ads
Tuesday, May 15, 2007

May 15, 2007
Tidak banyak orang yang tahu, di bulan April ini terdapat satu momentum yang sangat penting bagi
keberlanjutan nafas bumi. Adalah Geylord Nelson, seorang senator dari Wisconsin Amerika, bersama jutaan aktivis lingkungan hidup Amerika yang merasa prihatin menyaksikan betapa kotor dan cemarnya bumi akibat ulah manusia.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Geylord Nelson menggagas pentingnya menggugah kesadaran manusia untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan. Bersama para aktivis lingkungan hidup, Nelson gencar mengampanyekan ‘Sehat Bumiku’. Puncaknya, pada 22 April 1970 Geylord Nelson menetapkan tanggal tersebut sebagai momentum Hari Bumi (Earth Day) se-dunia.

Secara prinsip, peringatan Hari Bumi tidaklah berbeda dengan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia 5 Juni, yakni sama-sama berorientasi pada penyelamatan bumi dan pelestarian lingkungan hidup. Hanya saja, keduanya berangkat dari akar historis yang berbeda. Jika Hari Bumi diprakarsai oleh Geylord Nelson bersama para aktivis lingkungan hidup, Hari Lingkungan Hidup didasarkan pada Konferensi PBB 5 Juni 1972 di Stockholm Swedia.

Tulisan ini tidak hendak mempertentangkan dua peringatan tersebut sebagai kecurigaan politis, atau mempermasalahkan keabsahan sejarah keduanya, atau juga bermaksud ’latah’ ikut-ikutan aksi Geylord Nelson dan kawan-kawan pada 37 tahun silam, melainkan sebagai sebuah usaha menggugah kesadaran bersama akan pentingnya fungsi kelestarian bumi.

Dalam memperingati Hari Bumi, pemerintah maupun aktivis-aktivis lingkungan hidup biasanya menggelar pernak-pernik acara semisal happening art, penghijauan, pembersihan pantai dari tumpukan sampah, pembersihan kota, pemberlakuan zona bebas kendaraan bermotor (polusi) seperti yang dulu kerap dilakukan di Unibraw Malang, dan sebagainya.

Sayangnya, semua kegiatan itu masih sebatas seremoni simbolik yang tidak pernah menyisakan kesadaran nyata alias masih bersifat semu. Artinya, kita baru akan tertunduk dan merenung manakala kehadiran bencana telah menelan banyak korban. Namun, seiring berlalunya musibah kita pun akan mudah dan tanpa merasa bersalah melupakan semuanya.

Kesemuan komitmen simbolik itu dapat kita saksikan secara nyata. Misalnya, membuang sampah di sembarang tempat, menebar polusi yang bersumber dari padatnya alat transportasi, menebang hutan secara liar (illegal logging), mengeksploitasi alam tanpa batas etika, juga pembangunan yang mengabaikan kelestarian serta keseimbangan lingkungan, tetap menjadi tradisi bangsa ini.

Betapa mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah arogansi dan oportunitas manusia terhadap lingkungannya. Banjir, tanah longsor, pencemaran lingkungan, tragedi lumpur Lapindo, dan sebagainya, adalah buah dari tangan-tangan arogan dan oportunis itu.

Dalam kajian ekonomi, oportunitas manusia ini sering disebut juga ekonomi koboi, yaitu sistem ekonomi yang banyak menggunakan asumsi seolah-olah; seolah-olah sumberdaya fisik di bumi secara praktis tidak dapat habis atau bertambah banyak; seolah-olah lingkungan hidup tidak mempunyai batas (carrying capacity) untuk menyerap limbah dan sebagainya; seolah-olah sumber daya alam tersedia secara tidak terbatas.

Dalam dunia koboi, si koboi bebas melakukan apa saja ketika ia berada dipadang rumput yang terbentang luas di hadapannya. Dia bisa menembak bison-bison dalam jumlah yang ia suka. Asumsinya, mati satu tumbuh seribu, kematian satu bison akan tergantikan oleh kelahiran bayi-bayi bison dalam jumlah yang lebih banyak lagi.

Cara pandang koboi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk buas dan ganas, bisa berbuat apa pun untuk memanfaatkan sumber daya alam tanpa terikat etika. Bagi mereka kerusakan alam atau lingkungan hidup hanya sesuatu yang abstrak dan tidak perlu mendapat perhatiaan serius. Lantas, apa guna happening art, penghijauan, dan pembersihan lingkungan di setiap peringatan 22 April?

Meminjam bait lagu Ebiet G. Ade, mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Lalu, siapa yang pantas dipersalahkan? Jangan kita bertanya pada rumput yang bergoyang, tetapi bertanyalah pada diri sendiri; Seberapa buruk etika kita terhadap lingkungan? Seberapa banyak salah dan dosa yang telah kita lakukan? Dan seberapa keras hati kita sehingga mengabaikan peringatan-peringatan Tuhan?

Tanggung Jawab Bersama
Selama ini, tanggung jawab kelestarian dan keberlanjutan ’nasib’ bumi selalu saja ditimpakan kepada segelintir manusia, yaitu pemerintah bersama jajaran kementeriannya maupun para aktivis lingkungan hidup semisal Walhi, Mapala, dan sebagainya.

Hal ini tidak boleh terjadi. Karena, sebagai mandataris Tuhan di bumi (khalifah fi al-ardl) persoalan lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Setiap individu mengemban amanat menjaga, melindungi, dan melestarikan alam. Bukan malah memperkosanya atau mengeksploitasinya secara buas hanya untuk memenuhi syahwat pribadi.

Karenanya, kita membutuhkan etika dan agama untuk membangun pola relasi yang harmonis dengan alam, sebagai konkretisasi komitmen kita melestarikan lingkungan dan menjaga eksistensi nafas bumi.

Dalam kajian etika, komitmen ini akan menemukan relevansinya dengan aliran etika biosentris yang menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupan (makhluk hidup). Aliran ini berpandangan bahwa alam juga memiliki "rasa"; ia akan merasakan sakit ketika dicemari dan murka ketika dieksploitasi.
Mengapa agama dilibatkan? Ya, karena ia memiliki kekuatan etik normatif bahkan juga represif kepada pemeluknya untuk ikut terlibat dalam pelestarian lingkungan. Wujud riilnya adalah dengan reparadigmatisasi agama atau merubah dan mengembalikan pemahaman masyarakat yang sempit tentang agama sebagai sebuah ritual baku dari Tuhan.

Teologi sebagai sebuah ranah keilmuan dituntut pula berkembang secara kontekstual sehingga mampu menciptakan harmoni antarsesama manusia, juga antara manusia dengan alam. Dalam Islam, misalnya, kita mengenal sebuah teologi yang sedang gencar dikampanyekan, yakni teologi ramah ligkungan.

Dalam teologi ini, soal pahala dan dosa tidak hanya diukur dari banyaknya amal ibadah (dalam arti sempit) semisal shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, dan seterusnya, namun juga berdasar konsistensi kita dalam menjaga kelestarian dan membangun pola relasi yang harmonis dengan alam.

Alquran, misalnya, banyak menegur kita dengan kata al-fasad dan variannya (laa tufsidu, mufsidin, yufsidu, dan seterusnya) yang berarti ’kerusakan’. Salah satunya Q.S. Al-A’raf (7): 56, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya...."
Semoga peringatan Hari Bumi dapat membangkitkan kesadaran kita akan arti penting kelestarian dan kesehatan bumi.

Tulisan ini dipublikasikan di surat kabar harian Koran Merapi, 23 April 2007.

Sumber Gambar

0 comments: