ads
Sunday, February 24, 2008

February 24, 2008
Judul : Orang Kota Mencari Allah
Penulis : Muhammad Muhyidin
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 318 halaman

Kehidupan kota selalu identik dengan materialisme, individualisme, pragmatisme, euforia dan hedonisme. Kehidupan kota adalah potret dari era bendawi dan era duniawi. Kondisi inilah yang kemudian mengakibatkan kegersangan ruhani dan kekosongan spiritual masyarakatnya. Mereka telah kehilangan Tuhan.
Karena itulah, secara beramai-ramai mereka mencoba mencari kepuasan sendiri di luar kepuasan materi dan duniawi. Ya, mereka mencari kepuasan ruhani dan spiritual. Mereka mencari Tuhan. Mereka mencari kesejatian hidup.

Fenomena inilah yang kemudian memunculkan hal-hal yang ?aneh-aneh?; ada yang mendatangi dukun atau paranormal; ada yang melakukan semedi untuk mendapatkan tuhan bagi dirinya sendiri; bahkan ada yang akhirnya menahbiskan diri menjadi nabi, Imam Mahdi, Malaikat Jibril dan sebagainya. Lagi-lagi, semua ini lebih banyak kita dapati di kehidupan kota.

Memang tidak semua masyarakat kota berperilaku demikian, namun setidaknya gambaran itulah yang secara faktual lebih menonjol di sana. Kita bisa menyaksikan, masjid dan mushalla telah kehilangan nyawa. Majelis taklim telah berubah menjadi ajang ngerumpi, arisan, dan forum gede-gedean gengsi. Hanya bedanya, ia lebih dikemas secara lebih islami.

Materialisme, kapitalisme, dan komersialisme tak hanya milik wilayah profan, bahkan wilayah sakral-transendental pun telah terlumeri oleh ketiga penyakit itu. Untuk bisa dekat dengan Tuhan melalui shalat yang khusyuk, misalnya, seseorang harus merogoh kocek dengan nominal ratusan ribu rupiah untuk mengikuti Training Shalat Khusyuk. Pertanyaannya, apakah ada jaminan dengan pelatihan yang berbiaya mahal itu mereka akan bisa shalat khusyuk? Apakah ini juga berarti bahwa orang miskin tidak boleh shalat khusyuk?

Di kota pula kita menemukan badut-badut politik yang menjual nama rakyat demi kepentingan diri mereka sendiri. Bahkan tak segan pula mereka menjual nama Tuhan untuk meraup materi atau meraih hegemoni. Dan masih banyak lagi persoalan yang menunjukkan keringnya spiritualitas dan kejiwaan masyarakat kota.

Persoalan inilah yang kemudian memantik perhatian sekaligus keprihatinan Muhammad Muhyidin. Melalui buku setebal 318 ini, Muhyidin berusaha membantu pembaca, utamanya masyarakat kota, untuk mendapatkan kembali spiritualitas yang mulai hilang dan mengintimkan kembali dengan Tuhan.

--------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di Media Indonesia pada Sabtu, 23 Februari 2008.

0 comments: