ads
Thursday, February 7, 2019

February 07, 2019
2



عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (رواه البخاري ومسلم)
 وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada sumber darinya maka tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[1] Dalam riwayat Muslim[2] disebutkan: “Siapa yang melakukan suatu amalan yang bukan urusan (agama) kami maka tertolak.”

Ummul Mukminin
Ummul Mukminin (ibu orang-orang beriman) adalah gelar kehormatan bagi para istri Rasulullah. Bentuk jamaknya adalah ummahatul mukminin. Disebut ibu orang-orang beriman karena kedudukan mereka layaknya seorang ibu; harus dihormati, dimuliakan, dan haram dinikahi oleh siapa pun setelah Rasulullah.

Ummu Abdillah
Sayyidah Aisyah memang tidak memiliki keturunan. Akan tetapi, Rasulullah tetap memberinya kun-yah[3] Ummu Abdillah. Kata “Abdillah” diambil dari nama keponakan Sayyidah Aisyah, yaitu Abdullah bin Zubair bin Awam.[4]

Sayyidah Aisyah
Ayah Aisyah bernama Abu Bakar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir al-Kinaniyah. Aisyah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi dalam keadaan perawan. Ia tidak hanya cantik, tetapi juga cerdas dan ahli ilmu serta berakhlak mulia.
Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan, sebelum Rasulullah menikahi Aisyah, Jibril memperlihatkan kepada Rasulullah gambar Aisyah yang terdapat dalam secarik kain sutra berwarna hijau sembari berkata, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.”

Pengertian Bid’ah
Tema utama hadits ini adalah tentang muhdatsah, atau sering disebut juga dengan bid’ah. Kedua kata tersebut secara bahasa berarti perkara baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Bid’ah secara bahasa dapat dibedakan menjadi bid’ah hasanah (baik/positif) dan bid’ah sayyiah (buruk/negatif).
Adapun secara syariat, pengertian bid’ah ialah perkara baru dalam agama yang tidak memiliki dasar syar’i atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’i (baik dalil khusus maupun dalil umum).
Berangkat dari pengertian itulah Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Bid‘ah adalah perkara baru yang tidak memiliki dalil syariat. Adapun perkara baru yang memiliki sumber syariat sebagai dalilnya, maka tidak termasuk bid‘ah secara syariat. Ia hanya bisa disebut sebagai bid‘ah secara bahasa.”
Pandangan Ibnu Rajab tersebut seiya sekata dengan penjelasan Imam Syafi’i, yang menyebutkan bahwa muhdatsah (perkara baru) itu dibagi menjadi dua.

  1. Perkara baru yang bertentangan dengan Alquran, Sunnah Rasul, atsar (perkataan atau perbuatan) para sahabat, atau ijma’ (kesepakatan ulama). Inilah yang dimaksud dengan bid‘ah dhalalah (sesat).
  2. Perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum agama, maka ia termasuk muhdatsah ghairu madzmumah (perkara baru yang tidak tercela).
Muhdatsah ghairu madzmumah secara majaz sering diistilahkan dengan bid’ah hasanah (perkara baru yang baik). Secara hakikat, bid’ah hasanah bukanlah bid’ah (yang sesat) sebagaimana disabdakan oleh Nabi “kullu bid’atin dhalalah”.

Pembagian bid’ah dan kontroversi/ikhtilaf yang melingkupinya dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut.


Apakah Bid’ah Itu Hukum Syariat?
Para ulama membagi hukum syariat (taklifiyah) menjadi lima macam, yaitu wajib, sunnah/mandub, haram, makruh, dan mubah. Tidak ada jenis keenam bertajuk “bid’ah” dalam pembagian itu.
Dengan demikian, pada hakikatnya bid’ah bukanlah hukum syariat, melainkan suatu sifat yang terikat dengan hukum syariat. Karena itulah ketika menyebut bid’ah terhadap suatu perkara, tidak bisa kita hanya memvonisnya bid’ah tanpa menelusuri status hukumnya secara syar’i.

Tiga Syarat Memvonis Bid’ah
Hadits di atas bisa dijadikan sebagai rumus sederhana untuk menetapkan suatu perkara terkategorikan bid’ah (dhalalah/sesat) atau tidak. Berdasarkan hadits di atas, sesuatu bisa dikategorikan bid’ah yang sesat manakala memenuhi tiga syarat berikut. Ketiga syarat ini harus terpenuhi semuanya.
  1. Perkara baru.
  2. Dalam agama.
  3. Tidak memiliki dalil syar’i atau bertentangan dengan syariat.



Jika diurai, ketiga syarat tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
  1. Perkara baru yang bukan masalah agama maka tidak termasuk bid’ah. Misalnya, alat transportasi dan komunikasi yang semakin canggih.
  2. Perkara baru dalam agama, tetapi tidak memiliki dalil syar’i atau bertentangan dengan syariat, maka inilah yang termasuk bid’ah. Misalnya, shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab.
  3. Perkara baru dalam agama namun memiliki dalil syar’i (baik dalil umum maupun atau dalil khusus) atau tidak bertentangan dengan syariat, maka ia tidak termasuk bid’ah. Misalnya, tahlilan (membaca tahlil), yasinan (membaca surah Yasin), dan peringatan maulid Nabi.



Kesimpulan
Term bid’ah masih menjadi perdebatan ulama dari beragam kelompok dan kalangan dari masa ke masa. Catatan ini terlalu singkat untuk menguraikannya secara tuntas. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang baru bisa dikategorikan bid’ah dhalalah apabila merupakan perkara agama dan bertentangan dengan syariat. Karena itu, kata bid’ah tidak bisa berdiri sendiri tanpa dihubungkan kaidah-kaidah hukum syar’i.
Banyak amalan dan tradisi umat Islam yang divonis bid’ah dhalalah oleh saudara muslim lain karena dianggap tidak memiliki dalil khusus dan kuat. Mereka lupa bahwa dalil tidak hanya bersifat khusus, tetapi ada pula yang bersifat umum. Dan dalil umum ini cukup dan sah untuk dijadikan payung hukum atas suatu amalan atau tradisi.

Referensi
Ibnu Hajar al-Haitami, 2011, al-Fathu al-Mubin bi Syarhi al-Arbain, Cet. II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Isnan Ansory, 2018, Bid’ah Apakah Hukum Syariah?, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
Muhammad al-Khidhr, 1413/2010, Mausu’ah al-A’mal al-Kamilah, Syiria: Dar an-Nawadir.
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2012, Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Surabaya: Khalista.



[1] HR. al-Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.
[2] HR. Muslim no. 1718.
[3] Kun-yah ialah nama yang diawali dengan kata Abu, Ummu, dan sejenisnya.
[4] Zubair bin Awam adalah suami Asma’ binti Abu Bakar. Adapun Asma’ adalah saudara Aisyah, tetapi beda ibu.

2 comments:

Andie said...

Setuju mas, dengan rumusan point pertama: Perkara baru yang bukan masalah agama maka tidak termasuk bid’ah.

Terus point ketiga, contoh yang diambil seperti: tahlilan (membaca tahlil), yasinan (membaca surah Yasin), dan peringatan maulid Nabi.

Bukannya contoh-contoh tersebut termasuk ibadah mas?

Irham Sya'roni said...

@Andie: benar, Mas. Termasuk perkara agama namun memiliki dalil syar’i (baik dalil umum maupun atau dalil khusus) atau tidak bertentangan dengan syariat.