Dalam postingan saya berjudul Tanya-Jawab Puasa Bersama Tifatul Sembiring, ada 5 poin tanya jawab yang saya harapkan bisa kita diskusikan di sana. Namun karena keterbatasan waktu, terpaksa saya menunda untuk mengkajinya. Maklum, sebagai seorang buruh, waktu saya lebih banyak terkuras untuk ngeburuh daripada untuk lainnya. Apalagi untuk blogging. Kalau istilah Mimi RaDiAl, bukan ngeburuh, tapi ngebabu. Hehe...
Semoga di sela waktu ngeburuh atau ngebabu ini, saya tetap diberi kekuatan oleh Allah swt untuk mengkaji poin-poin tersebut dengan segala keterbatasan saya.
Baiklah, mari kita kaji bersama poin demi poin secara runtut. Namun, agar lebih fokus, setiap poin akan kita kaji dalam postingan sendiri-sendiri. Postingan saya kali ini khusus membahas tentang konsekuensi hukum bagi wanita hamil atau menyusui yang meninggalkan puasa.
***
***
Pendapat yang Saya Kukuhi
Selama ini, yang saya kaji dan saya kukuhi, baik dari penjelasan ustadz-ustadz saya atau dari kitab-kitab fiqih yang saya baca sedari dulu (Fathul Qarib, Al-Bajuri, Fathul Mu’in, I’anah ath-Thalibin, Kifayatul Akhyar, Syarh al-Muhadzdzab, dan lain-lain), konsekuensi hukum bagi wanita hamil atau menyusui yang meninggalkan puasa adalah sebagai berikut:
1. Wajib Qadha’
Yakni apabila ketidakpuasaan mereka (ibu hamil atau menyusui) dikarenakan khawatir pada (a) dirinya sendiri, semisal khawatir dirinya jatuh sakit, atau khawatir pada (b) dirinya sendiri dan anaknya, semisal khawatir dirinya akan sakit dan anaknya keguguran atau tidak mendapat asupan ASI.
2. Wajib Qadha’ dan Fidyah
Yakni apabila ketidakpuasaan mereka dikarenakan semata-mata mengkhawatirkan janin yang dikandungnya atau buah hati yang sedang dalam masa penyusuannya.
Sepengetahuan saya yang saya kukuhi selama ini berdasarkan referensi kitab-kitab ulama Syafi’iyah, memang beginilah rincian konsekuensi hukum bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa.
Lalu, bagaimana dengan pendapat yang berbeda dengan saya? Apakah secara mutlak dapat kita katakana salah?
Dengan pengetahuan saya yang masih terlalu dangkal ini, tentu sangat gegabah apabila saya terburu-buru memvonis salah pendapat orang lain dan mengklaim diri paling benar. Karena karakter ranah fiqih memang luas, beragam, dan kaya akan perbedaan.
Karena itulah saya merasa perlu membuka literatur-literatur lain selain literatur dari kalangan Syafi’iyah. Maka saya pun mencoba mencari jawaban dari para ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, salah satunya melalui Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah karya Abdurrahman Al-Jaziri. Juga Al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Zuhaili.
Berikut ini uraiannya.
***
Pendapat Ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah
1. Pendapat Malikiyah
(#Qadha’ bagi yang hamil. #Qadha’ + fidyah bagi yang menyusui)
- Wanita hamil yang tidak berpuasa, ia harus mengqadha’ puasanya (mengganti puasanya pada hari lain) dan tidak perlu membayar fidyah.
- Wanita yang menyusui apabila ia tidak berpuasa maka ia harus mengqadha’ puasanya plus membayar fidyah.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah ia meninggalkan puasa karena mengkhawatirkan kesehatan dirinya, atau kesehatan anaknya, atau kesehatan dirinya dan anaknya.
2. Pendapat Hanafiyah
(Qadha’ saja)
Wanita hamil atau menyusui, apabila ia meninggalkan puasa maka hanya diwajibkan mengqadha’ (mengganti) puasanya pada hari yang lain. Jadi, tidak wajib membayar fidyah.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah ia meninggalkan puasa karena mengkhawatirkan kesehatan dirinya, atau kesehatan anaknya, atau kesehatan dirinya dan anaknya.
3. Pendapat Hanabilah
(sama seperti pendapat ulama Syafi’iyah)
Dalam hal ini, ulama Hanabilah memiliki pendapat yang sama dengan pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, yaitu:
- Wajib Qadha’
Yakni apabila ketidakpuasaan mereka (ibu hamil atau menyusui) dikarenakan khawatir pada (a) dirinya sendiri atau khawatir pada (b) dirinya sendiri dan anaknya.
- Wajib Qadha’ dan Fidyah
Yakni apabila ketidakpuasaan mereka dikarenakan semata-mata mengkhawatirkan janin yang dikandungnya atau buah hati yang sedang dalam masa penyusuannya.
Penelusuran saya terhadap kitab-kitab fiqih dari 4 (empat) madzhab ternyata tidak menemukan jawaban sebagaimana jawaban Ustadz Tifatul Sembiring. Semua ulama dari kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali memasukkan unsur qadha’ sebagai konsekuensi hukum bagi wanita hamil dan menyusui. Baik qadha’ saja atau qadha’ plus fidyah. Jadi, tidak cukup membayar fidyah saja.
Lalu, dari manakah Ustadz Tifatul Sembiring mendasarkan jawabannya? Maka saya coba mencari kemungkinan jawaban dari pendapat ulama lain selain ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dn Hanabilah.
***
Pendapat Selain Ulama 4 Madzhab
Setelah tidak menemukan kesesuaian jawaban Ustadz Tifatul Sembiring dengan jawaban ulama-ulama 4 madzhab (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah) maka penelusuran kembali saya lakukan. Target penulusan kali ini adalah kitab Shahîh Fiqhu as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîhu Madzâhib al-Aimmah karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (hlmn 125-127) dengan tambahan catatan/ulasan oleh Nashiruddin Al-Albani, Abdul Aziz bin Baz, dan Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Juga kitab Fiqhu as-Sunnah karya Sayyid Sabiq (hlm 372).
Mengapa hanya dua kitab itu yang jadi target penelusuran saya? Hehe…bukan karena tidak mau atau ogah membuka kitab yang lain, tetapi karena baru dua kitab itu yang saya miliki. Selebihnya adalah kitab-kitab dari ulama 4 madzhab.
Di dalam Shahîh Fiqhu as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîhu Madzâhib al-Aimmah diungkap adanya 5 pendapat berbeda di kalangan ulama ahli fiqih.
1. Wajib qadha’ dan fidyah.
Yaitu pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa karena takut akan membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqadha’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
2. Wajib qadha’ saja.
Yaitu pendapat Imam Hanafi dan para ulama yang mengikutinya, al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid.
3. Wajib fidyah saja.
Yaitu pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ishaq, dan Al-Albani.
4. Wajib qadha’ saja bagi ibu hamil, sedangkan ibu menyusui wajib qadha’ plus fidyah.
Yaitu pendapat Imam Maliki.
5. Tidak ada kewajiban apa-apa.
Yaitu pendapat Ibnu Hazm.
Dari sinilah saya tahu bahwa Ustadz Tifatul Sembiring mendasarkan jawabannya pada pendapat nomor 3, yakni pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ishaq, dan Al-Albani.
***
Mengapa Bisa Berbeda Pendapat?
Karena dalam masalah wanita hamil atau menyusui memang tidak ada nash yang sharih (tegas dan gamblang) untuk menetapkan bagaimana mereka harus mengganti puasanya. Adapun nash yang sharih di dalam Al-Qur’an adalah tentang konsekuensi hukum bagi orang sakit, musafir, dan orang yang tidak mampu lagi berpuasa (semisal karena renta atau sakit menahun yang kecil kemungkinannya untuk sembuh).
Firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ # أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183-184)
Di dalam ayat tersebut juga dalil-dalil yang lain tidak kita temukan adanya aturan yang sharih tentang konsekuensi hukum bagi wanita hamil dan menyusui. Wajar saja jika kemudian para ulama berbeda pendapat dalam ijtihad mereka untuk menetapkan konsekuensi hukumnya.
Ustadz Sarwat dalam bukunya Seri Fiqih Kehidupan (5) Puasa mengatakan:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama itu didasari pada perbedan pendapat di antara mereka dalam menggolongkan wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.
a. Seperti Orang Sakit
Pendapat pertama mengatakan bahwa mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga cara penggantian puasanya harus sebagaimana orang yang sedang sakit, yaitu dengan cara berpuasa qadha‘ di hari lain. Sebagaimana dalil di dalam Al-Quran:
“Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain.” (QS Al-Baqarah: 85)
b. Seperti Orang Tidak Mampu
Pendapat kedua menyebutkan bahwa para wanita yang sedang hamil dan sedang menyusui tidak bisa disamakan dengan orang sakit, karena pada dasarnya mereka bukan orang sakit. Mereka lebih tepat digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang tidak kuat atau mampu, seperti orang yang sudah tua bangka atau jompo.
Untuk itu orang-orang yang tidak mampu berpuasa itu tidak mengganti dengan berpuasa di hari lain, cukup bagi mereka membayar fidyah, memberi makan kepada fakir miskin. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 184)
c. Seperti Orang Sakit dan Tidak Mampu
Pendapat ketiga adalah pendapat yang menggabungkan antara kedua alasan di atas. Para wanita hamil dan menyusui orang sakit dan sekaligus juga orang yang tidak mampu. Karena itu selain wajib mengqadha‘, mereka wajib membayar fidyah.
d. Berdasarkan Motivasi
Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi dari tidak berpuasa yang melatar-belakangi perbuatannya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan atau kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka dirinya disetarakan dengan orang sakit. Untuk itu dia mengganti dengan berpuasa di hari lain alias mengqadha’ puasa. Adapun bila jelas-jelas kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah.
Beragam hadits yang diajukan pun menjadi salah satu penyebab perbedaan pendapat ini. Sayangnya, dalam ranah ini (hadits) semakin nyatalah kedha’ifan saya, karena tidak mampu menguliti dan mengurai masalah ini hingga ke akarnya. Ya, karena keterbatasan ilmu saya di bidang hadits.
Hanya saja, Ibnu Hajar rahimahullah pernah berkata:
هذا مذهب ابن عباس وخالفه الأكثر
“Ini adalah madzhab Ibnu ‘Abbaas, sedangkan kebanyakan ulama menyelisihinya” (Fathul-Baariy, 8/180). Yakni, pendapat yang mengatakan wajib fidyah saja, kata Ibnu Hajar, diselisihi oleh kebanyakan ulama.
***
Tak ada gading yang tak retak, tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang sempurna. Karena itulah saya sangat berharap ada di antara sahabat blogger yang berkenan membantu menguliti dan mengurai masalah ini hingga ke akar terkecilnya, terlebih dari ranah hadits.
Selamat berpuasa dan selamat menyambut lebaran. Semoga amal ibadah kita diterima oleh-Nya dan dibalas dengan balasan yang sangat istimewa. Amiin…
Akhirul kalam, wallahu a’lam
Sumber ilustrasi dari sini
NB: Postingan ini merupakan rangkaian diskusi/kajian tentang keragaman fiqih puasa. Ada beberapa poin tema yang kita diskusikan di blog ini, yaitu:
- Pembuka
- Puasa Ibu Hamil dan Menyusui
- Suntikan Abiotik Membatalkan Puasa?
-
8 comments:
Ulasan yang mantap disertai dengan dasar hukum dari hadist dari berbagai madzab, makasih mas masih mau berbagi ilmu meskipun sibuk mburuh disana hehe
Pengalaman istri saya saat menyusui dulu memang cukup mengqadha (mengganti)puasanya saja mas, ndak bayar fidyah. karena menurut pemahaman saya selama mampu mengganti puasa ya ndak usah bayar fidyah, kecuali bagi orang tua yang memang secara fisik ndak mampu barulah diperbolehkan membayar fidhyah.wallahu a'lam :)
Alhamdulillah, di sela-sela mburuh masih diberi kekuatan untuk memposting uneg2 di blog sdrhana ini.
Bener, Mas, wanita hamil dan menyusui setelah masa kehamilan dan menyusui masih mampu mengganti dg berpuasa. Kalau bnr2 sdh tdk mampu sprti orgtua renta, ya mau bgmna lg. tentunya ckp fidyah saja.
memang sekarang banyak ustadz karbitan yg asal ceplos saja tanpa dasar hukum, ini tdk hny ditemui di ust trsbut, tapi mamah dede jg kadang ngawur, suatu ketika belia ditny bgmn hukumnya kopi luwak beliau menjawab haram krn kluar bersama barang najis, apa beliau tdk melihat prosesnya? wah kalao bgitu saya sering minum kopi haram dong, pernah juga beliau ditny tnt hkum meminum susu istri jawabannya tdk blh krn nanti jd sodara sepersuson(?) hah? apa beliau tdk tau syarat utk menjadi rodlo'? padahal kalau mereka tdk tau seharusnya tdk malu utk menjawab "saya tdk tau", sayyidna Ali yg gudangnya ilmu saja ketika ditanya dan tdk bs menjawab beliau mengatakan "saya tdk tau", lanjut sydna Ali "tidak tau adalah sebagian dr ilmu"... sbg mahasiswa syariah saya miris sekali..
Kebetulan saya sangat amat jarang sekali nonton tivi, Mbak. Jadi, gak begitu tahu apa yg tersaji melalui layar kotak ajaib itu.
Saya sepakat, jawaban "Saya tidak tahu" adalah sbgian dr ilmu dan lbh bermartabat.
Alhamdulillah...
Bisa mengikuti kajian yang super ini :)
Alhamdulillah, hari ini dapat kunjungan tamu agung dari Pandak ujung kidul. :)
Assalamualaikum....ibu menyusui itu kadang kan masih ada yang nifas itu bagaimana?hukum nya?apakah membayar fidyah atau tidak?
Wa'alaikumussalam warahmatullah. Perempuan yang sedang nifas atau haid haram berpuasa. Setelah selesai nifas atau haid, sesudah Ramadhan, dia cukup mengqadha' puasanya saja.
Post a Comment