ads
Sunday, August 5, 2007

August 05, 2007
Bagi nahdliyyin, sebutan warga NU, 16 Rajab 1428 H yang bertepatan dengan 31 Juli 2007 merupakan hari istimewa. Pasalnya, pada tanggal tersebut NU genap berusia 84 tahun sejak berdirinya pada 16 Rajab 1344 H bertepatan 31 Januari 1926 M. Adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, dan sederet kiai kenamaan lainnya, yang menjadi bidan kelahirannya.

Sebagai sebuah pranata sosial, kiai juga mengalami dinamikanya sendiri. Dulu, hampir semua kiai digolongkan sebagai kiai kultural dan basis kekuatan moral. Namun kini, kemunculan kiai struktural sudah bukan barang asing lagi. Bahkan fenomena mutakhir memperlihatkan, para kiai dan juga gus, secara ‘berjamaah’ berduyun-duyun ke panggung politik praktis.

Dinamika ini melahirkan persepsi baru tentang kekinian para kiai di mata masyarakat. Bagi sebagian kalangan, keterlibatan kiai dalam politik menjadi keniscayaan yang tak harus diperdebatkan. Sebab, menurut mereka ajaran Islam bersifat holistik; bukan sekadar agama, melainkan din wa dawlah (agama dan pemerintahan).

Bagi sebagian kalangan lain, kiai seharusnya tidak masuk ke kubangan politik praktis, dan tetap berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Alasannya, kiai adalah lembaga yang sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, serta menjadi payung semua golongan (rahmatan lil’alamin). Sementara politik bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, tendensius, dan akibatnya mempersempit misi dakwah serta advokasi kiai hanya pada kelompok tertentu, yaitu massa pendukungnya.

Kiai yang berpolitik dikhawatirkan akan terjebak pada logika politik (the logic of politics) memanipulasi masyarakat basisnya demi kepentingan politik sesaat, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki kiai, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.

Pandangan di atas adalah benar, namun tidak sepenuhnya benar. Benar karena pada dasarnya mereka menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia kiai sebagai cultural broker (makelar budaya) dan pencerah umat, tidak terkontaminsi oleh busuknya “comberan” politik.

Namun, tidak pula berarti argumen tersebut menjadi legitimasi ‘pengharaman’ keterlibatan kiai dalam politik praktis. Artinya, hendaknya tidak semua kiai berpolitik. Kalau kiainya sangat ‘lugu’ dan sufistik, serta dipandang lebih bermanfaat bagi masyarakat dengan gerakan ‘politik kultural independen’, alangkah baiknya tetap di dunia pesantren atau menjadi transformator masyarakat dengan semai kesejukannya.

Alhasil, terjun atau tidak ke politik sepenuhnya bergantung pada asas manfaat dan ketahanan diri kiai menghadapi godaan materi dan hegemoni. Apakah keberadaannya dalam peran-peran politik dapat menciptakan harmoni yang dinamis dan keberpihakan kepada kepentingan universal, ataukah justru menciptakan disharmoni yang statis dan keberpihakan kelompok (partai) atau bahkan peneguhan kepentingan pribadi?

Bagi kiai yang memiliki pesantren atau aktivitas jamaah rutin, kesibukan baru di politik membawa konsekuensi berkurangnya waktu dan konsentrasi. Dunia politik memang menghipnotis siapa saja yang hobi berpolitik: pengusaha, agamawan, mahasiswa, juga kiai. Pesona politik terkadang membuat seseorang kehilangan idealismenya. Dulu, karena ke-zuhud-an dan ke-wira’i-an, seorang kiai berani menolak bahkan ‘mengharamkan’ dirinya bersentuhan dengan politik. Namun, kini, para elite agama Islam itu justru menceburkan diri dalam gesekan-gesekan dengan sesama elite Islam untuk sebuah kepentingan: politik (kekuasaan).

Bahkan sekarang, politik kerap pula dipersepsikan sebagai bisnis yang tidak memerlukan investasi besar, tapi bisa menangguk keuntungan yang berlipat. Menurut (teman) Kang Tohari (Republika, 30 April 2007), perilaku politik para kyai tidak bisa lagi hanya dibaca sebagai artikulasi semangat Nahdlatul Wathan (kebangkitan semangat nasionalisme), melainkan sudah sarat dengan kepentingan lain. Setidaknya ada dua masalah yang mendasari gejala perilaku politik para kiai saat ini. Yaitu, ketertinggalan keluarga kiai di bidang pendidikan umum dan dalam hal mengakses jalur-jalur ekonomi.

Ketertinggalan pendidikan umum membuat mereka tidak punya banyak pilihan untuk berkarier. Profesi di bidang teknik, manajemen, pendidikan, kemiliteran, kedokteran, hampir-hampir tak ada peluang. Pilihan mereka hanya jadi penerus kekiaian, dosen (?) atau guru agama, dan yang semacamnya. Atau jalur politik!

Sementara itu ketertinggalan dalam mengakses jalur ekonomi membuat banyak pesantren mengalami kesulitan menutup biaya operasional yang terus meningkat. Hal ini diperparah dengan sikap apatis pemerintah terhadap kesulitan yang dihadapi pesantren. Tak heran, para pemangku pesantren kemudian menghadapi dilema; membiarkan pesantren merana atau mencari sumber dana baru. Jika yang kedua menjadi pilihan, maka jalur politik adalah peluangnya.

Sebagai masyarakat awam, kita hanya bisa husnu zhan (positive thinking) bahwa apa yang dilakukan para elit agama Islam ini bertujuan menunaikan tri-tanggung jawab kekiaian; tanggung jawab keagamaan, keumatan, dan kebangsaan. Untuk tanggung jawab ketiga, sering diejawantahkan melalui gerakan politik praktis.

Sayangnya, realitas empiris selalu menunjukkan fakta yang berbeda. Kiai yang berpolitik praktis sekalipun memiliki niat baik-bersih akan menghadapi situasi "betapa brengseknya politik di Indonesia ". Begitu kotornya politik di Indonesia sehingga sulit dibersihkan hanya dengan seperangkat niat dan teori untuk membuatnya lebih bermoral dan mengarahkan orientasinya untuk kepentingan kesejahteraan universal (Koirudin: 2005).

Sebagai pungkasan, kiai (juga gus) hendaknya mempertimbangkan beberapa prasyarat penting sebelum memutuskan ‘berselingkuh’ dengan politik. Prasyarat itu adalah kompetensi personal yang meliputi integritas moral dan kemampuan memainkan politik secara santun, kompetensi profesional yang berpijak pada the right man on the right place (job) atau sabda Nabi: "jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancuran", serta stabilitas dan konsistensi kiai sebagai makelar budaya (cultural broker) dan pencerah umat.

Semoga Harlah NU ke-84 ini bisa menjadi momentum “kebangkitan” gerakan kultural untuk memberikan pelayanan optimal tidak hanya kepada komunitasnya tetapi juga kepada bangsa ini sebagaimana diamanatkan Khittah 1926.

------------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di harian sore Wawasan pada Sabtu, 4 Agustus 2007.

0 comments: