"Kenapa mukamu lecek
begitu, Dul, kayak baju yang ndak pernah disetrika?" tanya Mbah Sabdo.
"Saya lagi galau bin stres, Mbah," jawabku sambil menerawang ke langit lepas.
"Kenapa stres?"
"Ini masalah Tuhan, Mbah."
"Ada apa dengan Tuhan?"
"Terpaksa saya harus jujur nih, Mbah. Jujur atas kebencian saya kepada Tuhan," ungkapku kesal.
"Lhoo... Lhoo... Kok jadi stres beneran kamu! Ayo, bilang kepada Simbah, ada masalah apa."
"Saya sudah berdoa siang-malam, tapi tidak memberikan apa pun yang aku minta. Aku minta istri, ee sampai sekarang tidak diberi. Aku minta kaya, ee sampai sekarang tetap saja kere," terangku.
"Siapa bilang kamu tidak diberi, Dul? Sebetulnya kamu itu sedang diberi pemberian yang sangat istimewa dari Tuhanmu. Pemberian yang belum tentu diberikan kepada orang lain," sanggah Mbah Sabdo.
"Pemberian apa, Mbah?" tanyaku, penasaran.
"Dalam kesempitanmu sekarang ini sebetulnya Tuhan sedang memberimu kesempatan. Kesempatan untuk makin intim dengan-Nya. Kesempatan untuk mewujudkan cintamu kepada-Nya. Dan, kesempatan-kesempatan lain yg sering tidak kamu pahami. Dia menghijabmu dari memberimu istri dan membuatmu kaya, agar engkau tidak terhijab untuk bermesraan dengan-Nya. Jika engkau memahami ini, aku yakin engkau akan sangat bersyukur. Bersyukur bisa bermesraan secara total dengan-Nya. Sayangnya, kamu tidak pernah memahami itu sehingga kesempitan selalu kausikapi dengan stres dan galau."
Usai mengkhotbahi aku, Mbah Sabdo berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku pun kembali sendiri di lincak depan rumah, di pinggir sawah, di bawah pohon pepaya. Bukan untuk merutuki Tuhan, melainkan merenungkan kata-kata Mbah Sabdo yang bagiku sungguh menggetarkan.
"Saya lagi galau bin stres, Mbah," jawabku sambil menerawang ke langit lepas.
"Kenapa stres?"
"Ini masalah Tuhan, Mbah."
"Ada apa dengan Tuhan?"
"Terpaksa saya harus jujur nih, Mbah. Jujur atas kebencian saya kepada Tuhan," ungkapku kesal.
"Lhoo... Lhoo... Kok jadi stres beneran kamu! Ayo, bilang kepada Simbah, ada masalah apa."
"Saya sudah berdoa siang-malam, tapi tidak memberikan apa pun yang aku minta. Aku minta istri, ee sampai sekarang tidak diberi. Aku minta kaya, ee sampai sekarang tetap saja kere," terangku.
"Siapa bilang kamu tidak diberi, Dul? Sebetulnya kamu itu sedang diberi pemberian yang sangat istimewa dari Tuhanmu. Pemberian yang belum tentu diberikan kepada orang lain," sanggah Mbah Sabdo.
"Pemberian apa, Mbah?" tanyaku, penasaran.
"Dalam kesempitanmu sekarang ini sebetulnya Tuhan sedang memberimu kesempatan. Kesempatan untuk makin intim dengan-Nya. Kesempatan untuk mewujudkan cintamu kepada-Nya. Dan, kesempatan-kesempatan lain yg sering tidak kamu pahami. Dia menghijabmu dari memberimu istri dan membuatmu kaya, agar engkau tidak terhijab untuk bermesraan dengan-Nya. Jika engkau memahami ini, aku yakin engkau akan sangat bersyukur. Bersyukur bisa bermesraan secara total dengan-Nya. Sayangnya, kamu tidak pernah memahami itu sehingga kesempitan selalu kausikapi dengan stres dan galau."
Usai mengkhotbahi aku, Mbah Sabdo berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku pun kembali sendiri di lincak depan rumah, di pinggir sawah, di bawah pohon pepaya. Bukan untuk merutuki Tuhan, melainkan merenungkan kata-kata Mbah Sabdo yang bagiku sungguh menggetarkan.
"Nuwun, Mbah,"
ucapku lembut dalam hati.
0 comments:
Post a Comment