ads
Tuesday, April 18, 2023

April 18, 2023

 



Silang pendapat tentang penetapan 1 Syawal telah beberapa kali terjadi di negeri ini. Lebaran kali ini pun tampaknya juga akan terjadi perbedaan pendapat. Ormas besar setelah NU, yakni Muhammadiyah, telah menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jum'at, 21 April 2023 M. Sementara NU dan ormas-ormas lainnya memilih menunggu keputusan pemerintah melalui sidang itsbat.

Perbedaan pendapat dalam fikih memang lumrah dan biasa. Namun, dalam masalah penting yang menyangkut kemaslahatan orang banyak, keputusan pemerintah menjadi solusi untuk ditaati. Dalam kaidah fikih disebutkan: “Hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf (Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat)”.

Abdullah ibnu Umar, seorang sahabat Nabi yang faqih, manakala melihat hilal Ramadhan tidak serta-merta memutuskan sendiri (berdasarkan kefaqihannya) kapan memulai Ramadhan. Ibnu Umar justru melaporkannya kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah memberikan ketetapan dan perintah, barulah kaum muslimin berpuasa.

Sahal bin Abdillah al-Tustari (w. 283 H.) berkata, “Patuhilah pemerintah dalam 7 hal: Pemberlakuan mata uang, ukuran dan timbangan, hukum, haji, salat Jumat, dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan jihad" (Tafsir al-Qurthubi V/259 dan Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith III/696)

KH. Maimun Zubair dalam karyanya, Nushuh al-Akhyar fi ash-Shaum wa al-Ifthar (Pasal ke-3), juga memaparkan pandangan para ulama tentang kewajiban mengikuti ketetapan (itsbat) dari pemerintah atau pemegang otoritas.

Catatan ringan nan segar berikut ini saya nukil secara utuh dari tulisan KH. Dr. Abdul Ghofur Maimun Zubair dalam akun FB-nya. Sangat penting dan mencerahkan untuk kita baca dan sebarkan kepada saudara-saudara sesama muslim. Berikut ini tulisan beliau yang diposting pada 22 April 2022 dan direpost pada 18 April 2023.

***

 

Menjaga Kebersamaan Lebih Penting Ketimbang Pendapat Pribadi

 

Di Al Azhar Mesir, saya bertemu dengan sejumlah guru yang mengesankan. Salah satunya adalah Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn. Ia adalah guru besar di bidang Hadis. Di antara karyanya yang populer adalah Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim dan Al Manhal al adī fī Syar Aādī al Bukhāriyy. Penampilannya bersahaja, ramah, dan terbuka saat memberi kuliah.

Pagi itu adalah awal Ramadhan. Saya ke kampus dan masuk di ruang perkuliahannya. Ia bertanya kepada santri-santrinya, kapan memulai puasa Ramadhan. Tentu saja kami memulai puasa di hari itu. Tak ada tradisi berbeda memulai puasa di sini. Semua seragam, sesuai dengan pengumuman Pemerintah. Hal yang tak saya duga, tiba-tiba ia menyampaikan bahwa menurutnya puasa Ramadhan seharusnya dimulai kemaren sesuai perhitungan hisab. Ia tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang rukyah. Akan tetapi, Pemerintah mengumumkan puasa hari ini, dan ia lebih memilih mengikutinya ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya.[1]

Sikapnya ini ia sampaikan juga dalam karnya, Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim. Dalam karyanya ini, setelah menyampaikan argumentasinya yang tampak sangat jelas membela metode hisab ia mengakhirnya dengan statemen bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah). Hakim yang (kelak akan) mempertanggungjawabkan ijtihad dan keputusannya di depan Allah. Selain yang melihat hilal dan pengguna hisab harus mengikuti pemerintah.[2]

Sepertinya, Indonesia membutuhkan banyak tokoh seperti beliau. Harapan banyak masyarakat agar kita memiliki lebaran yang sama, Ramadhan yang sama dan Idul Adha yang sama saya kira sangat besar. Rasanya itu hanya bisa terwujud jika tokoh-tokohnya memiliki kerendahan hati bahwa ijtihadnya bukanlah kebenaran mutlak yang harus dipertahankan mati-matian meski harus mengorbankan kebersamaan umat yang tentu saja jauh lebih penting.

Mahasiswa Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara. Selama di Mesir, tak pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apapun keputusan Pemerintah diikuti oleh semuanya. Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya. Sama halnya dengan jamaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi. Semua—dengan latar belakangnya yang sangat beragam—juga patuh menjalankan keputusan Pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah. Secara sederhana dapat kita pahami, bahwa mereka sebetulnya meyakini bahwa keputusan yang diambil oleh Pemerintah Mesir dan Pemerintah Saudi dapat dibenarkan dan sah diikuti, meski mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa dan jamaah haji. Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai dalam tanah yang subur sehingga tidak muncul.

Syekh Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, A awah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, membagi perbedaan pendapat ke dalam dua kategori. Pertama perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah, latar belakang akhlak. Kedua perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah, murni sudut pandang pemikiran. Perbedaan pertama sangat tercela. Ia lahir dari kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan organisasi tertentu. Untuk menghindarinya sangat dibutuhkan kerendahan hati. Sementara perbedaan kedua lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan berpikir dan orientasi diri. Semoga perbedaan yang terjadi selama ini murni perbedaan fikriyyah, bukah khuluqiyyah.[3]

Mohon maaf, sekedar menyampaikan harapan-harapan. Semoga tidak semakin menambah kekeruhan.

Wallāhu a’lam bi a awāb.

 

[1] Mencoba mengingat-ingat memori masa lalu. Wallāhu a’lam.

[2] Lihat: Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim, jilid 4, hal. 507.

وأولاً وأخيراً الناس ملزمون بحكم الحاكم، والحاكم مسئول أمام الله عن اجتهاده وحكمه، فإن استقر عنده صحة شهادة الشاهد المثبت حكم بثبوت الهلال وإن نفاه أهل الحساب، وإن استقر عنده صحة إثبات الحساب لوجود الهلال حكم بثبوته وإن نفاه المتراءون. والأمر في استقرار النفي عنده كذلك. وحكم الحاكم واجب الطاعة في حق غير الرائي وفي حق غير الحاسب باتفاق العلماء، أما الرائي والحاسب فيلزمان بالعمل بعلمهما. والله أعلم.

[3] A awah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, hal. 1213

Keterangan foto: Nuū Al Akhyār adalah karyat KH. Maimoen Zubair yang berisi teks-teks dari ulama-ulama terbaik dengan berbagai komentar dari beliau.

Salah satu komentarnya adalah bahwa menyatukan umat Islam dalam puasa, idul fitri dan syiar-syiar lainnya adalah tuntutan abadi. Minimal harus ada upaya serius untuk menyatukan umat Islam dalam satu wilayah. Dalam satu wilayah sebagian umat puasa hari Kamis karena beranggapan telah masuk Ramadhan, dan sebagian lainnya masih berbuka karena beranggapan masih berada di bulan Sya’ban, adalah kenyataan yang tak boleh diterima. Kemudian di akhir Ramadhan, sebagian masih puasa dan sebagian lainnya telah berlebaran. Ini juga kondisi yang tak boleh diterima. Salah satu kesepakatan ulama adalah bahwa keputusan hakim atau waliyyul amri menghapus perbedaan pendapat.

Lihat: Nuū Al Akhyār, hal. 19.      


0 comments: