ads
Friday, May 16, 2014

May 16, 2014

"Bro, kayaknya salah besar kita merapat ke Jokowi," desah Cak Emon, di ruang rapat kantor PDI-P..

"Lha memangnya kenapa?" selidik Bang Suriyah.

"Rhoma yang aku ajukan untuk jadi cawapresnya, tidak dia terima. Begitu juga Mahfud MD, yang diharap-harap oleh seluruh warga Nahdliyyin, juga tidak diterima," terang Cak Emon sambil mendengus panjang.

Kang Suriyah ternyata merasakan hal yang sama.

"Sama, Bro, aku juga gak yakin Bang Jusuf Kalla yang aku tawarkan akan dijadikan pasangan si Jokowi."

Bang Kapi yang sedari tadi hanya duduk melamunkan posisi empuk sebagai menteri, sontak terpikat untuk ikut berkomentar.

"Benar juga, ya. Rugi serugi-ruginya deh kita kalau mendekat kepada Jokowi, tetapi ternyata kita tidak mendapat apa-apa!"

Di gedung lain, di lantai paling atas, di landasan helikopter, Bang Esda dan Bang Anis Semesta juga sedang merumpikan hal yang sama; tentang untung-rugi merapat ke capres Prabowo.

"Akhi, kalau kita taqarrub (mendekat) kepada Prabowo, bakalan dapat apaan kita? Rugi besar kan kalau kita sudah capek-capek taqarrub, ee ternyata gak dapat imbalan apa-apa!" lenguh Bang Anis Semesta.

"Iya, ya, Kawan! Kita sudah capek-capek merapat ke dia, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk membela dia; kalau kita tidak dapat imbalan kursi cawapres atau menteri, rugilah kita!" kata Bang Esda.

Obrolan mereka ini ternyata sampai juga ke telinga rakyat. Sontak rakyat marah.

"Jiaannncuk tenan para elit politik itu!! Kurang azzzaarr! Ternyata koalisi mereka transaksional sekali. Tujuan mereka mendekat, merapat, atau taqarrub tadi ternyata semata-mata untuk mendapatkan jabatan. Jika tidak mendapat imbalan dari Jokowi atau Prabowo, mereka ogah taqarrub, ogah berjuang, dan ogah memenangkan capres-capres itu. Ediaannn! Ediaann!"

Mas Hardi, yang sedari tadi asyik mengilustrasi naskah anak berjudul "Misteri Empat Istri", akhirnya terusik. Ia lalu mengangkat suara. "Haii, Bro, koalisi atau taqarrub transaksional itu wajar dan lumrah dalam dunia politik. Justru kalau taqarrub kok tidak berorientasi untuk mendapatkan jabatan atau lainnya, itu malah tidak normal."

Semua orang diam; saling pandang. Melihat teman-temannya gagal memahami ucapannya, Mas Hardi buru-buru mengimbuhi penjelasannya agar lebih gamblang. "Taqarrub, perjuangan, dan koalisi dengan Jokowi atau Prabowo dengan tujuan agar bisa dapat kursi, itu wajar. Politik secara transaksional dengan mereka itu juga normal. Yang tidak wajar dan tidak normal itu kalau kita beribadah kepada Allah secara transaksional. Misal, kita mau taqarrub kepada-Nya dengan tujuan agar bisa kaya, dapat jabatan, dll. Itu ndak wajar. Tuhan kok diajak bertransaksi."

Semua orang mulai mafhum. Mereka manggut-manggut.

"Intinya," lanjut Mas Hardi, "Taqarrub kepada Jokowi atau Prabowo itu sekadar sarana untuk meraih tujuan atau kepentingan. Adapun taqarrub kepada Allah itu bukan sarana, melainkan tujuan itu sendiri. Ya, tujuan kita memang benar-benar untuk bertaqarrub kepada Allah. Mau diberi jabatan atau tidak, mau dikasih kekayaan atau tidak, mau dikasih istri cantik atau tidak, itu ndak penting. Lha wong tujuan kita kan memang taqarrub kepada-Nya. Ketika kita shalat, tujuan pokok kita ya shalat itu sndiri, yakni taqarrub kepada-Nya. Bukan shalat untuk dapat jabatan atau kekayaan. Jadi, jangan jadikan shalat dan taqarrab sebagai alat untuk mendapatkan kekayaan dan jabatan. Risikonya, kalau kita ndak dikasih jabatan atau kekayaan lantas kita tidak mau taqarrub/merapat kepada-Nya? Edan tenan kan kalau bgini! Su'ul adab kepada Allah! Kualat!"

Semua orang yang semula hanya manggut-manggut, mafhum dengan penjelasan Mas Hardi, sekarang mereka justru berjamaah menggeleng-gelengkan kepala sambil membaca hailalah (tahlil). Taqarrub/merapat kepada Allah tanpa transaksi apa pun.

*) Renungan sore hari sambil rebahan di tempat kerja karena listrik mati. 

Ruang Laksana Kidz, 16 Mei 2014

 

 

0 comments: