“Aku beritahu, ya, jika bulan Sya’ban sudah memasuki tanggal 16 maka kita tidak boleh berpuasa, lho,” ucap Kang Dul.
“Siapa
yang bilang?” tanya Lek Jarwo deg-degan, karena hari itu ia sedang membayar utang puasa Ramadhan.
“Temanku yang bilang,”
jawab Kang Dul.
“Bagaimana
kalau membayar utang puasa Ramadhan? Apa juga tidak boleh?”
“Pokoknya,
kalau sudah lewat nishfu Sya’ban, kita tidak boleh melakukan puasa apa saja,
termasuk membayar utang puasa Ramadhan,” jawab Kang Dul mantap.
Lek
Jarwo, yang awam tentang agama, manggut-manggut saja mendengar ucapan Kang Dul.
“Makanya,
batalkan saja puasamu hari ini, Lek. Dosa, lho, kalau kamu tetap berpuasa!” sambung
Kang Dul setengah mengintimidasi Lek Jarwo.
Sejurus
kemudian datanglah Mbah Sabdo ke tengah mereka.
“Kamu
kok asal njeplak begitu, Dul? Kalau Lek Jarwo masih punya utang puasa,
seharusnya kamu memotivasinya agar melunasinya. Mumpung belum Ramadhan,” cetus
Mbah Sabdo.
“Wah,
Mbah Sabdo ini ngawur! Apa panjenengan tidak tahu kalau puasa pada
separuh terakhir dari bulan Sya’ban itu dilarang. Dosa!” ceracau Kang Dul. Untuk
memperkuat ucapannya, Kang Dul lalu menyodorkan dalil.
إذا بَقِىَ
نِصْفٌ من شعبان فَلا تَصُومُوا
“Apabila tersisa setengah dari bulan Sya`ban maka janganlah kalian berpuasa.” (H.R. Tirmidzi)
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا
“Apabila sudah pertengahan Sya'ban maka janganlah
kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Mbah
Sabdo tersenyum sejenak, lalu memberikan bayan (penjelasan) kepada Kang
Dul tentang kedua dalil tersebut.
“Kedua
hadits Nabi tersebut memang melarang kita berpuasa pada separuh terakhir dari
bulan Sya’ban, Dul, yaitu tanggal 16 Sya’ban dan seterusnya. Tetapi, larangan
itu tidak mutlak. Ada pengecualiannya.”
“Berarti
tidak semua puasa dilarang dilakukan pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban,
ya, Mbah?” ujar Lek Jarwo, penasaran.
“Benar,
tidak semua puasa dilarang. Ada beberapa puasa yang tetap boleh kita lakukan
pada waktu tersebut,” sahut Mbah Sabdo.
Mbah
Sabdo lalu menyebutkan puasa-puasa yang tetap boleh dilaksanakan pada tanggal
16 Sya’ban dan seterusnya.
1. Puasa
sunnah bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa sunnah.
Misalnya, si
Dul biasa berpuasa Senin dan Kamis, maka ia boleh berpuasa sunnah Senin dan
Kamis walaupun sudah masuk pertengahan bulan Sya’ban. Begitu pula jika si Dul
sudah biasa Puasa Daud.
Dalilnya adalah
sabda Nabi saw:
لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ
يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan
mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali
orang yang telah biasa berpuasa. Maka, ia boleh berpuasa.” (HR Bukhari
dan Muslim)
2. Puasa
sunnah yang sudah dimulai pelaksanaannya sejak sebelum memasuki separuh
terakhir dari bulan Sya’ban.
Misalnya, si
Dul sudah mulai berpuasa sejak awal Sya’ban, atau tanggal 10 Sya’ban, maka ia
boleh terus melanjutkan puasa sunnahnya itu pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban.
Dalilnya adalah
ucapan Aisyah tentang puasa Rasulullah pada bulan Sya’ban.
