ads
Sunday, August 5, 2007

August 05, 2007
Dalam jagat politik, tak akan kita jumpai kawan atau musuh yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan. Ya, kepentingan itulah yang lebih abadi di dalam perpolitikan. Segala kemungkinan bisa terjadi dalam politik. Dahulu kawan, esok menjadi lawan. Atau sebaliknya, dahulu bermusuhan, kini bermesraan.

Adagium ini nampaknya tepat untuk mengisahkan dan menjadi pembenar atas "pertarungan" politik mutakhir antara mantan Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pertarungan itu diawali oleh pernyataan Zaenal Ma'arif tentang pernikahan SBY sebelum masuk Akabri di Magelang. Bahkan disebutkan, perkawinan itu telah membuahkan anak. Kabar yang masih "kabur" ini tentu tak akan memantik perhatian publik apabila pelakunya adalah orang biasa. Tapi, karena ini melibatkan presiden, maka menjadi perbincangan yang luar biasa.

SBY tidak terima dengan pernyataan Zaenal tersebut, dan mengadukan sang penebar isu itu ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Meski dikawal oleh puluhan paspampres dan petugas keamaan lain, SBY datang bukan atas nama pejabat tinggi negara, melainkan pribadi sebagai seorang warga negara.

Akibat pelaporan SBY ini, "pertarungan" justru kian memanas. Zaenal justru agresif dan berang. Mantan Ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) itu melakukan serangan balik dengan mendatangi DPR, MPR, dan institusi lain. Kepada lembaga-lembaga itu, Zaenal menyerahkan bukti yang menurutnya bisa menguatkan tuduhannya kepada SBY.

Di balik ini semua, kita patut prihatin, mengapa negeri ini tak pernah berhenti disuguhi tontonan yang kontraproduktif, ironis, dan memalukan. Aksi politik yang justru mencoreng moreng harkat dan martabat bangsa. Aksi politik yang menegasikan etika dan moral berbangsa.

Tapi, memang begitulah politik (kekuasaan). Dalam politik model ini, nilai etik dan moral bukan lagi menjadi pertimbangan. Yang ada hanyalah kepentingan. Ya, kepentingan itulah yang menjadi "tuhan" bagi para pemburu kuasa. Akibatnya, politik tak lagi berbasis kebangsaan dan kerakyataan, melainkan telah berubah menjadi alat kepentingan dan kekuasaan.

Kita tentu tahu, secara historis, Zaenal dan SBY pernah memiliki hubungan politik yang sama ketika bergulir reformasi, termasuk ketika proses pemilihan presiden, di mana partai Zaenal (PBR) juga memberikan dukungan politik kepada SBY ketika itu. Namun, kini, hubungan itu mendadak terkoyak. Penyebabnya, apalagi kalau bukan kepentingan.

Zaenal memiliki kepentingan ingin mempertahankan posisinya sebagai Wakil Ketua DPR, sedangkan Presiden memiliki kepentingan mengikuti aspirasi partai yang tidak menghendaki lagi pria yang baru saja "dipecat" dari PBR karena poligami itu duduk di kursi atas (Wakil Ketua) DPR.

Sejatinya, apa motivasi Zaenal mengeluarkan pernyataan yang menyangkut wilayah privat itu. Lalu, apa hubungannya dengan presiden kalau semua itu hanya bagian dari dinamika politik yang harus dihadapi dan risiko atas kiprahnya di dunia politik. Dari segi apa pun rasanya patut disesalkan, apalagi simbol penting negara telah dipertaruhkan di dalamnya.

Publik tentu merasa janggal dengan aksi Zaenal ini. Bukankah ia telah mengetahui kabar perkawinan SBY sejak dulu (enam bulan lalu), tapi mengapa baru sekarang diungkapkan secara luas kepada publik. Kalau pun Zaenal baru mengetahui sekarang, mengapa pula ia harus bermain di wilayah privacy untuk mencapai tujuan politik.

Tanpa disadari, aksi ini justru mereduksi simpati publik terhadap Zaenal yang dahulu "dizalimi" partainya sendiri karena Zaenal berpoligami. Sebaliknya, reaksi Presiden pun banyak menuai kritikan dan penyesalan. Pasalnya, memang benar sebagai warga negara Presiden berhak merasa terhina dan melaporkan kasus itu kepada kepolisian, tapi Presiden semestinya tidak perlu menanggapi secara serius isu itu, karena hanya akan membuang energi dan memecah konsentrasi kenegaraannya.

Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa mengingatkan bahwa pemimpin hendaknya lebih peka terhadap persoalan rakyat, tidak terlalu sensitif untuk urusan pribadi. Para tokoh politik, pejabat negara, bahkan masyarakat awam pun hendaknya tidak perlu larut dalam "pertarungan" dua kepentingan itu karena cenderung tidak produktif.

Kini, kasus itu telah dilimpahkan kepada hukum. Jadi, biarlah hukum yang menyelesaikan semuanya. Sebab, bangsa ini masih memerlukan perhatian yang sangat besar untuk persoalan lain yang lebih fundamental dan substansial, utamanya persoalan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Jangan sampai "pertarungan politik" kedua tokoh tersebut diperkeruh atau bahkan ditunggangi oleh orang atau kelompok tertentu untuk menangguk keuntungan. Tak dimungkiri, di dalam setiap konflik politik pastilah akan muncul sekian banyak oportunis (penjilat dan penghasut) yang ikut bermain. Bukan untuk rakyat dan bangsa, tapi untuk kepentingan pribadi.

Di balik keprihatinan kita atas fenomena politik tersebut, senyatanya menyimpan hikmah positif. Misalnya, ketika kasus ini sudah masuk ke ranah hukum, maka saat inilah waktu yang tepat untuk menguji semua instrumen hukum di negeri ini. Apakah akan berpihak, atau tetap akan memperlakukan mereka secara adil sama-sama sebagai warga negara? Kita saksikan saja nanti.

Terlepas dari siapa nanti yang menang dan kalah, benar dan salah, kasus Zaenal- SBY ini mengingatkan kita akan pentingnya sosok clear and clean. Sosok seperti inilah yang mesti diberi ruang untuk menjadi pemimpin sejati, pemimpin panutan bagi negeri ini.

Selain itu, "pertarungan" Zaenal vs SBY ini juga menjadi pelajaran kepada para politisi agar mengedepankan nurani kerakyataan dan membuang jauh-jauh ego serta emosi tak terkendali untuk membela kepentingan pribadi.

-------------------------------------
Tulisan/opini dipublikasikan di Koran Merapi pada Sabtu, 4 Agustus 2007.

0 comments: