ketaatannya.

Harmoni-kreatif secara riil berada pada pluralitas manusia yang bergerak dinamis sesuai dengan daya kemampuan dan persepsinya, tetapi tetap menunjukkan irama yang selaras, serasi, indah, dan damai.Perbedaan pendapat, aspirasi, dan keragaman dalam strategi dan pola hidup merupakan hiasan indah kehidupan yang tetap harus dibingkai dalam keharmonisan yang menyatu dalam ruh tauhid.Buku ini hadir untuk mewujudkan cita-cita itu, bagaimana keharmonisan hidup bisa diraih dengan dinamika kreatifnya yang tinggi, sehingga ketenteraman dan kemajuan hidup bisa diraih bersama-sama dengan segala potensi heterogenitas budaya yang ada.Pun, dalam misi Islam, rahmatan lill’alamin (rahmat/kedamaian bagi seluruh alam) meniscayakan adanya relasi yang harmonis dan kreatif antara Islam dan budaya setempat.

Sikap ini berpijak pada jargon ushul fiqh: al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, mempertahankan kebudayaan lama yang baik dan mengambil kebudayaan baru yang lebih baik.Dengan jargon itu, masyarakat Muslim Jawa yang mayoritas Sunni lebih bisa bersikap kenyal (elastis-dinamis) dalam menghadapi berbagai masalah sosial dibanding dengan aliran-aliran lain dalam Islam seperti Khawarij maupun Syi’ah. Sikap kenyal (moderat) Muslim-Sunni-Jawa lebih terlihat jelas dalam pemikiran fiqhnya yang apresiatif terhadap budaya. Hal ini di antaranya disebabkan karena Muslim Jawa, yang mayoritas kelompok tradisionalis NU, lebih berpegang pada prinsip maqashid al-syar’iyyah (tujuan diundangkannya hukum), dan tidak terikat oleh teks-litera-struktural dalam merumuskan masalah hukum. ***


0 comments: