Manakala terjadi dua hari raya dalam sehari[1], mengemukalah
kembali pertanyaan sebagian umat Islam tentang pelaksanaan Shalat Jumat; apakah
Shalat Jumat tetap wajib dikerjakan atau boleh ditinggalkan.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat,
ada yang tetap mewajibkan dan ada pula yang tidak.
Tetap Wajib Shalat Jumat
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk
ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi'iyah. Mereka berpendapat bahwa shalat
Jumat tetap wajib dikerjakan walaupun bertepatan dengan hari raya (Idul Fitri
atau Idul Adha). Mereka berpijak pada keumuman dalil kewajiban Shalat Jumat, di
antaranya firman Allah Swt,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Akan tetapi, dalam hal ini, para ulama Syafi'iyah
memberi ketentuan rinci sebagai berikut.
1. Apabila seseorang tinggal di suatu tempat yang
di situ didirikan shalat Jumat, atau berada dekat dari tempat pelaksanaan
shalat Jumat, maka ia wajib menunaikan shalat Jumat.
2. Apabila orang tersebut tinggal di daerah yang
tidak didirikan shalat Jumat, atau berada jauh dari tempat pelaksanaan shalat Jum’at,
maka boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat Zuhur.
Di antara pijakan para ulama Syafi’iyah ini adalah sabda Nabi Saw,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا
عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, bahwa beliau Saw pernah bersabda, “Pada
hari ini ada dua hari raya. Siapa yang menghendaki, dia boleh tidak Jumatan. Tetapi,
kami akan menyelenggarakan Jumatan.” (HR. Abu Daud)
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَم قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ:
مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ. رواه الخمسة إلا الترمذي
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata, “Rasulullah Saw menyelenggarakan Shalat
‘Id, kemudian beliau memberi keringanan dalam Shalat Jumat. Beliau bersabda,
‘Siapa yang menghendaki shalat Jumat maka shalatlah.”
Menurut Imam Syafi’i, maksud dari kata مَنْ شَاءَ (siapa yang
menghendaki) dalam hadits di atas tidaklah ditujukan kepada semua orang yang
melaksanakan Shalat ‘Id, tetapi hanya kepada ahlul aliyah (penduduk
kampung yang jauh dari tempat Shalat ‘Id), yang tentunya cukup kerepotan jika
harus kembali lagi ke tempat Jumatan pada siang hari setelah sebelumnya melaksanakan
Shalat ‘Id.[2]
Penjelasan tersebut disampaikan pula oleh Imam Nawawi dalam al-Muhadzdzab,
وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ
فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا
وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: "أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ
فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ
يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ
فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ
أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ
أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى
أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ
يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ
الْجُمُعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ. ـ[3]
“Apabila hari raya bertepatan
dengan hari Jumat maka penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat ‘Id –yang telah
hadir untuk melaksanakan Shalat ‘Id– boleh kembali ke kampungnya, tidak usah
mengikuti Jumatan, karena adanya riwayat dari Utsman r.a. bahwa ia berkata
dalam khutbahnya, ‘Wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, siapa di
antara penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat ‘Id ini menghendaki ikut Shalat
Jumat, silakan; dan siapa yang ingin pulang ke kampungnya, silakan ia pulang.’
Terhadap ucapan Utsman ini tidak ada seorang pun sahabat yang
mengingkarinya.
(kata “as-sawad”)
artinya ialah penduduk perkampungan dan persawahan di sekitar kota besar, (kata
“al-aliyah”) Imam Jauhari mengatakan bahwa al-aliyah ialah kawasan pegunungan
di atas kota Najd sampai daratan Tihamah sampai belakang Mekah, yakni Hijaz dan
sekitarnya. Imam Syafi’i berkata: ‘Tidak boleh meninggalkan Jumatan bagi penduduk
kota, kecuali karena adanya udzur yang memperbolehkan tidak Jumatan, walaupun
bertepatan dengan hari raya.’”
Tidak Wajib Shalat Jumat (Diganti Shalat Zuhur)
Ini adalah pendapat para ulama Hanabilah dan pendapat
lain dari mazhab Syafi'i. Para ulama yang berpendapat demikian juga mendasarkan
pendapat mereka kepada beberapa dalil di atas. Akan tetapi, mereka menarik kesimpulan
yang berbeda. Menurut mereka, keringanan (tidak wajib shalat Jumat) itu berlaku
bagi seluruh umat Islam, baik yang tinggal jauh dari tempat pelaksanaan Shalat
Jumat maupun yang dekat. Walaupun demikian, mereka tetap berpandangan bahwa
imam dan khatib sebaiknya tidak meliburkan Shalat Jumat supaya umat Islam yang
ingin menunaikan Shalat Jumat tetap terfasilitasi.
Bagaimana Kita Menyikapi[4]
Karena ini benar-benar masalah khilafiyah, sudah
sepatutnya kita berlapang hati terhadap perbedaan. Tidak perlulah kita membenturkan
pendapat ulama yang satu dengan ulama yang lain. Bagaimanapun mereka telah ikhlas
mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk berijtihad. Kewajiban kita—sebagai
orang awam—adalah memberi penghormatan yang setinggi-tingginya atas jasa
mereka.
Jika kita memilih pendapat yang pertama, tak
perlulah merendahkan atau bahkan mengolok-olok saudara kita yang memilih pendapat
kedua. Begitu pula sebaliknya, apabila pendapat kedua yang kita pilih, tak
pantas pula kita menyalahkan saudara kita yang meyakini pendapat pertama—walaupun
melaksanakan Shalat Jumat itu lebih utama dan bisa menjadi pilihan aman dari beberapa
pendapat yang ada. Bukankah al-khuruj minal khilaf mustahab? [5]
Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber Gambar
[1] Maksud
dari "dua hari raya dalam sehari" adalah hari raya yang jatuh pada hari Jumat.
[2] Imam Syafi'i dalam al-Umm juz 1 hlm. 212.
[4] Dalam
catatan singkat ini, saya sengaja tidak mengemukakan pendapat Atha’, yang oleh
para ulama masih menuai banyak kritik dan koreksi.
[5] Keluar
dari perbedaan pendapat adalah baik/disenangi.
8 comments:
Eh, baru baca ini. Udah telanjur ngomelin suami, tp terus diterangin suami kalau sunah jadinya. Stlh mepet2 jamnya, eh beliau jumatan juga akhirnya. Sayang, katanya hehehee
Di sini juga banyak yang tetap jumatan, Mbak. Mungkin karena sekarang ini masjid-masjid sudah banyak berdiri di kampung sehingga sangat dekat untuk jumatan.
klo suami saya ikut pendapat yg pertama :)
Iya, Mbak. Di kampung saya juga tetap pada jumatan kok. :)
Saya tetap ikut jumatan... Soalnya masjid dekat dan banyak....
Iya, Mas. Sama.
terimakasih ini sangat bermanfaat bagi saya yang masih awam
Sama-sama, terima kasih kembali, Bu Ida.
Post a Comment