ads
Wednesday, April 4, 2018

April 04, 2018





Sejarah telah mencatat bahwa periode klasik merupakan masa keemasan dan kejayaan Islam di berbagai bidang, termasuk di bidang sains dan pendidikan. Pada masa itu peradaban dan kebudayaan Islam, khususnya di Andalusia, mencapai puncak paling tinggi dan tidak tertandingi oleh bangsa mana pun. Saat bangsa Eropa-Kristen masih buta huruf, umat Islam di Andalusia justru telah menjadi kaum terdidik dan terpelajar, bahkan tidak sedikit yang menjadi ilmuwan prolifik dengan karya-karya besar dan bermutu tinggi. Ketika umat Islam di Andalusia mendirikan Universitas Cordova, bangsa Eropa-Kristen baru terbuka mata akan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka berdatangan ke universitas tersebut untuk menimba ilmu pengetahuan dari ilmuwan dan intelektual muslim. Mereka juga menerjemahkan ilmu-ilmu pengetahuan Islam ke dalam bahasa Eropa. Semangat keilmuan Eropa-Kristen inilah yang kemudian melahirkan renaissance, kebangkitan intelektual dan kultural Eropa-Kristen. Era renaissance menjadi tonggak penting dan babak baru kemajuan peradaban modern di Eropa sekaligus menandai berakhirnya periode klasik Islam.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Andalusia, Renaisans, Renaissance



A. Pendahuluan
Periode Klasik (650-1250 M)[1] merupakan periode yang sangat membanggakan bagi umat Islam. Pada periode ini serentetan kemajuan dan kegemilangan dalam peradaban dan kebudayaan berhasil dicapai oleh umat Islam. Selain kemajuan Daulah Abbasiyah di Timur (750-1256 M) yang berpusat di Baghdad, kemajuan peradaban juga diraih oleh Daulah Islam di Barat (Andalusia). Keduanya saling berkompetisi dalam mengembangkan dan melejitkan ilmu pengetahuan, peradaban, dan kebudayaan masing-masing sehingga sejarah mencatat abad-abad itu sebagai The Golden Age of Islam, masa keemasan Islam dan peradabannya.
Khusus Andalusia, kemajuan paling menonjol terlihat pada masa pemerintahan Abdurrahman I, Abdurrahman III, dan al-Hakam II. Ketiga tokoh pemerintahan ini telah memberikan motivasi dan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam menata dan memacu gerak kebangkitan kebudayaan Islam di Andalusia.[2]  Pada masa pemerintahan Abdurrahman I, terjadi pembangunan besar-besaran di segala bidang, termasuk pembangunan istana dan Masjid Agung al-Hamra. Abdurrahman I juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai sekolah dasar dan menengah hingga perguruan tinggi serta lembaga-lembaga kajian ilmiah.[3]
Terhadap Abdurrahman III (912-961 M) Historians’ History of the World menuliskan pesona kebesarannya, bahwa “Dia (Abdurrahman III) adalah tokoh terbesar di antara khalifah-khalifah di Spanyol, dan pemerintahannya adalah masa yang teramat gemilang bagi kerajaan itu.”[4] Sementara Khalifah al-Hakam II dikenal sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia memperluas dan memperbesar perpustakaan Cordova sehingga menjadi perpustakaan terbesar untuk seluruh kawasan Eropa pada masanya dan pada abad-abad berikutnya.[5] Al-Hakam II juga mencurahkan perhatiannya kepada dunia pendidikan dengan membangun puluhan sekolah baru dan meningkatkan kualitas Universitas Cordova.[6]
Saat umat Islam di Andalusia sibuk dan asyik mengkaji ilmu pengetahuan, bangsa Eropa-Kristen masih tenggelam dalam buta huruf. Ketika umat Islam di Andalusia mendirikan Universitas Cordova, bangsa Eropa-Kristen baru tersadar dari “masa jahiliyah” mereka. Mereka lalu berbondong-bondong ke universitas prestisius tersebut untuk menimba ilmu pengetahuan dari intelektual muslim. Semangat mereka dalam mencari ilmu melejit kuat. Semua khazanah pustaka berbahasa Arab mereka terjemahkan ke dalam bahasa Eropa sampai akhirnya mereka memasuki era renaissance, yakni kebangkitan intelektual dan kultural Eropa-Kristen. Era renaissance menjadi tonggak penting dan babak baru kemajuan peradaban modern di Eropa sekaligus menandai berakhirnya periode klasik Islam.
Makalah ini akan mengkaji pola pendidikan Islam di Andalusia sehingga negara tersebut mencapai puncak peradaban tertinggi pada zamannya. Selain itu, akan dikaji pula pengaruh dan kontribusi pendidikan Islam di Andalusia terhadap lahirnya renaisans di Eropa.

B. Pembahasan
1.   Sejarah Masuknya Islam di Andalusia
Andalusia adalah sebutan untuk wilayah Semenanjung Iberia, yang sekarang mencakup wilayah Spanyol dan sebagian kecil Portugal. Pada 406 M Semenanjung Iberia dikuasai oleh bangsa Vandals[7], karena itulah wilayah tersebut dinamakan Vandalusia. Dalam perkembangannya, Vandalusia direbut oleh bangsa Goth atau Visigoth. Cukup lama bangsa Goth menguasai Vandalusia, sampai akhirnya pada 711 M pasukan Islam berhasil merebutnya. Sejak itulah nama Vandalusia berubah menjadi Andalusia.[8]
Kondisi sosial masyarakat Andalusia sebelum dikuasai Islam sangat memprihatinkan. Masyarakat terpolarisasi ke dalam tiga kelas sosial. Kelompok masyarakat kelas 1 diduduki para penguasa, yang terdiri dari raja, para pangeran, pembesar istana, pemuka agama, dan tuan tanah besar. Mereka bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok masyarakat kelas 2 yang terdiri dari tuan tanah kecil dan kelompok masyarakat kelas 3 yang terdiri dari para pekerja kasar, buruh, dan budak.[9] Sikap intoleransi juga dipertontonkan penguasa Andalusia (yang saat itu dikuasai bangsa Goth) terhadap mereka yang beraliran monofisit[10]. Penduduk yang beragama Yahudi juga dipaksa mengikuti baptis yang dilakukan oleh penguasa. Siapa yang menolak, akan disiksa bahkan dibunuh. Kondisi ini mengakibatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Andalusia tidak keruan. Di sisi lain, keadaan umat Islam justru lebih makmur, damai, toleran, penuh persaudaraan, dan tidak membedakan masyarakat berdasarkan status sosial. Dalam kondisi itulah mereka berbondong-bondong meminta perlindungan kepada umat Islam agar membebaskan mereka dari kesewenang-wenangan penguasa, bangsa Goth.[11]
Kekacauan politik pada masa pemerintahan Raja Roderick, raja Goth yang terakhir, semakin menambah raport buruk bangsa Goth di Semenanjung Iberia. Kekacauan ini dipicu oleh kudeta yang dilakukan Roderick, Panglima Perang Andalusia. Sepeninggal Witiza, raja Goth yang berkuasa saat itu, Roderick merebut singgasana Andalusia. Putra Witiza berusaha merebut kembali singgasana ayahandanya yang dirampas oleh Roderick, tetapi gagal. Putra Witiza lalu bersekutu dengan Graff Julian, penguasa wilayah Septah/Ceutia, yang sudah lama bermusuhan dengan Roderick. Bersekutunya dua kekuatan itu ternyata belum juga dapat melumpuhkan kekuatan Roderick. Julian dan putra Witiza akhirnya bergabung dengan kaum muslimin di Afrika Utara, yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Musa bin Nushair, di bawah pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Julian dan putra Witiza memberi dukungan penuh kepada kaum muslimin untuk menguasai Andalusia.[12]
Akhirnya, Islam berhasil menguasai Andalusia pada masa Khalifah al-Walid (705-715 M), salah seorang khalifah Bani Umayyah di Damaskus. Dalam penaklukan itu pasukan Islam menjadikan Afrika Utara sebagai batu loncatan atau pintu gerbang untuk memasuki Andalusia.[13] Kedatangan pasukan Islam ke Andalusia disambut antusiasme kelompok masyakat kelas 2 dan 3. Dua kelompok inilah yang selalu ditindas oleh bangsa Goth, penguasa Andalusia saat itu.[14]
Tercatat ada tiga nama penting yang berjasa besar dalam penaklukan Andalusia. Mereka adalah Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair. Tharif bin Malik berperan sebagai perintis dan penyelidik jalan, Thariq bin Ziyad sebagai penakluk Andalusia, dan Musa bin Nushair sebagai pendukung utama Thariq dalam memobilisasi pasukan dari Afrika Utara.[15]

