ads
Wednesday, February 1, 2012

February 01, 2012
Kasian Kang Dul, 15 juta rupiah, yang sedianya akan digunakan untuk membangun gubuk kecil, tak lagi bisa dinikmatinya. Gubuk kecil itu ia relakan begitu saja menjadi impian. Terpaksa ia kembali tidur di kolong jembatan dan berpuasa setiap hari seperti saat pertama kali ia menginjakkan kaki di desa itu. Pupus sudah harapannya untuk bisa hidup lebih layak karena rupiah hasil keringatnya terpaksa dipinjamkan kepada Pak Lurah untuk melunasi kredit mobil BMW-nya (Bebek Merah Warnanya).

Sebetulnya sudah lama BMW itu mau dibelinya. Tepatnya sejak ia terpilih menjadi Lurah. “Moso’ Lurah pake motor butut,” bisik birahinya saat itu. Tapi, syahwat untuk menunggangi BMW menemukan titik klimaksnya pada beberapa bulan lalu. Akhirnya, jalan pintas pun ditempuh. Ia hutang 15juta rupiah kepada Pak Sholeh, Ketua Takmir Masjid Baitul Muttaqin. Celakanya, uang itu ternyata bukan milik pribadi Pak Sholeh, melainkan uang kotak infaq masjid. Pak Lurah mengetahui itu karena setiap Jum’at, di atas mimbar, pak khatib selalu mengingatkannya bahwa hutangnya kepada masjid Baitul Muttaqin adalah 15juta rupiah. Sebagai seorang pemimpin desa, Pak Lurah tentu malu namanya disebut mempunyai hutang kepada masjid. “Pak Sholeh Brengsek!” makinya dalam hati.

Pak Lurah terlihat khusyuk. (“Khusyuk” karena malu utangnya terungkap ke tengah jamaah).

“Aha…,” pekik girang Pak Lurah sampai mengagetkan jamaah yang memang benar-benar khusyuk mendengarkan khutbah, “Kang Dul! Ya…, Kang Dul! Dia seorang yang dermawan. Ia pasti mau menolongku menyelamatkan harga diriku.” (entah harga diri atau gengsi—editore mumet)

Akhirnya, jalan pintas kembali ditempuh. Pak Lurah menemui Kang Dul di tempat tinggalnya. Tepatnya di kolong jembatan. Ya, di kolong jembatan itulah Kang Dul dan anak istrinya tinggal. Sementara rumah yang berdiri megah di ujung jembatan itu adalah milik Pak Lurah. (“Uedan! Pak Lurah jebulnya sugih tenan,” pekik editor. Sementara editor satunya ikut bersuara, “Uedan! Kang Dul jebul kere tenan.”)

“Ayolah, Kang Dul, engkau adalah saudaraku. Engkau tetanggaku yang paling dermawan,” rayu Pak Lurah, “tidak banyak, Kang. Hanya 15juta rupiah.”

“Tapi Pak Lurah…”

“Sudahlah… nggak usah pake tapi-tapian. Aku tau kau belum punya rumah. Justru karena kau belum punya tempat tinggal itulah berarti kau belum membutuhkan rupiah untuk mempercantik rumah. Aku yakin kau lebih bahagia dan nyaman tinggal di kolong jembatan ini karena kau tak perlu mengeluarkan uang untuk bikin sumur. Bukankah untuk minum dan mandi kau bisa menggunakan air kali itu sepuasmu?”

“Tapi Pak Lurah…”

“Sudahlah… nggak usah pake tapi-tapian. rupiahmu itu jelas tidak banyak kau butuhkan. Dengan tinggal di kolong jembatan ini berarti kau tak memerlukan BMW untuk rapat di kelurahan seperti aku, kan?”

“Tapi Pak Lurah…”

“Sudahlah… nggak usah pake tapi-tapian. Bukankah Allah sudah berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maidah: 2)? Apakah kau tidak mau mendapat pahala dari Allah dengan cara menolongku ini?”

Mendapat argumentasi langit yang diceramahkan Pak Lurah ini, seketika luluhlah hati Kang Dul. Tak ada lagi “tapi-tapian” yang keluar dari mulutnya. Jika peristiwa ini terendus oleh wartawan, bisa saja lalu diberitakan di media massa. Di headline news akan terpampang judul besar sekali “Kang Dul Terhipnotis Argumentasi Langit”.

