ads
Monday, November 19, 2018

November 19, 2018


Bullying telah ada sejak peradaban manusia, namun istilah tersebut baru mencuat seiring dengan intensitas penelitian terhadap masalah perundungan pada 1970-an oleh Dan Olweus, pionir sekaligus founding father penelitian tentang bullying.
Oleh Olweus, perundungan diartikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat kepada yang lebih lemah secara repetitif, disengaja, dan bertujuan untuk menyakiti atau melemahkan orang lain baik secara fisik maupun mental.
Perundungan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja dengan beragam bentuknya, baik secara fisik, verbal, sosial, mental, maupun maya (cyber bullying). Tidak terkecuali sekolah, bisa menjadi tempat terjadinya perundungan.
Patut disyukuri bahwa bentuk-bentuk perpeloncoan tidak lagi memiliki ruang di lembaga pendidikan. Namun, berdasarkan penelitian yang saya lakukan di beberapa sekolah, ternyata praktik-praktik perundungan tetap ada walaupun dalam skala kecil dan bentuk yang dianggap “sederhana”. Kebanyakan berupa perundungan verbal, semisal ejekan, panggilan/julukan yang tidak menyenangkan, dan hinaan.
Sebagian kita (untuk tidak menyebut kebanyakan) mungkin menganggap perundungan verbal adalah hal biasa, sederhana, dan alamiah dalam kehidupan sosial anak. Kita baru menganggapnya serius manakala perundungan itu berbentuk kekerasan fisik. Padahal jika dicermati, baik perundungan fisik maupun verbal, keduanya sama-sama berdampak kontraproduktif bagi perkembangan pendidikan anak. Victim (korban) akan menjadi terhambat dalam mengaktualisasi diri dan bersosialisasi, terintimidasi, rendah diri, merasa tidak berharga, dan sulit berkonsentrasi dalam belajar.
Merujuk pada teori social learning-nya Albert Bandura, apabila perundungan selalu dianggap sederhana dan mendapat penguatan, maka perilaku tersebut akan cenderung diulang, bahkan diikuti oleh pelaku-pelaku baru. Dalam hal ini, sekolah dituntut komitmennya untuk menjadi teladan dalam menolak segala perilaku perundungan.
Sementara bila merujuk pada teori kriminologi bahwa terjadinya perundungan salah satunya disebabkan oleh low self-control (kontrol diri yang rendah), maka untuk mengatasinya diperlukan inovasi program-program sekolah yang bertujuan meningkatkan kendali diri. Peserta didik harus disadarkan bahwa perundungan itu berbahaya dan berdampak buruk.
Terjadinya perundungan bisa pula karena dipicu problem psikologis si pelaku. Dalam hal ini kita bisa meminjam teori frustasi-agresi-nya Dollard dan koleganya, yang menyatakan bahwa agresivitas terjadi sebagai respon terhadap frustrasi. Dengan perspektif ini, bisa dibilang bahwa agresi merupakan pelampiasan dari rasa frustasi dan instabilitas emosi. Jika ini yang terjadi, sekolah harus melakukan evaluasi; sudahkah sekolah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi peserta didik. Bukan tempat yang menegangkan, apalagi menakutkan.
Sebagai pusat menumbuhkembangkan potensi peserta didik menjadi makhluk individu, sosial, susila, dan religius, sekolah memang memiliki tanggung jawab besar untuk menghentikan segala praktik perundungan. Namun, tanggung jawab ini tidak bisa dilakukan sendiri tanpa support network dari seluruh stakeholder pendidikan.
Saatnya seluruh komponen pendidikan bersinergi menolak segala bentuk perundungan!

*) Dipublikasikan di koran Republika pada Senin, 19 November 2018, halaman 27.

0 comments: