Silang pendapat tentang penetapan 1 Syawal telah beberapa kali terjadi di negeri ini. Lebaran kali ini pun tampaknya juga akan terjadi perbedaan pendapat. Ormas besar setelah NU, yakni Muhammadiyah, telah menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jum'at, 21 April 2023 M. Sementara NU dan ormas-ormas lainnya memilih menunggu keputusan pemerintah melalui sidang itsbat.
Perbedaan pendapat dalam fikih memang lumrah dan biasa. Namun,
dalam masalah penting yang menyangkut kemaslahatan orang banyak, keputusan
pemerintah menjadi solusi untuk ditaati. Dalam kaidah fikih disebutkan: “Hukmul
hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf (Keputusan pemerintah itu mengikat dan
menghilangkan silang pendapat)”.
Abdullah
ibnu Umar, seorang sahabat Nabi yang faqih, manakala melihat hilal Ramadhan tidak
serta-merta memutuskan sendiri (berdasarkan kefaqihannya) kapan memulai
Ramadhan. Ibnu Umar justru melaporkannya kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah
memberikan ketetapan dan perintah, barulah kaum muslimin berpuasa.
Sahal
bin Abdillah al-Tustari (w. 283 H.) berkata, “Patuhilah pemerintah dalam 7 hal:
Pemberlakuan mata uang, ukuran dan timbangan, hukum, haji, salat Jumat, dua
hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan jihad" (Tafsir
al-Qurthubi V/259 dan Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith III/696)
KH.
Maimun Zubair dalam karyanya, Nushuh al-Akhyar fi ash-Shaum wa al-Ifthar (Pasal
ke-3), juga memaparkan pandangan para ulama tentang kewajiban mengikuti ketetapan
(itsbat) dari pemerintah atau pemegang otoritas.
Catatan ringan nan segar berikut ini saya nukil secara utuh dari tulisan KH. Dr. Abdul Ghofur Maimun Zubair dalam akun FB-nya. Sangat penting dan mencerahkan untuk kita baca dan sebarkan kepada saudara-saudara sesama muslim. Berikut ini tulisan beliau yang diposting pada 22 April 2022 dan direpost pada 18 April 2023.
***
Menjaga
Kebersamaan Lebih Penting Ketimbang Pendapat Pribadi
Di Al
Azhar Mesir, saya bertemu dengan sejumlah guru yang mengesankan. Salah satunya
adalah Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn. Ia adalah guru besar di bidang
Hadis. Di antara karyanya yang populer adalah Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim
dan Al Manhal al Ḥadīṡ fī Syarḥ Aḥādīṡ al Bukhāriyy. Penampilannya bersahaja, ramah, dan terbuka saat memberi kuliah.
Pagi itu
adalah awal Ramadhan. Saya ke kampus dan masuk di ruang perkuliahannya. Ia
bertanya kepada santri-santrinya, kapan memulai puasa Ramadhan. Tentu saja kami
memulai puasa di hari itu. Tak ada tradisi berbeda memulai puasa di sini. Semua
seragam, sesuai dengan pengumuman Pemerintah. Hal yang tak saya duga, tiba-tiba
ia menyampaikan bahwa menurutnya puasa Ramadhan seharusnya dimulai kemaren
sesuai perhitungan hisab. Ia tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang
rukyah. Akan tetapi, Pemerintah mengumumkan puasa hari ini, dan ia lebih
memilih mengikutinya ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya.[1]
Sikapnya
ini ia sampaikan juga dalam karnya, Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim.
Dalam karyanya ini, setelah menyampaikan argumentasinya yang tampak sangat
jelas membela metode hisab ia mengakhirnya dengan statemen bahwa pada akhirnya
masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah). Hakim yang (kelak
akan) mempertanggungjawabkan ijtihad dan keputusannya di depan Allah. Selain
yang melihat hilal dan pengguna hisab harus mengikuti pemerintah.[2]
Sepertinya,
Indonesia membutuhkan banyak tokoh seperti beliau. Harapan banyak masyarakat
agar kita memiliki lebaran yang sama, Ramadhan yang sama dan Idul Adha yang
sama saya kira sangat besar. Rasanya itu hanya bisa terwujud jika
tokoh-tokohnya memiliki kerendahan hati bahwa ijtihadnya bukanlah kebenaran
mutlak yang harus dipertahankan mati-matian meski harus mengorbankan
kebersamaan umat yang tentu saja jauh lebih penting.
Mahasiswa
Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka
berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara. Selama di Mesir, tak
pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apapun keputusan Pemerintah
diikuti oleh semuanya. Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya.
Sama halnya dengan jamaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi.
Semua—dengan latar belakangnya yang sangat beragam—juga patuh menjalankan
keputusan Pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah. Secara sederhana
dapat kita pahami, bahwa mereka sebetulnya meyakini bahwa keputusan yang
diambil oleh Pemerintah Mesir dan Pemerintah Saudi dapat dibenarkan dan sah
diikuti, meski mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa
dan jamaah haji. Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai
dalam tanah yang subur sehingga tidak muncul.
Syekh
Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al
Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, membagi perbedaan pendapat ke dalam dua
kategori. Pertama perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah, latar
belakang akhlak. Kedua perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah, murni
sudut pandang pemikiran. Perbedaan pertama sangat tercela. Ia lahir dari
kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan
organisasi tertentu. Untuk menghindarinya sangat dibutuhkan kerendahan hati.
Sementara perbedaan kedua lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan
berpikir dan orientasi diri. Semoga perbedaan yang terjadi selama ini murni
perbedaan fikriyyah, bukah khuluqiyyah.[3]
Mohon
maaf, sekedar menyampaikan harapan-harapan. Semoga tidak semakin menambah
kekeruhan.
Wallāhu
a’lam bi aṣ ṣawāb.
[1] Mencoba mengingat-ingat memori masa lalu. Wallāhu a’lam.
[2] Lihat: Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 4, hal. 507.
وأولاً وأخيراً الناس ملزمون بحكم الحاكم،
والحاكم مسئول أمام الله عن اجتهاده وحكمه، فإن استقر عنده صحة شهادة الشاهد
المثبت حكم بثبوت الهلال وإن نفاه أهل الحساب، وإن استقر عنده صحة إثبات الحساب
لوجود الهلال حكم بثبوته وإن نفاه المتراءون. والأمر في استقرار النفي عنده كذلك.
وحكم الحاكم واجب الطاعة في حق غير الرائي وفي حق غير الحاسب باتفاق العلماء، أما
الرائي والحاسب فيلزمان بالعمل بعلمهما. والله أعلم.
[3] Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, hal.
12—13
Keterangan foto: Nuṣūṣ Al Akhyār adalah karyat KH. Maimoen
Zubair yang berisi teks-teks dari ulama-ulama terbaik dengan berbagai komentar
dari beliau.
Salah satu komentarnya adalah bahwa menyatukan umat Islam dalam puasa, idul
fitri dan syiar-syiar lainnya adalah tuntutan abadi. Minimal harus ada upaya
serius untuk menyatukan umat Islam dalam satu wilayah. Dalam satu wilayah
sebagian umat puasa hari Kamis karena beranggapan telah masuk Ramadhan, dan
sebagian lainnya masih berbuka karena beranggapan masih berada di bulan
Sya’ban, adalah kenyataan yang tak boleh diterima. Kemudian di akhir Ramadhan,
sebagian masih puasa dan sebagian lainnya telah berlebaran. Ini juga kondisi
yang tak boleh diterima. Salah satu kesepakatan ulama adalah bahwa keputusan
hakim atau waliyyul amri menghapus perbedaan pendapat.
Lihat: Nuṣūṣ Al Akhyār, hal. 19.
No comments:
Post a Comment