ads
Tuesday, June 19, 2007

June 19, 2007

Lulus Ujian Nasional (UN) memang hal yang membahagiakan dan membanggakan. Seakan inilah
puncak kemenangan setelah tiga tahun menempuh pendidikan di tingkat SMP atau SMA. Bahkan, lulus UN saat ini telah menjadi ‘cita-cita’ instan mengalahkan beragam profesi prestisius semisal dosen, dokter, maupun insinyur.

‘Cita-cita’ instan dan sempit inilah yang kemudian menggiring mereka melakukan segala cara untuk meraih keberhasilan, mulai dari bimbingan belajar (bimbel) sampai cara-cara yang tidak sehat semisal mencontek, mencari dan menebar bocoran, sampai mencuri soal ujian.

Begitu pun bagi orangtua, angka atau nilai adalah segalanya bahkan mengalahkan tujuan utama pendidikan, yakni mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sementara pihak sekolah juga tak kalah girang dengan hasil kelulusan anak didiknya. Setidaknya pamor mereka akan naik sebagai sekolah unggulan atau sekolah yang tidak lagi bisa diremehkan. Klimaksnya, mereka mendapat pujian karena mampu membawa anak didik ke puncak ‘keberhasilan’. Puas dan membanggakan.

Ritual Tahunan
Imbauan banyak pihak, termasuk sekolah, agar kegembiraan karena lulus ujian tidak diluapkan dalam aksi corat-coret dan konvoi kendaraan ternyata tidak pernah mempan. Dalam kelulusan kemarin (untuk tingkat SMA/MA/SMK di DIY diumumkan serentak pada 13 Juni 2006), arak-arakan pelajar dengan coretan di pakaian dan sebagian tubuh masih tetap ada. Ini menjadi penanda bahwa ‘ritual’ tahunan itu masih diwariskan.

Bak pahlawan yang menang dalam perang, mereka menyesaki jalan sembari meraung-raungkan suara motor dan membunyikan klakson. Untuk sehari, dalam beberapa jam, dunia adalah milik mereka. Meski intensitasnya sudah menurun, tetapi apa yang terjadi itu menunjukkan betapa hura-hura masih mendarah daging pada siswa.

Inilah yang menjadikan klaim keberhasilan pendidikan nasional termentahkan. Keberhasilan pendidikan tidak bisa hanya ditakar dari prosentase kelulusan dan capaian nilai (angka) ujian, melainkan harus komprehensif mencakup pula keimanan, ketakwaan, jiwa sosial, kedewasaan dan moralitas siswa.

Selain picik, cara ukur keberhasilan semacam ini juga bertentangan dengan amanat UU No. 20/2003 Pasal 3 tentang tujuan pendidikan. Yaitu, pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Masih maraknya euforia, bahkan terkadang ada yang kelewatan dengan pesta seks dan miras, merupakan bukti bahwa kita baru berhasil mencetak orang-orang pintar (mengerjakan soal), bukan orang-orang yang benar dan bermental dewasa. Di sinilah pendidikan agama (keimanan dan ketakwaan), serta peneguhan kecerdasan emosional dan spiritual, mutlak dinomorsatukan. Bukan sekadar formalitas atau pelengkap pelajaran.

Sayangnya, hal ini selalu luput dari perhatian siswa, orangtua, sekolah bahkan juga pemerintah. Imbauan agar tidak berlebihan dan kelewatan dalam merayakan kelulusan hanya akan menjadi bombas manakala tidak dibarengi dengan keseriusan dan ketegasan mengatasinya.

Untuk itu, diperlukan komitmen bersama (siswa, orangtua, masyarakat, sekolah, dan pemerintah) mengeliminasi budaya negatif tersebut. Kalaulah siswa memang membutuhkan wahana ekspresi kelulusan, mestinya disalurkan melalui media yang cerdas, kreatif dan mendidik. Bukan sekadar hura-hura yang merugikan kenyamanan dan kepentingan umum.

Saatnya siswa dan stakeholder pendidikan memformat ‘pesta’ kelulusan menjadi lebih bermakna, bukan sekadar euforia yang miskin makna. Misalnya dengan menggelar pengajian, pentas seni, karnaval (pawai atau konvoi yang tertib dan terkoordinir), renungan malam, bakti sosial atau sekadar menyumbangkan buku dan pakaian kepada yatim piatu dan masyarakat kurang mampu.

Ada lagi yang mengantisipasi aksi corat-coret dengan menggelar kain putih di sepanjang pagar sekolah. Pada kain itulah mereka bebas berekspresi dan berkontes membuat lukisan atau sekadar menorehkan tanda tangan.

Hakikat Syukur
Dalam Islam, syukur menuntut amal dan ketaatan beribadah, bukan kegirangan yang berlebihan. Ada beberapa cara mensyukuri nikmat Allah. Pertama, syukur dengan hati, yakni mengakui sepenuh hati apa pun nikmat dari Allah. Bukan hanya kelulusan, tetapi segala kenikmatan yang tak pernah bisa terkalkulasikan.

Kedua, syukur dengan lisan, yaitu dengan mengucap tahmid atau melakukan sujud syukur. Ekspresi ini merupakan pengakuan bahwa yang paling berhak menerima pujian hanyalah Allah SWT.

Ketiga, syukur dengan perbuatan, yakni menggunakan nikmat Allah pada jalan dan perbuatan yang diridhai-Nya. Bukan dengan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengganggu ketenangan orang lain.

Seseorang yang tidak mensyukuri nikmat (atau mensyukuri dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariat) disebut kufur nikmat. Seseorang yang kufur nikmat berusaha menutupi keberadaan nikmat Allah seraya meminimalkan cara bersyukur sebatas lidah dan seremonial (berpesta pora).

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berkalam, "Siapa yang tidak mau bersyukur atas nikmat pemberian-Ku, dan tidak mau bersabar atas cobaan-Ku, maka silakan saja ia keluar dari kolong langit-Ku dan silakan ia cari tuhan selain Aku!"

Ironisnya, kita hanya ingat kepada Allah manakala membutuhkan-Nya. Dalam hal ini, sebelum UN digelar kita beramai-ramai mencari Tuhan, mengiba kepada-Nya mohon kelulusan. Ada yang menggelar doa bersama, khatmil qur’an, mujahadah, shalat malam, dan sebagainya. Sikap over acting ini tanpa disadari justru mengajarkan siswa menjadi manusia hipokrit dan khianat.

Selain itu, ada juga yang meluapkan kegembiraan dengan bernadzar. Sayangnya, kita kerap keliru dalam memaknai nadzar. Dalam Islam, nadzar hanya sah dilakukan untuk hal-hal yang sunnah semisal nadzar puasa Senin Kamis, dan hal-hal yang fardlu kifayah semisal nadzar akan merawat jenazah atau mempelajari Ilmu Tajwid.

Nadzar tidak dianggap sah bila diwujudkan dalam hal-hal makruh atau mubah semisal nadzar menggundul kepala, bahkan berdosa jika diwujudkan dalam kemaksiatan semisal nadzar berbuat tabdzir (pemborosan), amoral dan asusila, serta mengganggu harmoni orang lain. (I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 360)

Semoga pendidikan kita tidak hanya mampu mencetak generasi-generasi pintar, tapi lebih dari itu juga berperilaku benar, dewasa dan bertanggung jawab.

---------------------
Dipublikasikan di surat kabar harian Bernas Jogja, Jum'at 15 Juni 2007.

Sumber Gambar

0 comments: