Saat umat Islam menggemakan
takbir, tahlil, dan tahmid di masjid-masjid, surau-surau, dan di jalan-jalan
raya, sekelompok pemuda dewasa sekira 15-an orang justru menggemakan banyak
sekali mercon dengan daya ledak besar tidak jauh dari rumahku. Saya yang saat
itu sedang hendak memulai menulis naskah khutbah untuk esok pagi benar-benar merasa
terganggu. Bahkan, serasa jantung ini mau copot karena daya ledaknya yang
superdahsyat.
Mulanya saya sabarkan diri.
Hanya bisa mengelus dada sambil beristighfar dan berguman, “Apa mereka tidak
merasa berdosa telah mengganggu tidur anak-anakku, membuat anak-anak gemetaran,
bahkan orang tua pun menjadi jantungan? Apa mereka lupa bahwa Islam melarang
pemeluknya mengganggu orang lain dengan menciptakan kekacauan?”
Sekali, dua kali, tiga
kali ternyata ledakan itu terus ada. Tidak cukup tiga kali, bahkan mereka terus
berpesta sampai berkali-kali. Akhirnya, kesabaran saya berasa habis, saya putuskan
untuk menemui mereka. Di tengah area persawahan yang gelap, saya temui mereka.
“Mas-mas, maaf, kalau mau
meledakkan mercon yang sangat besar, tolong pindah dari lokasi sini, ya. Tapi,
kalau hanya ingin menyalakan petasan yang tidka besar, silakan saja kalian
bunyikan di tempat ini. Soalnya, anak saya jadi gemetaran. Ketakutan. Jantung saya
pun berasa mau copot. Tolong, ya!”
Mereka yang rata-rata
berusia 25-30 tahun itu menjawab, “iya, Pak.” Tapi, setelah saya kembali ke
rumah, mereka kembali meledakkan mercon. Bahkan, yang lebih besar lagi. Merasa pinta
saya tidak mempan, terpaksa saya telepon kawan saya seorang polisi yang
bertugas di Polsek. Tidak berapa lama kawan saya datang. Seorang diri. Para pemuda
itu seketika menyudahi aksi mereka? Ternyata tidak! Mereka berhenti sesaat. Tetapi,
setelah kawan saya pergi, para pemuda itu kembali meledakkan mercon mereka.
Jujur, hati saya saat itu
berasa terbakar. Panas. Marah. Tetapi, saya tahan. Tetap saya minta mereka secara
sopan agar menghentikan pesta ledakan. Namun, usaha saya tetap saja tidak
berhasil. Sampai akhirnya saya dibuat putus asa. “Ya sudahlah, biar Tuhan yang mengurus
kalian. Semoga Tuhan membuka mata hati kalian untuk berempati kepada orang
lain,” doa saya dalam hati.
Saya kembali ke rumah. Pasrah.
Tidak begitu lama, kawan saya yang bertugas di Polsek menelepon saya,
mengabarkan bahwa ada patroli dari Polres Bantul sebanyak dua mobil akan
melintasi depan rumah saya. Ternyata benar, ada sekira belasan polisi dalam dua
mobil tersebut. Saya nyalakan lampu HP, saya sorotkan ke arah mobil polisi, dan
saya goyang-goyangkan, sebagai tanda bahwa saya sedang membutuhkan bantuan
mereka. Mobil mereka berhenti. Belasan polisi bersenjata laras panjang segera
turun dan menghampiri saya.
“Ada apa, Pak?” tanya
mereka.
Saya jelaskan semua yang
terjadi di samping rumah saya di tempat gelap di area persawahan. Akhirnya, dua
mobil tersebut bergegas tancap gas menuju lokasi para pemuda. Aku lihat dari
rumah, para pemuda tunggang langgang menyelamatkan diri.
Alhamdulillah, kondisi kembali
normal. Aman terkendali. Anak-anak bisa tidur lelap. Saya pun bisa melanjutkan
membuat naskah khutbah Idul Adha untuk esok pagi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)
2 comments:
Hmmm, lebaran kok malah main petasan, mending bakar sate hehehehe
Bakar sate memang lebih asyik, Mas. :)
Post a Comment