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ،
يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا
“Dulu
Rasulullah biasa berpuasa pada keseluruhan Sya’ban. Beliau berpuasa Sya’ban
kecuali sedikit (yang di dalamnya beliau tidak berpuasa).” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Bahkan, andai
puasa tersebut baru dimulai pada 15 Sya’ban lalu berlanjut pada hari-hari
berikutnya, maka tidaklah dilarang alias boleh dilakukan.
محل الحرمة ما
لم يصل صوم ما بعد النصف بما قبله فإن وصله به ولو بيوم النصف بأن صام خامس عشره وتالييه
واستمر إلى آخر الشهر فلا حرمة
“Letak
keharaman (puasa setelah nishfu Sya’ban) ini adalah apabila puasa setelah nisyfu
sya’ban tersebut (tanggal 16) tersebut tidak disambungk an dengan puasa
sebelumnya . Apabila disambungk an, walaupun hanya dengan satu hari nishfu
Sya’ban, maka tidaklah haram. Misalnya, berpuasa pada tanggal 15 Sya’ban, kemudian
disambung dengan hari-hari setelahnya sampai akhir Sya’ban. Maka, praktik
seperti ini tidak lagi diharamkan.” (I’anah at-Thalib in juz 2 hlm 273)
3. Puasa
qadha’ (membayar utang puasa), baik puasa fardhu maupun puasa sunnah
yang memiliki waktu tertentu.
Jika utang
kepada manusia wajib dibayarkan maka utang kepada Allah lebih wajib lagi untuk
ditunaikan. Karena itulah, membayar utang (qadha’) puasa termasuk sebab
atau alasan diperbolehkannya berpuasa pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban.
Begitu pula diperbolehkan
berpuasa nadzar jika memang sedari semula tidak direncanakan/disengaja dikhususkan
pelaksanaannya pada separuh terakhir bulan Sya’ban. Ini pun termasuk sebab atau
alasan diperbolehkannya puasa pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban.
Ini sesuai
catatan al-Munawi terhadap hadits yang melarang berpuasa setelah nishfu Sya’ban.
Berikut catatannya:
أي
يحرم عليكم ابتداء الصوم بلا سبب حتى يكون رمضان
“Maksud dari hadits
tersebut adalah, terlarang bagi kalian memulai berpuasa tanpa sebab
sampai masuk bulan Ramadhan.” (Faidhul Qadir I: 304)
Nah,
karena itulah jika Anda masih memiliki utang puasa, dan sampai pertengahan
Sya’ban belum dibayar, segeralah membayarnya. Jangan menunda sampai datang Ramadhan
berikutnya.
Wallahu
a’lam bish-shawab
6 comments:
Begitulah, memang.
Alhamdulillah, bisa posting lagi dan bersilaturahim dengan sahabat2 saya, termasuk Mas Muhammad Lutfi Hakim. Semoga sehat selalu...
Assalamualaikum wr.wb. ka mau tanya, aku masih mempunyai 3 hutang puasa ramadhan, nah sebentar lagikan masuk bulan sya'ban, aku belum membayarnya karna tanpa ada udzur syar'i, lalu banyak yang mengatakan bahwa jika sudah memasuki awal bulan sya'ban maka kita tidak boleh membayar hutang puasa lagi, apakah pendapat itu benar? Dan masih bolehkah aku membayar hutang puasa?mohon penjelasannya ka, Terimakasih, wassalamualaikum wr.wb.
Wa'alaikumussalam warahmatullah. Tidak ada larangan membayar utang puasa pada bulan Sya'ban (lihat poin 3). Sayyidah Aisyah dulu pernah membayar utang puasanya pada bulan tersebut. Mumpung ada kesempatan dan kesehatan, elok sekali jika Marisa Rahma secepatnya (mubadarah) membayarnya; tidak ditunda lagi. Salam...
Ooh jadi begitu, terimakasih ka atas penjelasannya.
Sama-sama, terima kasih kembali, Marisa.
Post a Comment