ads
Sunday, August 7, 2016

August 07, 2016
2

Sejak Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub, rumah nan sederhana itu ramai dikunjungi banyak orang. Mereka menemui Nabi untuk menimba ilmu, menyimak al-Qur’an, mendengarkan petuah-petuang beliau, dan memetik apa saja yang bermanfaat dari kekasih Allah tersebut.

Adalah seorang remaja pendiam dan lembut perangainya yang pertama kali mengetuk rumah Abu Ayyub untuk menemui Nabi. Namanya Zaid bin Tsabit. Kedatangannya saat itu untuk memberikan semangkuk roti berkuah susu dan minyak samin kepada Rasulullah.

“Duhai Rasulullah, terimalah roti ini dari ibu saya,” ucap Zaid bin Tsabit, yang saat itu berusia 11 tahun.

Rasulullah menerima mangkuk itu dengan senyum penuh cinta. “Allah memberkahimu!” doa beliau untuk Zaid bin Tsabit.

Seiring berjalannya waktu, Allah benar-benar menampakkan keberkahan pada diri Zaid bin Tsabit. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas, mempunyai kecakapan istimewa dalam bidang membaca, menulis, dan menghafal. Dialah yang diabadikan oleh sejarah sebagai salah seorang sekretaris pribadi Nabi dan pencatat wahyu. Hidupnya banyak dihabiskan untuk berkhidmah kepada al-Qur'an.

Setelah kedatangan Zaid bin Tsabit, para sahabat silih berganti mengunjungi Nabi. Tidak kurang dari tiga sampai empat mangkuk makanan diantarkan oleh orang-orang Anshar (penduduk Madinah) kepada Nabi dengan tulus dan penuh cinta. Nabi menerimanya dengan sepenuh kasih, memakannya sedikit, lalu memberikannya kepada orang-orang di sekitarnya untuk menikmatinya hingga tandas.

Begitulah, Rasulullah tidak pernah menghabiskan sendiri setiap makanan yang disajikan kepadanya. Beliau biasa menikmatinya sedikit, selebihnya beliau bagikan kepada orang lain. Berkebalikan dengan kita; suka menghabiskan banyak makanan, sementara orang lain hanya mendapatkan sedikit sisa. Itu pun karena kita sudah tidak lagi berselera memakannya. Astaghfirullah.

Banyaknya antaran makanan dari orang-orang Anshar membuat Abu Ayyub harus bersaing untuk melayani Nabi, menyuguhkan makanan terlezat untuk beliau. Semua orang berebut berkah dari beliau. Sampai-sampai, begitu Nabi mengangkat tangan untuk makan, piring di bawahnya langsung ditarik oleh Abu Ayyub; ia jumput makanan itu tepat di bekas jari-jari Nabi, lalu ia makan.

***

Seperti biasa, hari itu Abu Ayyub menyuguhkan makanan untuk Baginda Nabi. Namun, tidak seperti hari-hari sebelumnya, makanan dari Abu Ayyub ternyata tidak disentuh sedikit pun oleh beliau. Tentulah Abu Ayyub Kaget, bercampur takut dan sedih. Dalam hati dia bertanya, “Apakah Nabi tidak lagi menyukai makananku atau bahkan tidak lagi mengasihiku?”

“Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau, dan ibuku, mengapa kaukembalikan makananku tanpa ada sedikit pun bekas tanganmu?” tanya Abu Ayyub kepada Baginda Nabi.

Rasulullah menyambut pertanyaan Abu Ayyub dengan lembut. Beliau jelaskan bahwa tak ada sebersit pun perasaan untuk membenci makanan Abu Ayyub. Tidak pula beliau membenci pribadi Abu Ayyub. Jika memang demikian, mengapa beliau tidak menyentuh sedikit pun makanan Abu Ayyub?

Beliau bersabda, “Aku mencium bau bawang dalam makanan itu. Karena aku adalah penerima wahyu, aku khawatir (bau itu) akan mengganggu penjaga wahyu. Kalau kalian, makanlah!”

***

Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub selama tujuh bulan. Di rumah itulah beliau menyusun rencana dan konsep pembangunan masjid agung, yang kelak disebut ‘Masjid Nabawi’. Selain masjid, beliau juga membangun rumah sederhana untuk beliau huni bersama keluarga. Letaknya di samping masjid tersebut. []


*) Disarikan dari Fi Bait ar-Rasul karya Nizar Abazhah, Darul Fikr: 2007.
**) Gambar di atas hanyalah ilustrasi, bukan sajian yang sebenarnya untuk Nabi.

2 comments:

Admin said...

kehadiran Nabi di rumah ayyub membuat org sekitar byk memberikan jamu/makanan yaa, om. belajar dri sikap nabi dan perlu diteladani, memberikan sebagian makanan kepada sekeliling kita. bukan memberikan sisa dari makanan kita ya om..

Irham Sya'roni said...

Benar, Hayy, dalam diri Nabi terdapat keteladanan yang sempurna. Sudah semestinya kita belajar dan berusaha menirunya.