Benar sekali, bibir Pak Lurah telah berhasil menyihir kekeraskepalaan Kang Dul dengan bahasa langitnya. (Maklum… bibir Pak Lurah terlalu seksi—editor) Tidak sampai setengah detik hati Kang Dul menjadi lembek dan lunak. Orang Jawa bilang, “Atine Kang Dul dadi mblenyek. Dalil langit telah membuat hatinya klepek-klepek”

“Ini Pak Lurah, 15juta rupiah, aku berikan secara cuma-cuma kepada Pak Lurah untuk melunasi BMW itu. Semoga nama Pak Lurah tetap harum tanpa perlu disebut-sebut lagi di atas mimbar khutbah.”

Pak Lurah menerima sekantong rupiah yang diulurkan Kang Dul.

“Bau apa ini, Dul?” tanya Pak Lurah.

Dari kantong itu memang menyemburkan aroma tengik khas keringat para kuli bangunan, pemulung, atau kernet bis kota yang pengap karena tak ber-AC.

Kang Dul menjawab malu-malu seperti seorang perawan yang sedang menerima lamaran, “Eh… maaf, Pak Lurah, itu bau keringat saya yang menempel pada kantong itu. Karena rupiah yang ada di dalam kantong itu adalah hasil dari kerja keras saya. rupiah itu adalah buah keringat saya. Sekali lagi mohon maaf, Pak Lurah.”

“Sudahlah… nggak papa. Bagiku yang penting adalah rupiah di dalam kantong ini bisa melunasi utangku. Jadi, bau keringatmu sama sekali tak berarti bagiku.”

Endingnya, kebahagiaan terpancar terang di wajah Kang Dul. Bukan karena Pak Lurah tidak marah sebab bau keringat yang melekat di kantong rupiahnya. Tetapi, Kang Dul bahagia karena ia telah membuat Pak Lurah bahagia. Benar sekali, Pak Lurah bahagia karena utangnya kepada takmir masjid terlunaskan. 1 BMW mewah yang ia idamkan pun akhirnya resmi menjadi milikinya. Keberadaan mobil itu menyempurnakan “kekayaan” Pak Lurah.

Sebelumnya ia telah memiliki berhektar tanah dan sawah, 1 unit usaha perikanan dan peternakan, 2 motor merk Tinja, serta perabot rumah tangga yang serba istimewa merknya. Bahkan, ia juga mengoleksi 25 mesin cuci cap Inem. Semua barang itu semakin melengkapi deretan daftar kekayaan Pak Lurah, walaupun konon semua barang itu sejatinya adalah milik kakek mertuanya Pak Lurah. (Wuaduh...!--editore menjerit biar kelihatan histeris.)

“Dul, boleh aku minta tolong kau lagi.”

“Apa lagi yang bisa saya Bantu, Pak Lurah? Demi harga diri dan kebahagiaan Pak Lurah, apa pun akan saya lakukan.” (wuaduh… Kang Dul wes terhipnotis tenan ki—editor)

“Tapi kau jangan marah, ya!”

“Oh.., tidak, Pak Lurah. Tidak mungkin saya marah. Katakan saja apa yang bisa saya Bantu untuk Pak Lurah.”

“Gini, Dul, di rumahku itu, yang berdiri megah di ujung jembatan ini, sudah banyak barang-barang antik dan pepohonan rindang di sana. Jadi…, BMW-ku sudah nggak pantes aku parkir di sana. Orang-orang nggak bisa melihatnya setiap kali mereka lewat karena terhalang barang-barang antik dan pepohonan rindang itu.”

“Intinya saja, Pak Lurah, saya bingung dengan redaksi Pak Lurah yang muter-muter.” (Wah.., mestinya yang pantes ngomong kayak gini kan editor—editore rodo nesu karena merasa kalimat khasnya direbut oleh Kang Dul)

“Aku nitip marker BMW-ku di atas jembatan ini ya. Hmmm…. Di atas ‘rumahmu’. Tepatnya di atas tempat tinggalmu.”

“Silakan aja, Pak Lurah. Silakan. Monggo," tutur Kang Dul bersahaja, "Alhamdulillah, buah keringatku selama ini bermanfaat. Cukuplah bagiku tidur di kolong jembatan ini dan berpuasa setiap hari, asal Pak Lurah selalu bahagia dan bersyukur dengan “kekayaannya”, dan aku selalu bahagia karena bisa membahagiakannya. Semoga rasa syukurnya dan kesabaranku sama-sama berbuah surga,” lanjut Kang Dul merapalkan doanya sebelum ia memejamkan mata.
****


(Sampai di sini, sang editor bingung tak keruan. Bukan karena bagaimana harus menyunting tulisan tersebut, melainkan karena sang editor bingung harus menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya, daripada pecah kepalanya, sang editor menyimpulkan bahwa yang salah adalah siapa pun yang membaca tulisan ini. Lha wong tulisan salah kok ya dibaca. Hehehe...)

0 comments: