ads
Wednesday, February 1, 2012

February 01, 2012
6
"Selamat ulang tahun ya, Ba," ucap istriku lembut sambil menyodorkan selembar roti tawar kepadaku. "Ayo, Ba, ditiup...!" lanjutnya, merajuk.

Sambil menyapukan senyum kepadanya, aku menukas, "Apa yang mau ditiup?"

"Anggap saja selembar roti tawar ini adalah kue tart, lalu bayangkan saja di atas kue ini ada lilinnya, Ba," jawabnya sambil tersenyum indah.

Aku tertawa, lalu mengaduk-aduk rambutnya penuh cinta seraya berkata kepadanya, "Makasih atas kue tart dan lilinnya ya, Sayang. Yang penting doakan aku selalu agar bisa menapaki hidup ini sesuai titah dari Sang Yang Mahakuasa sehingga meraih ridha-Nya."

Apa yang terjadi tadi pagi itu memang bagian dari canda romantika kami. Kebetulan hari ini, tepat usiaku menginjak di angka 32 tahun. Wah, sudah tua ya ternyata! Hehehe...

Karena memang tidak pernah sekalipun dalam hidupku, setiap ulang tahunku ada lilin menyala apalagi pesta pora. Cukuplah doa dan harapan semoga kematangan usia ini juga mematangkan kedewasaan saya dalam interaksi dengan Tuhan maupun sesama. Dan, semoga hari esok lebih baik daripada hari ini.

Hanya sekali, ulang tahunku "dirayakan" oleh orang penting di negeri ini. Tapi, itu pun tanpa sengaja alias tidak ada niatan sama sekali untuk merayakannya. Peristiwa itu terjadi 2 tahun lalu. Bagaimana ceritanya? Mari kita buka kembali catatan usang yang pernah terposting di facebook saya dua tahun lalu.

***



Tak biasanya aku merayakan ulang tahun di rumah makan mewah. Tahun-tahun sebelumnya, paling-paling ulang tahunku cuma dirayakan bersama istri di rumah. Itu pun hanya dengan menggelar acara bikin mie rebus dan pisang goreng berdua. Duduk di dekat tungku dapur yang kadang mengepul dan kadang padam, kita nikmati mie rebus itu. Sesekali istriku menyuapiku pisang goreng. "Nikmatnya dunia ini," bahagiaku kala itu. Untuk menambah romantisme, aku pun melakukan acara tiup, cuma bukan tiup lilin, melainkan niup kompor. Fuuhhhh...! Mati deh nyala kompornya. Karena kompornya mati, terpaksa besok harus cari duit lagi untuk menyalakannya.

Hari itu, Senin, 1 Februari 2010, pukul 17.00 WIB. Sedih rasanya karena ulang tahunku kali ini tidak dirayakan bersama istri. Namun, kesedihan itu sekejap berganti gembira karena tanpa dinyana ulang tahunku justru dirayakan bersama Mbak Alissa Qotrunnada Munawaroh (putri pertama Gus Dur). Dasar ndeso..., disuguhi menu restoran malah mau pingsan. Hehe... Maklum biasanya cuma makan di warung koboi atau angkringan. Sebungkus nasi kucing, sepotong tempe goreng, segelas teh hangat, dan sebatang Djarum Super, nikmatnya tak bisa terkatakan. Tapi, sekarang, ketika di restoran, justru rasanya mau pingsan. Tidak ada nasi kucing, tidak ada tempe goreng, tidak ada teh hangat, dan juga tidak ada asap tungku yang mengepul, yang menambah aroma khas angkringan.

Pukul 18.30 WIB, akhir pertemuan dan bincang-bincang saya dengan Mbak Alissa. Banyak sekali obrolan yang kita tumpahkan saat itu. Tak jarang gelak tawa membuat gaduh suasana di restoran itu. Benar-benar seperti reuni, padahal baru kali itu kita bertemu dan berbincang dengan beliau. Salah satu yang terus aku ingat adalah penuturan Mbak Alissa (dikuatkan juga penuturan Mas Kari, relasi Mbak Alissa, yang juga hadir di tempat itu) bahwa pada Ramadhan 2009 kemarin, di depan masyarakat Jogja dan para tokoh lintas agama, Gus Dur telah menyatakan pamit. Pamit kemana...? Gus Dur tidak mengatakannya. Namun, dari kata pamit itu, entah bagaimana terjadinya, mereka yang hadir sontak melelehkan air mata. Tangis yang tidak bisa ditahan. Tumpah karena kata pamit tadi. Dan, ternyata beberapa bulan setelah itu, tepatnya 30 Desember 2009, Gus Dur benar-benar berpamitan kepada dunia untuk menghadap Sang Khaliqnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Selamat jalan guru bangsa!

Apa yang aku rasakan setelah pertemuan itu, dan dirasakan juga oleh Mas Handri (penulis buku Gitu Aja Kok Repot dan Mengurai Dunia Spiritual Gus Dur), bahwa Mbak Alissa adalah sosok yang bersahaja, pluralis, inklusif, humanis, dan sangat menghargai serta menghormati wong alit (rakyat jelata). Orang Jawa bilang: nguwongke uwong.

Berbincang dengan Mbak Alissa, rasanya sudah seperti berbincang dengan kawan dan sahabat dekat, padahal baru kali itu kita bertemu. "Tidak jauh beda dengan ayahnya, Gus Dur!" batin kami. Tak salah, bangsa Indonesia bahkan dunia menyebut Gus Dur sebagai kiai semua umat, tokoh semua kalangan, dan simbol kerukunan serta kedamaian dunia.

"Mas Irham, bertemu dan berbincang dengan putri Gus Dur serasa berbincang dengan kawan sendiri. Enak, menyenangkan, dan tidak merendahkan kita. Tidak ada protokoler dan kekakuan selayaknya pertemuan dengan anak-anak pejabat penting negara atau keluarga kiai yang cenderung eksklusif dan sulit diakses masyarakat bawah," tutur Mas Handri kepadaku.

Aku mengiyakan, karena memang seperti itulah adanya. Bersahabat, bersahaja, akrab, menghormati dan menghargai perbedaan, inklusif, dan tidak merasa mentang-mentang orang besar. Benar sekali, beliau adalah orang besar tapi tidak angkuh dengan kebesarannya, serta dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun dan dari kalangan mana pun. Inilah yang membedakan keluarga KH. Abdurrahman Wahid (alm.) dengan orang-orang besar lainnya atau juga orang-orang yang menganggap dirinya besar.

Semoga Allah memberi balasan yang berlipat untuk almarhum Gus Dur, dan semoga kita semua terlebih putri-putri beliau terus memperjuangkan visi dan misi mulia beliau. Amin

6 comments:

Nehwah said...

walau apa adanya, yang penting kan romantisnya, hehehee

Irham Sya'roni said...

@Nehwah Hehehe... sip, benar sekali. Yg pntg bahagia dunia akhrat dan makin cinta.

Muhammad Adam Hussein, S.Pd said...

Waah sangat mengesankan berarti ya pak?
Pasti itu bakal menjadi kenangan. ^.^

Irham Sya'roni said...

iya, Ustadz. Kesan dan pelajaran positif yg bisa saya ambil.

softwikia said...

tanpa kue tart tp dengan berbagi ke anak yatim mantap, lebih lega rasanya :X

Irham Sya'roni said...

Benar, Mas.