ads
Tuesday, January 8, 2019

January 08, 2019

Koleksi Pribadi. Tidak untuk dijual.
Judul : Filosof Juga Manusia
Penulis : Fahruddin Faiz
Penerbit : MJS Press, Yogyakarta
Cetakan : II, November 2018
Tebal : x + 202 halaman
ISBN  : 978-602-74625-0-2


Tidak sedikit orang yang menganggap filsafat itu menyesatkan dan membahayakan. Dinilai menyesatkan karena filsafat dituding mendewakan akal dan menegasikan Sang Yang Maha Penggenggam pengetahuan. Didakwa membahayakan karena karakter filsafat memang merangsang manusia agar selalu mengkritisi dan melakukan uji ulang. Tersebab itulah filsafat dicurigai merusak “tatanan”, “kenyamanan”, dan “kemapanan”. Dalam pandangan ini, filsafat seolah disejajarkan dengan bisikan setan, dan para pemangkunya dibayangkan seperti makhluk yang menyeramkan.
Kalangan lain memandang filsafat bak kalam kudus yang keluar dari mulut suci sang filsuf. Bagi kalangan ini, filsuf bagaikan malaikat langit yang nircela. Sementara kalangan ketiga memandang filsuf sebagai manusia biasa yang tan-kalis dari salah dan dosa. Ia bukan makhluk nirmala, bukan pula makhluk yang seluruh hidupnya penuh cela. Filsuf adalah manusia biasa yang kadang berbuat benar, kadang pula salah.
Sebagaimana diakui penulisnya, buku ini bukanlah buku sejarah, melainkan sekadar kumpulan catatan kecil yang memuat sisi-sisi manusiawi para filsuf yang meliputi: kehidupan ekonomi, cinta dan seksualitas, kekeliruan konsep, akhir hidup yang mengenaskan, dan sisi-sisi unik lainnya. Bahkan, beberapa di antaranya justru membongkar aib mereka. (hlm. vi-vii)
Diogenes (412-323 SM), misalnya, karena kemelaratannya acap kali ia harus mengemis atau bahkan mencuri makanan untuk mempertahankan hidupnya. Saat ditanya mengapa mengemis, sang pendiri paham sinisme ini berapologi, “Untuk mengajarkan manusia bagaimana seharusnya mereka membelanjakan harta.” (hlm. 147-148). Fragmen kemiskinan juga dilakonkan Karl Marx (1818-1883), sang filsuf ekonomi kelahiran Prussia (sekarang Jerman). Penulis Das Kapital ini hidup dalam kondisi sangat miskin, khususnya saat usia tua. Untuk membiayai hidup dan keluarganya, Marx dibantu temannya, Friedrich Engels, anak seorang pengusaha tekstil yang kaya raya. Hal ini menjadi ironi bagi Das Kapital yang selalu mengkritik sistem ekonomi kapitalis. (hlm. 114)
Filsuf juga memiliki berahi untuk bercinta dan dorongan untuk memuaskan hasrat seksualnya. Friedrich Nietzsche (1844-1900), misalnya, ia pernah terlibat dalam cinta segitiga dengan Lou Salome dan Paul Ree, walaupun akhirnya gagal semua (hlm. 93). Perselingkuhan Friedrich Hegel (1770-1831) dengan Christina Burkhardtin bahkan membuahkan anak lelaki, yang kemudian tumbuh menjadi tentara kolonial Belanda dan meninggal di Batavia (hlm. 134). Percintaan terlarang juga diperlihatkan Jean-Paul Satre (1905-1980), sang playboy yang seumur hidupnya tidak pernah memiliki pasangan hidup yang sah dan tidak pernah memiliki rumah yang tetap (hlm. 70).
Kehidupan seksual berbeda juga dilakonkan Michel Foucault (1926-1984), filsuf Prancis pelaku homoseksual dan pecandu obat-obatan terlarang. Foucault muda bahkan sempat depresi berat dan beberapa kali mencoba bunuh diri (hlm. 97-98). Kelainan seksual lain dipertontonkan JJ. Rousseau (1712-1778), filsus Prancis yang ekshibisionis. Ketika bisa mempertontonkan pantatnya kepada para perempuan, di situlah Rousseau mendapatkan sensasi seksualnya (hlm. 73). Kepuasan seksual didapatkan juga oleh Diogenes ketika melakukan masturbasi di ruang terbuka. Saat orang-orang memprotes perilakunya, Diogenes menjawab datar, “Kalau aku bisa menghilangkan rasa laparku dengan menggosok-gosok perutku, tentu aku pun akan melakukannya.” (hlm. 144)
Buku ini bisa menjadi penghilang penat dan pengusir jenuh di tengah jejalan teori dan konsep kefilsafatan yang menyesaki kepala. Hampir semua tokoh filsafat yang diangkat buku ini adalah para filsuf Barat, kecuali Mahatma Gandhi (hlm. 100-104), filsuf India yang takut gelap, yang namanya ikut terselip di dalam buku ini.

0 comments: