ads
Tuesday, May 15, 2007

May 15, 2007
Jabatan adalah salah satu kenikmatan duniawi yang menggiurkan dan menyilaukan karena menjanjikan kekayaan, ‘kewibaan’, hegemoni, dan kekuasaan. Tak heran banyak orang bermimpi bisa mendapatkannya.

Dalam konteks ini, ada dua prototipe jenis manusia. Pertama, ambisius. Yaitu, orang yang berambisi meraih jabatan sehingga menempuh segala macam cara untuk mewujudkan impiannya, meskipun dengan cara busuk dan licik sehingga merugikan orang lain. Bagi tipe ini, jabatan adalah segalanya, bahkan mungkin menjadi kiblat penghambaannya.

Kedua, orang yang memandang jabatan biasa-biasa saja. Baginya, jabatan adalah tanggung jawab yang tidak ringan dan harus dijaga sebaik mungkin. Orang tipe ini tidak akan bernafsu secara menggebu untuk menduduki sebuah jabatan. Kalau pun diberi jabatan, ia akan berusaha seoptimal mungkin memangku jabatan itu untuk kemaslahatan universal.

Terkait ini, Rasulullah SAW telah memberi warning melalui sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah, ''Sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba mendapatkan jabatan, padahal kelak di akhirat akan menjadi sebuah penyesalan…''

Warning sekaligus prediksi Nabi ini nampaknya bukan lagi isapan jempol. Terbukti, fenomena mutakhir memperlihatkan betapa jabatan menjadi perebutan setiap orang. Bagi mereka, jabatan merupakan lahan empuk untuk meraih gengsi, materi, serta hegemoni. Dengan jabatan mereka berharap dapat dihormati dan disegani. Dengan jabatan pula mereka berharap bisa mengeruk kekayaan. Tak sedikit pun amanah jabatan menjadi bahan pertimbangannya.

Tentu kita akan mengelus dada karena prihatin jika mengontraskan kondisi ini dengan kehidupan para sahabat dan salaf al-shalih. Abu Bakar dan Umar, misalnya, sempat menitikkan air mata ketika dilantik secara aklamasi menjadi khalifah. Bukan gembira yang diluapkan, namun kesedihan dan ketakutan. Beliau tahu betapa berat risiko yang harus ditanggung jika amanah disia-siakan.
Bahkan sahabat Abu Mas’ud Al-Anshariy lebih memilih tidak menjadi pejabat pemungut dan pengumpul zakat, karena khawatir tidak amanah. Rasulullah berkata, "Hai Abu Mas'ud, berangkatlah, semoga pada hari kiamat kelak aku tidak akan mendapatimu datang dalam keadaan punggungmu memikul seekor unta sedekah yang meringkik-ringkik, yang kau curangi". Aku (Abu Mas’ud) menjawab, "Jika demikian aku tidak berangkat!" Beliau menyahut, "Aku tidak memaksamu."

Sementara itu, dalam riwayat lain dikisahkan, ketika Abu Musa bersama dua orang Bani Ammi menemui Nabi, salah seorang di antara mereka meminta Nabi agar memberikan jabatan kepadanya, lalu Nabi menjawab, ''Sesungguhnya, demi Allah! Kami tak akan memberi amanah kekuasaan kepada seseorang yang memintanya, dan juga pada orang yang berambisi padanya.'' (HR Muslim)

Wajar Nabi menolak bahkan mengecam model orang seperti ini. Sebab, jabatan justru akan membuahkan kemadlaratan ketimbang kemaslahatan. Model ini juga meniscayakan adanya banyak kecurangan dan ketidakjujuran yang berujung pada penggerogotan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi. Dengan bahasa simpel, mereka tidak amanah.

Sementara orang yang amanah meniscayakan adanya kejujuran, komitmen, kapabilitas, dan kesadaran akan tanggung jawab menjalankannya. Ia sadar bahwa Allah selalu mengawasi setiap gerak raga bahkan hatinya. Karenanya, sebagai pemangku amanah, ia bekerja optimal untuk kesejahteraan universal semata-mata karena Allah SWT (lillahi ta’ala), tidak menyelewengkannya untuk kemaruk pribadi.

Lalu, bagaimana dengan Nabi Yusuf yang pernah meminta dijadikan pejabat urusan kesejahteraan (Q.S. Yusuf: 55)? Permohonannya menjadi pejabat bukan didasari ambisi, tapi panggilan nurani yang dilandasi kejujuran, keikhlasan, dan profesionalisme, untuk mengatasi kesengsaraan rakyat Mesir akibat kurang amanahnya pejabat negara (Menteri Kesejahteraan Rakyat). Bukan ingin menjadikan jabatan sebagai tujuan kehidupan dan lahan penghidupan.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ''Apabila amanah telah disia-siakan, tunggulah saat kehancurannya.'' Seorang sahabat bertanya, ''Ya Rasulallah, bagaimana maksud menyia-nyiakan amanah itu?'' Nabi menjawab, ''Yaitu menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Untuk itu tunggulah saat kehancuran urusan tersebut.'' (HR Bukhari)

Karena itu, hendaknya kita bisa mengukur kemampuan masing-masing; apabila tidak mampu memikul suatu amanah, maka lebih baik tahu diri dan menyerahkan urusan itu kepada orang lain yang lebih mampu.

Dalam tinjauan etimologi Arab, kata amanah seakar dengan kata iman. Ini berarti sikap amanah mempunyai korelasi erat dengan iman. Orang yang beriman pasti amanah. Sedang orang yang tidak amanah berarti tidak memiliki iman, meskipun lidahnya menyatakan beriman.

Orang yang tidak menunaikan amanah dengan baik dan penuh tanggung jawab berarti berkhianat. Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.'' (Q.S. Al-Anfal: 27).

-------------------
Tulisan ini dipublikasikan di surat kabar harian Bernas Jogja, 11 Mei 2007.

Sumber Gambar

0 comments: