ads
Friday, March 29, 2019

March 29, 2019
2

Salah satu sumber kemuliaan manusia adalah tawadhu’. Ia tidak hanya tertanam dalam hati, tetapi memancar pula dalam sikap, tingkah laku, dan tutur kata.
Para ulama mendefinisikan tawadhu’ dalam dua pengertian. Pertama, merendahkan hati dengan bersikap ramah dan lembut kepada orang lain. Dalam pengertian ini seorang yang tawadhu’ tidak akan pernah memandang rendah dan hina siapa pun. Bak ilmu padi, semakin berisi justru semakin merunduk.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpetuah, sebagaimana disitir oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nasha’ihul Ibad, “Jika bertemu seseorang, hendaklah engkau memandang orang tersebut lebih utama daripada dirimu. Katakan dalam hatimu, ‘Boleh jadi dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah daripada aku.’”
Suatu hari Zaid bin Tsabit mengendarai unta. Melihat kedatangan sang alim penghimpun Alquran, Ibnu Abbas buru-buru memegang tali kekang unta Zaid bin Tsabit lalu menuntunnya. “Beginilah kami disuruh Nabi dalam memperlakukan ulama,” kata Ibnu Abbas.
Mendapat penghormatan demikian, Zaid bin Tsabit segera turun dari untanya lalu mencium tangan Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah, seraya berkata, “Beginilah kami disuruh memperlakukan keluarga Nabi.”
Pengertian kedua dari tawadhu’ adalah tunduk dan menerima kebenaran dari siapa pun. Kata Fudhail bin Iyadh, “Tawadhu’ adalah seseorang tunduk kepada kebenaran, patuh dan menerimanya meski kebenaran itu datang dari anak kecil atau orang yang bodoh.” Untuk bisa menerima kebenaran dari siapa pun tidaklah mudah. Dibutuhkan kejujuran, keobjektifan, dan kelapangan hati. Karena itulah Sayyidina Ali bin Abi Thalib mewejang: “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”
Berbeda dengan orang yang tawadhu’, seseorang yang sombong (takabur) tidak pernah mau menerima kebenaran dari siapa pun, terlebih dari orang yang dianggapnya lebih rendah. Seorang yang sombong juga anti terkadap kritik, gengsi jika dikoreksi, dan tidak mau mendengar nasihat.
Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat dzarrah (debu, atom, atau biji sawi).” Seorang sahabat lalu berkata, “Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan alas kakinya baik (apakah ini termasuk sombong?)” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim)
Semoga kita dijauhkan dari segala kesombongan. Aamiin.

*) Tulisan ini dipublikasikan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat pada Jumat Pon, 29 Maret 2019, halaman 12.

2 comments:

ASTraveller said...

Salam kunjungan dan follow :)

Irham Sya'roni said...

@ASTraveller: terima kasih kunjungannya