ads
Monday, August 5, 2013

August 05, 2013
Melanjutkan catatan sebelumnya tentang belajar amanah, berikut saya tuliskan penuturan seorang teman saya bernama Mahmud tentang peristiwa yang sarat dengan hikmah dan pelajaran penting dalam memegang amanah.


***
Malam Jum'at kemarin seorang pengurus masjid menemui Kang Mahmud.

"Pak, saya mau minta tolong besok sore Bapak mengisi pengajian buka bersama di masjid kami. Ini darurat, Pak!" ucap sang pengurus itu.

Kang Mahmud tercengang dengan kalimat terakhir si takmir masjid. Sepertinya ada kejanggalan yang perlu ia sibak.

"Darurat bagaimana maksud Bapak?" tanya Kang Mahmud.

"Hhhh...anuuu..., sebetulnya kami sudah menghubungi seorang dai penceramah untuk memberi tausiah dalam acara buka bersama besok. Tetapi, barusan beliau menghubungi kami membatalkan jadwal tausiah di masjid kampung kami karena beliau ada acara penting dan darurat."

Dalam Islam sesuatu yang dianggap penting atau darurat itu harus jelas, seberapa penting dan daruratnya. Jika ustadz itu tiba-tiba membatalkan karena ada saudara sakit parah yang membutuhkan pertolongannya, itu bisa dikategorikan penting dan darurat. Atau, karena rumahnya kebanjiran sehingga berhalangan hadir, ini juga kondisi darurat.

"Hhhh...anuuu, kata ustadznya, beliau dapat undangan penting dan darurat mengikuti workshop, seminar, atau apalah namanya di luar kota, Pak."

"Seberapa wajib ustadz itu harus hadir di acara luar kota itu?" tanya Kang Mahmud kepada pengurus masjid.

"Oh, kami tidak tahu, Pak."


"Kalau sang ustadz tidak hadir di acara luar kota itu, apakah acara workshop atau seminarnya akan gagal total?"

"Setahu saya tidak, Pak. Beliau hanya dapat undangan sebagai peserta."

"Berarti, acara workshop atau seminar di luar kota itu kan tidak termasuk dalam kategori PENTING dan DARURAT bagi ustadz itu. Benar begitu kan, Pak?" urai Kang Mahmud mencoba mengajak sang pengurus masjid untuk berpikir tentang arti penting dan darurat.

"Hhmmm... benar juga ya, Pak," desah pengurus masjid itu sambil manggut-manggut. "Tetapi, beliau sang ustadz sudah kadung membatalkan nih, Pak. Bapak mau ya menggantikan beliau memberi tausiah di masjid kami," sang pengurus masjid mendesak Kang Mahmud.

Kang Mahmud menarik napas cukup panjang lalu membuangnya jauh-jauh. Sesaat setelah itu, Kang Mahmud menuturkan ujaran panjang kepada sang pengurus masjid.

"Sebelumnya terima kasih telah silaturahim kemari dan telah memercayakan amanah untuk memberi tausiah di masjid Bapak. Tetapi, saya mohon maaf, pada waktu yang sama saya sudah menerima amanah dari masjid lain di pelosok kampung untuk acara buka puasa bersama. Jadi, saya tidak bisa memenuhi permintaan Bapak untuk menggantikan sang ustadz yang membatalkan jadwal di masjid Bapak."

Kang Mahmud melihat sang pengurus masjid kebingungan.

Demi menebarkan hikmah kepada orag lain, Kang Mahmud lalu berkata kepada sang pengurus masjid, "Sebetulnya, saya juga dapat undangan workshop atau seminar di luar kota itu, Pak." Kalimat ini sontak membuat sang pengurus masjid tercengang. Belum sempat pengurus masjid berkomentar, Kang Mahmud melanjutkan ucapannya, "Tetapi, saya tidak bisa memenuhi undangan itu karena undangan itu datang belakangan, sementara sebelumnya sudah ada undangan yang datang lebih dulu kepada saya. Memang undangan yang datang lebih dulu itu hanya berasal dari langgar-langgar kecil di pelosok kampung, tetapi bagi saya ini adalah amanah. Selama tidak ada udzur syar'i atau alasan yang penting dan darurat, amanah ini wajib saya laksanakan."

"Lho, jadi, Bapak juga mendapat undangan workshop atau seminar di luar kota itu ya?" pengurus masjid terlihat semakin kaget.

"Iya, Pak. Tetapi, saya tidak bisa menghadiri karena sudah terikat janji memberi tausiyah di sebuah kampung."

Singkat cerita, sang pengurus masjid tadi pulang masih membawa beban kebingungan karena harus mencari pengganti penceramah untuk acara buka bersama di masjidnya.



Ujian terberat bagi kukuhnya amanah adalah gemuruh hawa nafsu duniawi baik berupa materi maupun nafsu hegemoni.

0 comments: