ads
Tuesday, March 29, 2016

March 29, 2016
6
“Maaf, Pakne, aku tidak mau lagi shalat berjamaah denganmu,” ucap seorang istri kepada suaminya. Sebut saja perempuan itu Wati, walaupun dalam KTP tertulis Wathi (pakai tho’).

“Kenapa, Makne?”

“Karena cara sujud Panjenengan keliru, Pakne. Tidak sesuai sunnah Nabi. Seharusnya tangan dulu yang turun, baru kemudian lutut. Tapi, Panjenengan malah sebaliknya.”

“Siapa bilang cara sujudku itu keliru?”

“Kata Ustad Juhal, Pengasuh Majelis Taklim al-Mauza.”

“Belghedessss….! Justru sampeyan yang tidak sesuai sunnah Nabi, Bune! Sudah khilafus-sunnah, masih taqlid lagi. Dosa sampeyan dobel, Bune.”

Taqlid? Siapa yang taqlid?”

“Ya, sampeyan itu! Sampeyan sudah taqlid kepada Ustad Juhal.”

“Kalau Ustad Juhal Panjenengan anggap salah, terus yang benar bagaimana?”

“Makanya baca hadits Nabi, jangan cuma taqlid kepada Ustad Juhal. Taqlid kepada ustad itu dosa dan menyesatkan,” cetus sang Suami.  Dia lalu membaca sepenggal terjemahan suatu hadits: “…dan hendaklah dia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.”

“Hadits yang aku bacakan itu shahih, lho, Bune,” lanjut sang Suami.

Panjenengan kok tahu kalau itu hadits shahih, Pakne?”

“Di internet banyak disebut kok, bahwa hadits itu dishahihkan oleh Syaikh Albany. Makanya, baca hadits, Bune. Jangan cuma taqlid kepada Ustad Juhal terus.”

“Bukannya Panjenengan juga taqlid, Pakne? Pertama, Panjenengan taqlid kepada penerjemah. Yang sedang Panjenengan pelajari itu terjemahan hadits, bukan teks asli hadits. Benar begitu, kan, Pakne? Kedua, Panjenengan taqlid kepada Syaikh Albany. Panjenengan tidak meneliti sendiri kualitas hadits tersebut, tetapi hanya manut pendapat Syaikh Albany. Berarti kita sama, Pakne.”

“Sama apanya, Bune?”

“Sama-sama taqlid-nya,” sahut sang Istri sambil mesam-mesem. “Cuma bedanya, saya taqlid kepada Ustad Juhal, sedangkan Panjenengan taqlid kepada penerjemah dan Syaikh Albany.” J

Seketika sang Suami menekuk wajahnya ke tanah.

Yo wes, daripada kita engkel-engkelan, kita ambil jalan tengah saja yang adil. Bukan tangan, juga bukan lutut dulu, yang kita turunkan saat sujud, tapi bathuk alias dahi kita. Piye? Setuju?”

***

Apa jadinya jika mereka benar-benar sujud dengan cara begitu; menjatuhkan dahi dulu ke lantai? Duuuuhhh, pasti menyakitkan!


Anda mau coba? Silakan! Dijamin langsung benjol dan nyut-nyutan. Hehehe....


Kamus Jawa-Indonesia
Pakne
:
Papa, panggilan khas ala kampung istri kepada suami
Makne/Bune
:
Mama/Bunda, panggilan khas ala kampung suami kepada istri
Sampeyan
:
Kamu
Panjenengan
:
Anda (lebih halus daripada sampeyan)
Mesam-mesem
:
Senyum-senyum
Yo wes
:
Ya sudah
Engkel-engkelan
:
Bergontokan, bertengkar, berdebat
Bathuk
:
Dahi, kening, jidat
Piye
:
Bagaimana


6 comments:

dedaunan hijau said...

wah kalau dahi dulu bisa benjol beneran pak
istrinya langsung diem hehe

Irham Sya'roni said...

Hehehe.... mau mempraktikkan? :))

Asep Haryono said...

Wahahah ada kosa kata bahasa daerah (Jawa) ya Mungkin disertakan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (diberi dalam kurung). Kebetulan saya kurang paham bahasa Jawa

Irham Sya'roni said...

Oh, iya, Mas. Maaf, saya lupa kalau Mas Asep bukan dari Jawa. :) Salam untuk keluarga di Borneo, ya, Mas.

Unknown said...

Percakapan yang sangat seru tuh kang .. hehehe, nice artikelnya

Irham Sya'roni said...

Terima kasih, Mas, intermeso saja kok. Hehe