2.   Perkembangan Islam di Andalusia
Wajah ramah, toleran, humanis, dan penuh persaudaraan yang diperlihatkan Thariq bin Ziyad dan kawan-kawan berhasil memikat hati masyarakat Andalusia. Tidak mengherankan jika kemudian Islam mengalami perkembangan yang signifikan dan membanggakan di Semenanjung Iberia itu selama tujuh setengah abad. Badri Yatim membagi perkembangan Islam di Andalusia, sejak pertama kali berkuasa sampai masa keruntuhannya, ke dalam enam periode.[16]
a.   Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol (Andalusia) berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik di Andalusia belum tercapai secara sempurna karena masih ada berbagai gangguan, baik dari dalam maupun dari luar.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan antarelite penguasa. Di samping itu, terdapat pula perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur di Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Adapun gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam yang tidak pernah mau tunduk kepada pemerintahan Islam di Andalusia. Mereka mendiami daerah-daerah di pegunungan. Periode ini berakhir dengan datangnya Abdurrahman al-Dakhil ke Andalusia pada 755 M.

b.   Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini Andalusia berada di bawah pemerintahan seorang amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Andalusia tahun 138 H/755 M dan diberi gelar al-Dakhil. Abdurrahman al-Dakhil adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil meloloskan diri dari kejaran Bani Abbasiyah yang menghancurkan Bani Umayyah di Damaskus.
Setelah memasuki Andalusia, al-Dakhil mendirikan dinasti baru Bani Umayyah. Para penguasa pada periode ini adalah Abdurrahman al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman al-Ausath, Muhammad bin Abdurrahman, Munzir bin Muhammad, dan Abdullah bin Muhammad. Kemajuan demi kemajuan ditorehkan pada periode ini, baik di bidang politik maupun peradaban. Abdurrahman al-Dakhil mendirikan Masjid Cordova dan beberapa sekolah. Hisyam berjasa dalam menegakkan hukum Islam, sedangkan Hakam dikenal sebagai pembaharu di bidang kemiliteran. Sementara al-Ausath dikenal sangat mencintai ilmu, termasuk pula filsafat.

c.   Periode Ketiga (912-1013 M)[17]
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar “al-Nashir” sampai munculnya muluk al-thawaif (raja-raja kelompok). Pada periode ini para penguasa menggunakan gelar khalifah, yang selama 150 tahun gelar ini hilang dari kekuasaan Bani Umayyah. Pada periode ini pula umat Islam di Andalusia mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulah Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman al-Nashir mendirikan Universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran yang tinggi.
Menjelang akhir periode ini terjadi kekacauan politik pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia, yakni ketika Hisyam naik tahta pada usia yang belum matang untuk menjadi khalifah. Saat itu Hisyam masih berusia sebelas tahun. Pada 981 M kekuasaan Andalusia akhirnya dipegang oleh Ibnu Abi ‘Amir, yang terkenal dengan gelar al-Manshur Billah. Inilah tonggak runtuhnya daulah Bani Umayyah di Andalusia. Kekuasaan kemudian diwariskan oleh al-Manshur Billah kepada keturunannya secara turun-temurun. Pada pengujung periode ini, Andalusia mengalami kemunduran yang sangat drastis, buruk dalam ekonomi dan hancur dalam politik.

d.   Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini Andalusia terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan Muluk al-Thawaif (raja-raja kelompok/golongan). Pada periode ini umat Islam Andalusia kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, apabila terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak bertikai yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Kondisi ini dimanfaatkan oleh orang-orang Kristen untuk mengambil inisiatif penyerangan terhadap kaum muslim. Walaupun kondisi politik tidak stabil, kehidupan intelektual pada periode ini tetap berjalan. Mereka meminta suaka dari satu istana ke istana yang lain.
e.   Periode Kelima (1086-1248 M)
Walaupun terpecah dalam beberapa negara, pada periode ini terdapat satu kekuatan yang sangat dominan, yaitu kekuasan Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Pada era Dinasti Muwahhidun kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi, tidak lama setelah itu Dinasti Muwahhidun mengalami keruntuhan. Sejak 1212 M sampai 1248 M, kota-kota besar di Andalusia, kecuali Granada, lepas dari kekuasaan Islam jatuh ke tangan penguasa Kristen.

f.    Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini Islam hanya berkuasa di Granada di bawah Dinasti Ahmar. Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman al-Nashir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Granada sebagai kerajaan terakhir Islam di Andalusia ini akhirnya mengalami keruntuhan juga. Lagi-lagi, penyebabnya adalah perebuatan kekuasaan atau perang saudara. Ironisnya, salah satu pihak yang bertikai, yaitu Abu Abdullah, justru meminta bantuan Kristen (Ferdenand dan Isabella) untuk menjatuhkan penguasa yang sah. Setelah Abu Abdullah berhasil melakukan kudeta dan naik tahta, Ferdenand dan Isabella justru melakukan pengkhianatan. Pada 1492 M mereka merebut kekuasaan Abu Abdullah dan menduduki Granada. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol/Andalusia. Umat Islam dihadapkan pada dua pilihan, masuk Kristen atau meninggalkan Andalusia.
Berdasarkan pembagian di atas dapat kita ketahui bahwa usia kekuasaan Islam di Andalusia adalah 781 tahun, dengan rincian: 44 tahun   berada di bawah kekhalifahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus (periode dependen), 258 tahun atau 276 tahun[18] mendirikan Bani Umayyah II (periode independen), dan selebihnya adalah kekuasaan lanjutan di luar Bani Umayyah II.

3.   Kemajuan Peradaban Islam di Andalusia
Selama lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol (Andalusia), umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang diraih, yang pengaruhnya membawa Eropa kepada kemajuan yang lebih kompleks. Kemajuan yang paling menonjol terlihat pada masa pemerintahan Abdurrahman I, Abdurrahman III, dan al-Hakam II. Ketiga tokoh pemerintahan ini telah memberikan motivasi dan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam menata dan memacu gerak kebangkitan kebudayaan Islam di Andalusia.[19]
Masa pemerintahan Abdurrahman I dipandang oleh para sejarawan (baik muslim maupun Barat) sebagai masa yang sangat fenomenal yang ditandai dengan pembangunan besar-besaran di segala bidang. Pembangunan istana dan Masjid Agung al-Hamra di Cordova adalah di antara proyek besarnya. Selain membangun Masjid Agung Cordova, Abdurrahman I juga membangun banyak masjid di kota-kota lainnya. Ia juga mendirikan gedung-gedung perguruan tinggi, membangun institusi-institusi pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah serta membentuk lembaga-lembaga kajian ilmiah.[20]
Kebangkitan kebudayaan dan peradaban Islam di Andalusia semakin semarak dan lebih pesat pada masa pemerintahan Abdurrahman III (912-961 M). Historians’ History of the World menggambarkan pesona kebesaran Abdurrahman III: “Dia adalah tokoh terbesar di antara khalifah-khalifah di Spanyol, dan pemerintahannya adalah masa yang teramat gemilang bagi kerajaan itu.” Momentum historis-politis yang sangat strategis bagi masa depan kemandirian Daulah Umayyah II di Andalusia adalah keputusan Abdurrahman III untuk melakukan transformasi bentuk pemerintahan dari emirat menjadi khilafat pada 929 M.[21]
Khalifah al-Hakam II dikenal sebagai khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia memperluas dan memperbesar perpustakaan yang ada di ibukota Cordova sehingga menjadi perpustakaan terbesar untuk seluruh kawasan Eropa pada masanya dan pada abad-abad berikutnya. Di antara cara unik al-Hakam II untuk menambah koleksi buku adalah dengan membeli naskah dan manuskrip dari para ilmuwan dan pengarang dengan harga/imbalan yang sangat besar. Lebih unik lagi, di antara naskah yang ia beli justru karangan penulis dari Baghdad, yaitu al-Aghani (20 jilid) karya Abu al-Faraj al-Ashfahani (897-966 M). al-Hakam membeli naskah itu seharga 1.000 dinas emas.[22]
Cara lain yang ditempuh Khalifah al-Hakam untuk memajukan intelektual dan cultural adalah dengan mengundang para sarjana, cendekiawan, dan para penulis professional untuk datang ke Istana. Atas setiap ilmu yang mereka berikan, al-Hakam memberikan insentif, hadiah, atau imbalan lebih dari selayaknya. Sejalan dengan itu, al-Hakam mencurahkan perhatiannya kepada dunia pendidikan dengan membangun puluhan sekolah baru dan meningkatkan kualitas Universitas Cordova.[23]
Kemajuan-kemajuan peradaban Islam di Andalusia yang menonjol berdasarkan bidangnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.   Kemajuan Intelektual
1)   Filsafat
Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M. Kemudian atas inisiatif al-Hakam (961-976 M) karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam.[24]
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakar Muhammad bin al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajjah. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama kedua adalah Abu Bakar bin Thufail. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi, dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hayy bin Yaqzhan. Tokoh filsafat Islam Spanyol lainnya adalah Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai ulama fikih penulis Bidayah al-Mujtahid. Ia juga menulis buku kedokteran al-Kulliyyah fi al-Thibb.[25]
2)   Sains
Sains yang terdiri dari ilmu-ilmu kedokteran, fisika, matematika, astronomi, kimia, botani, zoology, geologi, sejarah, geografi, dan farmasi, juga berkembang sangat baik. Beberapa tokoh sains dalam bidang astronomi adalah Abbas bin Farnas, Ibrahim bin Yahya al-Naqqash, Ibnu Safar, dan al-Bitruji. Dalam bidang obat-obatan atau farmasi antara lain Ahmad bin Iyas, Ibnu Juljul, Ibnu Hazm, dan Ibnu Abdurrahman bin Syuhaid. Adapun di bidang kedokteran ada Ummul Hasan binti Abi Ja’far, seorang dokter wanita. Dalam bidang geografi ada nama Ibnu Jubair dan Ibnu Batutah. Sedangkan Ibnu Khaldun tercatat sebagai perumus filsafat sejarah sekaligus penulis buku Muqaddimah.[26]
3)   Bahasa dan sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Andalusia. Penduduk muslim maupun non-muslim dapat menerimanya dengan baik. Bahkan, penduduk asli Spanyol/Andalusia menomorduakan bahasa asli mereka. Di antara pakar bahasa Arab adalah Ibnu Sayyidih, Muhammad bin Malik pengarang Alfiyah, Ibnu Khuruf, Ibnu al-Hajj, dan al-Gharnathi.
Dalam bidang sastra banyak bermuncul karya besar, seperti al-Aql al-Farid karya Ibnu Abdi Rabbih, al-Dzakirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah karya Ibnu Bassam, dan Kitab al-Qalaid karya al-Fath bin Khaqan.[27]
4)   Musik dan kesenian
Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan bin Nafi’ yang dijuluki Zaryab.[28]

b.   Kemajuan di Bidang Keilmuan Keagamaan
1)   Tafsir
Salah satu mufasir terkenal dari Andalusia adalah al-Qurthubi (w. 1273 M). Adapun karyanya dalam bidang tafsir adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kitab tafsir yang terdiri dari 20 jilid ini dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi.[29]
2)   Fikih
Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Ziyad bin Abdurrahman tercatat sebagai tokoh yang memperkenalkan mazhab ini di sana. Para ahli fikih lainnya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi, Ibnu Rusyd penulis Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, al-Syatibi penulis al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, dan Ibn Hazm.

c.   Kemajuan di Bidang Arsitektur Bangunan
1)   Cordova
Pada masa Bani Umayyah II, Cordova ditetapkan sebagai ibukota Andalusia, yang semula berkedudukan di Toledo. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun sangat indah dan megah. Taman-taman dibangun untuk menghiasi kota. Pohon-pohon besar diimpor dari Timur. Salah satu kebanggaan kota ini adalah kemegahan Masjid Cordova.[30]
2)   Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Pusat dan puncak ketinggian arsitekturnya bisa dilihat pada keindahan dan kemegahan Istana Al-Hambra.
3)   Sevilla
Kota Sevilla atau Asyibiliyah dibangun pada masa pemerintahan al-Muwahhidin. Kota ini semula adalah rawa-rawa. Salah satu bangunan masjid yang didirikan pada 1171 M kini telah berubah menjadi gereja dengan nama Santa Maria de la Sede.[31]
4)   Toledo
Toledo merupakan kota penting di Andalusia sebelum dikuasai Islam. Ketika Romawi menguasai kota Toledo, kota ini dijadikan ibukota kerajaan. Ketika Thariq bin Ziyad menguasai Toledo, kota ini dijadikan pusat kegiatan umat Islam terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan penerjemahan. Pascajatuhnya Andalusia, beberapa bangunan masjid di Toledo diubah fungsi menjadi gereja.[32]

4.   Pola Pendidikan Islam di Andalusia
Kemajuan-kemajuan Andalusia di berbagai bidang, sebagaimana dipaparkan di atas, utamanya di bidang intelektual dan peradaban tidak terjadi begitu saja. Ada proses pendidikan dan  pembelajaran yang dilalui dalam mewujudkan semua kemajuan itu. Khairuddin dalam Sejarah Pendidikan Islam[33] membagi secara garis besar pendidikan Islam di Andalusia ke dalam dua bagian.
a.   Kuttab
Umat muslim Andalusia telah menorehkan catatan sejarah yang mengagumkan dalam bidang intelektual. Banyak perestasi yang mereka peroleh, khususnya perkembangan pendidikan Islam. Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam sangat tergantung pada penguasa yang menjadi pendorong utama bagi kegiatan pendidikan. Di Andalusia menyebar lembaga pendidikan yang dinamakan Kuttab selain Masjid. Kuttab termasuk lembaga pendidikan terendah yang sudah tertata dengan rapi dan para siswa mempelajari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan.
b.   Pendidikan Tinggi
Di kawasan Andalusia yang pernah menjadi pusat pemerintahan Islam, juga banyak dibangun perguruan tinggi terkenal seperti Universitas Cordova, Sevilla, Malaga, dan Granada. Orang-orang Eropa yang pertama kali belajar sains dan ilmu pengetahuan banyak tertarik untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Andalusia. Sehingga, lahirlah kemudian murid-murid yang menjadi para pemikir dan filosof terkenal Eropa. Sejak itu, dimulailah zaman renaissance-nya Eropa. Perguruan Tinggi Oxford dan Cambridge di Inggris merupakan tiruan dari lembaga pendidikan di daerah Andalusia yang menggabungkan pendidikan, pusat riset, dan perpustakaan.
Para siswa yang belajar di Kuttab diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat tinggi di Universitas Cordova. Unversitas Cordova berdiri tegak bersanding dengan Masjid Abdurrahman III[34] yang akhirnya berkembang menjadi lembaga pendidikan tinggi terkenal yang setara dengan Universitas Al-Azhar di Kairo dan Universitas Nizamiyah di Baghdad[35]. Universitas Cordova memiliki perpustakaan yang menampung sekitar empat juta buku yang meliputi buku astronomi, matematika, kedokteran, teologi, hukum, dan lain-lain. Jumlah muridnya mencapai seribu orang. Selain ke Universitas Cordova, para lulusan Kuttab dapat pula melanjutkan petualangan ilmiahnya di Universitas  Sevilla, Malaga, atau Granada[36].
Dalam setiap perkembangan pendidikan pastilah ada faktor-faktor yang mendukungnya. Begitu pula dalam perkembangan Pendidikan Islam di Andalusia, terdapat beberapa faktor penduduk sebagai berikut.
1)   Faktor dukungan penguasa.
Pendidikan di Andalusia maju sangat pesat dikarenakan mendapat dukungan penuh dari para penguasa, terlebih para penguasa Andalusia saat itu merupakan sosok-sosok yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan berwawasan jauh ke depan.
2)   Faktor ketersediaan lembaga pendidikan.
Tersedianya banyak sekolah dan universitas di beberapa kota menjadi salah satu faktor penting majunya pendidikan di Andalusia, selain pendidikan-pendidikan yang digelar di masjid-masjid. Universitas yang sangat terkenal pada zaman itu adalah Universitas Cordova, Sevilla, Malaga, dan Granada.
3)   Faktor kemudahan mengakses literatur dan bertukar gagasan.
Banyaknya sarjana Islam yang datang dari ujung Timur dan ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai buku dan gagasan memudahkan para siswa dan mahasiswa untuk mengakses referensi-referensi ilmiah yang mereka butuhkan. Selanjutnya, tercipta iklim pendidikan dan intelektual yang sangat kuat karena setiap siswa dan mahasiswa terlibat aktif dalam pertukaran gagasan dan diskusi-diskusi ilmiah.
4)   Faktor kompetisi antara Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah II.
Sebagaimana diketahui bahwa tumbangnya Bani Umayyah di Damaskus disebabkan oleh gerakan revolusi Abbasiyah pada 750 M. Pasukan Abbasiyah melakukan asasinasi (pembunuhan) dan pembantaian massal terhadap semua anggota keluarga Bani Umayyah. Hanya Abdurrahman al-Dakhil yang berhasil meloloskan diri, yang kemudian mendirikan Bani Umayyah II di Andalusia. Luka sejarah ini kemudian menyisakan semangat Bani Umayyah II untuk dapat berkembang cepat sehingga menyaingi Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Di antara persaingan kedua dinasti ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Persaingan ini berkontribusi sangat positif dan produktif dalam meroketkan kemajuan pendidikan dan peradaban Islam. Terbukti pada zamannya (periode klasik), dua dinasti ini menjadi penguasa keilmuan dan peradaban dunia.

5.   Sumbangan Islam Andalusia terhadap Gerakan Renaisans di Eropa
Sejarah telah mencatat bahwa selama tujuh abad umat Islam sangat berjaya dan memegang obor kemajuan kebudayaan dan peradaban dunia. Baik Daulah Islam di Timur (Daulah Abbasiyah, 750-1256 M) yang berpusat di Baghdad maupun Daulah Islam di Barat (Daulah Umayyah II, 756-1031 M) yang berpusat di Cordova, memperlihatkan gemerlap pesona kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[37] Khusus Andalusia, kemajuan paling menonjol terlihat pada masa pemerintahan Abdurrahman I, Abdurrahman III, dan al-Hakam II. Ketiga tokoh pemerintahan ini telah memberikan motivasi dan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam menata dan memacu gerak kebangkitan kebudayaan Islam di Andalusia.[38]
Islam di Andalusia telah muncul sebagai suatu dinamika kekuatan budaya dan sekaligus kekuatan intelektual yang banyak menghasilkan cabang-cabang kebudayaan dalam segala ragam dan jenisnya. Andalusia benar-benar telah menjadi jembatan emas yang menyeberangkan hasil-hasil kebudayaan Islam ke Eropa. Kebudayaan Islam inilah yang telah memberikan pengaruh secara luas terhadap Eropa pada abad Pertengahan.
Jika diteliti secara saksama, dapat disimpulkan bahwa peranan, jasa, dan sumbangan para ilmuwan Muslim kepada bangsa-bangsa Eropa dapat dibagi menjadi dua.[39] Pertama, umat Islam berjasa dalam “menyelamatkan” warisan budaya Persi dan Yunani klasik dari ancaman kehilangan dan kemusnahan. Para ilmuwan Muslim secara besar-besaran menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan Persi dan Yunani klasik ke dalam bahasa Arab.
Kedua, umat Islam berjasa dalam mengolah dan mengembangkan kebudayaan Persi dan Yunani klasik dengan melakukan penambahan secara kreatif unsur-unsur baru dan berkualitas. Kebudayaan Islam inilah yang kemudian menjadi sumbangan besar bagi Eropa sehingga benua ini memasuki babak baru dengan lahirnya masa renaisans. Dengan demikian, mata rantai kemajuan Barat modern tidak bisa dilepaskan dari peranan dan sumbangan kebudayaan Islam. John S. Bedeau dalam bukunya The Genius of Arab Civilization: Source of Renaissance mengatakan bahwa karya-karya ilmu pengetahuan dan budaya para pemikir jenius Arab-Muslim inilah yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi suber dan mata rantai lahirnya masa renaisans di Eropa.[40]


C. Kesimpulan
Masuknya Islam ke Spanyol (Andalusia) membawa angin baru yang baru bagi Eropa. Masyarakat Andalusia yang sekian lama hidup dalam kesewenan-wenangan penguasa dan ketidakadilan menyambut baik kedatangan kaum Muslim di Semenanjung Iberia itu. Selama tujuh abad Islam berkuasa di Andalusia, banyak kemajuan di berbagai bidang yang ditorehkan, khususnya di bidang sains/ilmu pengetahuan dan pendidikan. Saat itu bangsa Eropa belum melek huruf, tetapi umat Islam di Andalusia justru telah menjadi kaum terdidik dan terpelajar hasil didikan Kuttab (lembaga pendidikan dasar dan menengah). Bahkan, tidak sedikit umat Islam Andalusia yang menjadi ilmuwan yang produktif menghasilkan karya-karya besar kelas dunia.
Ketika umat Islam di Andalusia mendirikan Universitas Cordova, bangsa Eropa-Kristen baru menyadari akan masa suram mereka. Mereka lalu berdatangan ke Cordova untuk menimba ilmu pengetahuan dari intelektual-intelektual muslim. Ilmu-ilmu pengetahuan Islam mereka alih bahasakan ke dalam bahasa Eropa. Semangat keilmuan Eropa-Kristen inilah yang kemudian melahirkan renaissance, kebangkitan intelektual dan kultural Eropa-Kristen. Era renaissance menjadi tonggak penting dan babak baru kemajuan peradaban modern di Eropa sekaligus menandai berakhirnya periode klasik Islam.
Konflik-konflik politik yang terjadi demi memperebutkan kekuasaan menjadi pemicu dominan kemunduran dan keruntuhan Islam di Andalusia. Kekacauan politik itu akhirnya dimanfaatkan orang-orang Kristen untuk merebut Andalusia. Penaklukan terakhir terjadi pada 1492 M, yakni  penaklukan yang dilakukan Ferdenand dan Isabella terhadap Abu Abdullah, penguasa Granada, kerajaan terakhir Islam di Andalusia. Sejak itu berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol/Andalusia.



Daftar Pustaka

Ali, K., 1997, Sejarah Islam, Tarikh Pramodern, cet. ke-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Amin, Samsul Munir., 2015, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-5, Jakarta: Amzah.
Ismail, Faisal., 2014, Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Analisis Historis, cet. ke-5, Yogyakarta: Suka Press.
Karim, M. Abdul., 2014, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. ke-5, Yogyakarta: Bagaskara/Pustaka Book Publisher.
Khairuddin, 2017, “Sejarah Pendidikan Islam”, Diktat, Medan: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Medan.
Nasution, Harun., 1975, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin., 2004, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nizar, Samsul., 2008, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Kencana.
Nurhakim, Moh., 2003, Sejarah dan Peradaban Islam, cet. ke-1, Malang: UMM Press.
Sou’yb, Jousouf., 1977, Sejarah Daulah Umayyah di Cordova, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang.
Yatim, Badri., 1997, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, cet. ke-6, Jakarta: RajaGrafindo Persada.





[1] Harun Nasution dalam Pembaharuan dalam Islam (1975: 13-14) membagi sejarah peradaban Islam kepada tiga periode. Periode Klasik (650-1250) di mana umat Islam mulai membina dan mencapai kemajuan dan kegemilangan peradabannya. Periode Pertengahan (1250-1800 M) di mana peradaban umat Islam mulai mengalami kemunduran, bahkan sampai pada titik nadir. Periode Modern (1800-sekarang) di mana umat Islam mulai sadar dan berusaha bangkit dari keterpurukan.
[2] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Analisis Historis, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), hlm. 101-102.
[3] Ibid., hlm. 104-105.
[4] Ibid., hlm. 105-106.
[5] Ibid., hlm. 113.
[6] Ibid., hlm. 114.
[7]Sebelum dikuasai bangsa Vandals, Semenanjung Iberia merupakan wilayah kekuasaan Romawi sejak abad ke-2 sampai abad ke-5 Masehi.
[8]Jousouf Sou’yb, Sejarah Daulah Umayyah di Cordova, cet. ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 7.
[9]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. ke-5, (Yogyakarta: Bagaskara/Pustaka Book Publisher, 2014), hlm. 228.
[10]Monofisit adalah ajaran yang diklaim sebagai ajaran bidaah oleh Konsili Khalsedon pada tahun 451. Aliran ini memahami bahwa Kristus hanya memiliki satu kodrat, yaitu kodrat ilahi, karena kodrat kemanusiaannya telah terserap dalam keilahiannya.
[11]Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, cet. ke-1, (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 120-121.
[12] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-5, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 160-161.
[13] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam…., hlm. 119; Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, cet. ke-6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 87-88.
[14] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam…, hlm. 228.
[15]Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam…, hlm. 120.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II…, hlm. 93-100.
[17] Dalam sumber lain disebutkan bahwa keruntuhan Bani Umayyah II (Andalusia) sekaligus menandai berakhirnya periode ketiga adalah tahun 1031 M, bukan 1013 M. Lihat M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam…, hlm. 236-242; Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam…, hlm. 101.
[18] Lihat kembali catatan kaki nomor 17.
[19] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam…,hlm. 101-102.
[20] Ibid., hlm. 104-105.
[21] Ibid., hlm. 105-106.
[22] Ibid., hlm. 113.
[23] Ibid., hlm. 114.
[24] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II…, hlm. 101.
[25] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam…, hlm. 172-173.
[26] Ibid., hlm. 173.
[27] Ibid.
[28] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II…, hlm. 103.
[29] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam…, hlm. 174.
[30] Ibid., hlm. 175.
[31] Ibid.
[32] Ibid., hlm. 176.
[33] Khairuddin, “Sejarah Pendidikan Islam”,Diktat, Medan: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Medan, 2017, hlm. 67-73.
[34] Nama Masjid Abdurrahman III diambil dari nama  Khalifah pertama keturunan Umayyah di Spanyol dengan gelar al-Nasir Lidinillah (penegak agama Allah), pada pemerintahan Abdurrahman III nilah Spanyol mengalami puncak kemajuan peradaban Islam khususnya dalam bidang seni arsetektur, Cordova pada saat itu memiliki 300 Masjid,100 Istana yang megah, 13.000 gedung dan 300 tempat pemandian umum. Lihat K. Ali, Sejarah Islam, Tarikh Pramodern, cet. ke-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 309-310.
[35] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: Kencana , 2008), hlm. 99.
[36] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, cet. ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), hlm. 266.
[37] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam…, hlm. 101.
[38] Ibid., hlm. 101-102.
[39] Ibid., hlm. 122-123.
[40] Ibid.

0 comments: