Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum memberikan zakat kepada para ahlul bait
(keluarga dan keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yakni
para habib, sayyid, dan syarif.
Pendapat pertama, tidak
boleh dan tidak sah secara mutlak (baik telah mendapatkan khumusul
khumus maupun tidak).
Ini adalah pendapat mayoritas
ulama Syafi’iyah. Argumentasi dari pendapat ini adalah:
Pertama, zakat merupakan kotoran dari harta manusia sehingga tidak
layak diberikan kepada Rasulullah dan ahlul baitnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ
هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ
لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ
“Sesungguhnya zakat
ini adalah kotoran dari manusia. Dan sesungguhnya itu tidak halal bagi Muhammad
dan keluarga Muhammad,” (HR. Muslim No. 1072 dan an-Nasa’i No. 2608).
أما علمت أن آل محمد لا يأكلون الصدقة
“Tidakkah kamu tahu bahwa keluarga Muhammad tidak boleh memakan sedekah.” (HR. Bukhari).
إنا لا
تحل لنا الصدقة
“Sungguh kami tidak boleh menerima sedekah.” (HR. Muslim)
كخْ،كخْ،
اَنَّا آلُ مُحَمّدٍ لاَتَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَاتُ
“Ekh-ekh (isyarat untuk mengeluarkan makanan
dari mulut), kita adalah keluarga Muhammad, sedekah tidak halal bagi kita.”
(HR. Bukhori dan Muslim).
Kedua, Rasulullah dan ahlul baitnya telah mendapatkan khumusul
khumus (seperlima dari seperlima alias 1/25) dari baitul mal maupun ghanimah
(harta rampasan perang).
وَاعْلَمُوْا
اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَنَّ لِلّٰهِ خُمُسَه وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى
الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ اِنْ كُنْتُمْ
اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ
يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Dan ketahuilah,
sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima
untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan Ibnu Sabil,
(demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua
pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. al-Anfal []: 41)
إِنَّ
لَكُمْ فِيْ خُمُسِ الْخُمُسِ مَا يُغْنِيْكُمْ
“Sesungguhnya bagi
kalian (ahlul bait) mendapatkan dari khumusul khumus (seperlima dari
lima bagian harta rampasan perang) bagian yang mencukupi kalian.” (HR. Ibnu Abi
Hatim)
Ketiga, kedudukan penerima zakat lebih rendah dari pemberi. Zakat
diberikan kepada orang yang membutuhkan, lemah, dan tidak mampu, sedangkan ahlul
bait adalah orang-orang mulia dan lebih utama daripada manusia lain. Adapun hadiah
bertujuan untuk mengagungkan atau mengapresiasi seseorang yang diberi.
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان النبي
صلى الله عليه وسلم كان اذا اوتي بطعام سأل عنه فان قيل هدية اكل منها وان قيل صدقة
لم يأكل منها.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila diberi
makanan, beliau menanyakannya. Apabila dijawab hadiah, beliau memakannya.
Apabila dijawab sedekah (zakat), beliau tidak memakannya.”
Pendapat kedua, boleh dan sah manakala ahlul bait tidak lagi mendapatkan
khumusul khumus.
Dalil argumentatif dari
pendapat kedua adalah kondisi saat ini yang tidak ada lagi jatah khumusul
khumus dari ghanimah atau baitul mal untuk ahlul bait. Dengan kata lain,
hadits inna lakum fi khumusil khumus ma yughnikum tidak lagi terwujud
pada saat ini. Manakala khumusul khumus (sebagai ‘illat atau alasan
hukum) sudah tidak ada, maka hukum keharaman menerima zakat pun tidak lagi ada.
Berdasarkan argumentasi
tersebut, disimpulkan bahwa hukum memberikan zakat kepada ahlul bait pada masa
sekarang adalah boleh dan sah. Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah
al-Ustukhry, al-Harawi, Ibnu Yahya, Ibnu Abi Hurairah, al-Fakhrur Razi, Qadhi Husain,
Ibn Syukail, Ibnu Ziyad, an-Nasyiriy, dan Ibnu Muthoir.
Bahkan menurut ad-Dasuqi al-Maliki, pada masa sekarang,
memberikan zakat kepada ahlul bait yang dalam kondisi kekurangan lebih utama
daripada memberikannya kepada selain ahlul bait. Musthofa Dib al-Bugha ad-Dimasyqi,
dalam al-Hadiyyah al-Mardhiyyah, menyitir ucapan para ulama bahwa membiarkan
ahlul bait dalam kefakiran tanpa memberinya zakat berarti telah menyia-nyiakan,
merendahkan, dan menghinakan keluarga Rasulillah.
Walaupun demikian, Syaikh
Ba’asyan al-Hadhrami dalam Busyra al-Karim bi Syarhi Masa’il at-Ta’lim menyarankan:
لكن ينبغي
للدافع إليهم أن يبيّن لهم أنها زكاة، فلربما يتورع من دُفعت إليه منهم منها
“Orang yang
menyerahkan zakat kepada Ahlul Bait hendaknya menjelaskan bahwa harta tersebut adalah
zakat. Sebab bisa jadi mereka bersikap wirai (berhati-hati) sehingga akan menolak
pemberian harta (zakat) tersebut.”
Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Referensi:
Abu Zakariyya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, VI/227.
Ahmad ibn Muhammad ibn Hajar
al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim ‘ala al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi al-Fiqh
asy-Syafi’iy, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 239.
Dr. Musthafa Dib al-Bugha
ad-Dimasyqi, al-Hadiyyah al-Mardhiyyah bi Syarhi wa Adillati al-Muqaddimah
al-Hadhramiyyah, Damaskus: Dar al-Musthafa, hlm. 503.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Alfiqhu
al-Islamiy wa Adillatuhu, Suriah: Dar al-Fikr, hlm. 883-884.
Sayyid Abdurrahman bin
Muhammad bin Husain bin Umar, Bughyah Al-Mustarsyidin, hal 106-107, cet.
al-Haromain.
Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad
Syatho, I’anah ath-Thalibin, Semarang: Karya Thoha Putra, hlm. 199-200.
Syaikh al-Habib Muhammad bin
Ahmad bin Umar al-Syathiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, hlm. 292.
Syaikh Ba’asyan al-Hadhrami,
Busyra al-Karim bi Syarhi Masa’il at-Ta’lim, Mesir: Dar Ibnu al-Jauzi,
hlm. 361.
Syaikh Ibrahim
Al-Baijuri Ibni Qasim, Hasyiyah al-Bajuri, cet. al-Haromain, I/285.
Syaikh Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyyah, Indonesia: al-Haramain, hlm. 165.
Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith, at-Taqrirat as-Sadidah, hlm. 427.
***
No comments:
Post a Comment