"Lha
memangnya kenapa?" selidik Bang Suriyah.
"Rhoma
yang aku ajukan untuk jadi cawapresnya, tidak dia terima. Begitu juga Mahfud
MD, yang diharap-harap oleh seluruh warga Nahdliyyin, juga tidak
diterima," terang Cak Emon sambil mendengus panjang.
Kang
Suriyah ternyata merasakan hal yang sama.
"Sama,
Bro, aku juga gak yakin Bang Jusuf Kalla yang aku tawarkan akan dijadikan
pasangan si Jokowi."
Bang
Kapi yang sedari tadi hanya duduk melamunkan posisi empuk sebagai menteri,
sontak terpikat untuk ikut berkomentar.
"Benar
juga, ya. Rugi serugi-ruginya deh kita kalau mendekat kepada Jokowi, tetapi
ternyata kita tidak mendapat apa-apa!"
Di
gedung lain, di lantai paling atas, di landasan helikopter, Bang Esda dan Bang
Anis Semesta juga sedang merumpikan hal yang sama; tentang untung-rugi merapat
ke capres Prabowo.
"Akhi,
kalau kita taqarrub (mendekat) kepada Prabowo, bakalan dapat apaan kita?
Rugi besar kan kalau kita sudah capek-capek taqarrub, ee ternyata gak
dapat imbalan apa-apa!" lenguh Bang Anis Semesta.
"Iya,
ya, Kawan! Kita sudah capek-capek merapat ke dia, bahkan mengeluarkan banyak
biaya untuk membela dia; kalau kita tidak dapat imbalan kursi cawapres atau
menteri, rugilah kita!" kata Bang Esda.
Obrolan
mereka ini ternyata sampai juga ke telinga rakyat. Sontak rakyat marah.
"Jiaannncuk
tenan para elit politik itu!! Kurang azzzaarr! Ternyata koalisi mereka
transaksional sekali. Tujuan mereka mendekat, merapat, atau taqarrub
tadi ternyata semata-mata untuk mendapatkan jabatan. Jika tidak mendapat
imbalan dari Jokowi atau Prabowo, mereka ogah taqarrub, ogah berjuang,
dan ogah memenangkan capres-capres itu. Ediaannn! Ediaann!"
Mas
Hardi, yang sedari tadi asyik mengilustrasi naskah anak berjudul "Misteri
Empat Istri", akhirnya terusik. Ia lalu mengangkat suara. "Haii, Bro,
koalisi atau taqarrub transaksional itu wajar dan lumrah dalam dunia
politik. Justru kalau taqarrub kok tidak berorientasi untuk mendapatkan
jabatan atau lainnya, itu malah tidak normal."
Semua
orang diam; saling pandang. Melihat teman-temannya gagal memahami ucapannya,
Mas Hardi buru-buru mengimbuhi penjelasannya agar lebih gamblang. "Taqarrub,
perjuangan, dan koalisi dengan Jokowi atau Prabowo dengan tujuan agar bisa
dapat kursi, itu wajar. Politik secara transaksional dengan mereka itu juga
normal. Yang tidak wajar dan tidak normal itu kalau kita beribadah kepada Allah
secara transaksional. Misal, kita mau taqarrub kepada-Nya dengan tujuan
agar bisa kaya, dapat jabatan, dll. Itu ndak wajar. Tuhan kok diajak
bertransaksi."
Semua
orang mulai mafhum. Mereka manggut-manggut.
"Intinya,"
lanjut Mas Hardi, "Taqarrub kepada Jokowi atau Prabowo itu sekadar
sarana untuk meraih tujuan atau kepentingan. Adapun taqarrub kepada
Allah itu bukan sarana, melainkan tujuan itu sendiri. Ya, tujuan kita memang
benar-benar untuk bertaqarrub kepada Allah. Mau diberi jabatan atau
tidak, mau dikasih kekayaan atau tidak, mau dikasih istri cantik atau tidak,
itu ndak penting. Lha wong tujuan kita kan memang taqarrub kepada-Nya.
Ketika kita shalat, tujuan pokok kita ya shalat itu sndiri, yakni taqarrub
kepada-Nya. Bukan shalat untuk dapat jabatan atau kekayaan. Jadi, jangan
jadikan shalat dan taqarrab sebagai alat untuk mendapatkan kekayaan dan
jabatan. Risikonya, kalau kita ndak dikasih jabatan atau kekayaan lantas kita
tidak mau taqarrub/merapat kepada-Nya? Edan tenan kan kalau bgini! Su'ul
adab kepada Allah! Kualat!"
Semua
orang yang semula hanya manggut-manggut, mafhum dengan penjelasan Mas Hardi,
sekarang mereka justru berjamaah menggeleng-gelengkan kepala sambil membaca hailalah
(tahlil). Taqarrub/merapat kepada Allah tanpa transaksi apa pun.
*)
Renungan sore hari sambil rebahan di tempat kerja karena listrik mati.
Ruang Laksana Kidz,
16 Mei 2014
0 comments:
Post a Comment