"Sampeyan pernah menunda mewujudkan permintaan
anakmu, Dul?" tanya Mbah Sabdo.
"Pernah, Mbah. Waktu anak saya minta dibelikan baju, aku tidak mewujudkannya."
"Mengapa?"
"Karena baju yang diminta anak saya itu kekecilan dan kualitasnya pun nggak bagus. Saya bilang ke anak saya, 'Jangan beli yang ini, Nak. Bapak berjanji besok akan membelikanmu yang pas dan jauh lebih bagus. Tapi, tidak saat in, juga tidak di sini."
"Anakmu lantas diam mengikuti ucapanmu?"
"Tidak, Mbah. Dia tidak percaya dengan janjiku. Dia terus merengek dan memaksaku membelikan baju yang kekecilan dan kualitasnya jelek itu. Ya sudah, akhirnya aku belikan, yang penting dia diam. Aku pun nggak jadi membelikannya yang lebih bagus lagi. Coba dia mau bersabar sejenak dan percaya ucapanku, pasti akan aku belikan yang lebih bagus lagi."
"Hehehehhee..." Mbah Sabdo terkekeh.
"Lho, kenapa ditertawakan, Mbah?"
"Ndak papa, Dul. Aku cuma tertawa, ternyata perilaku anakmu saat merengek kepadamu sama seperti perilakumu saat merengek minta ini-itu kepada Tuhanmu. Kamu ndak percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan semua doamu dengan pengabulan yang lebih baik. Kamu ndak percaya dan ndak sabar. Kamu lalu memaksa Tuhanmu mengabulkan doamu saat ini dan di tempat ini. Akhirnya, doamu dikabulkan sekarang, tapi sekadarnya saja, padahal Dia punya janji atau rencana yang lebih baik lagi untukmu kelak. Sayangnya, kamu ndak sabar dan ndak percaya janji-Nya itu. Hehehe..."
Klakepppp! Aku diam seribu bahasa sambil menggemeretakkan semua gigi.
"Pernah, Mbah. Waktu anak saya minta dibelikan baju, aku tidak mewujudkannya."
"Mengapa?"
"Karena baju yang diminta anak saya itu kekecilan dan kualitasnya pun nggak bagus. Saya bilang ke anak saya, 'Jangan beli yang ini, Nak. Bapak berjanji besok akan membelikanmu yang pas dan jauh lebih bagus. Tapi, tidak saat in, juga tidak di sini."
"Anakmu lantas diam mengikuti ucapanmu?"
"Tidak, Mbah. Dia tidak percaya dengan janjiku. Dia terus merengek dan memaksaku membelikan baju yang kekecilan dan kualitasnya jelek itu. Ya sudah, akhirnya aku belikan, yang penting dia diam. Aku pun nggak jadi membelikannya yang lebih bagus lagi. Coba dia mau bersabar sejenak dan percaya ucapanku, pasti akan aku belikan yang lebih bagus lagi."
"Hehehehhee..." Mbah Sabdo terkekeh.
"Lho, kenapa ditertawakan, Mbah?"
"Ndak papa, Dul. Aku cuma tertawa, ternyata perilaku anakmu saat merengek kepadamu sama seperti perilakumu saat merengek minta ini-itu kepada Tuhanmu. Kamu ndak percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan semua doamu dengan pengabulan yang lebih baik. Kamu ndak percaya dan ndak sabar. Kamu lalu memaksa Tuhanmu mengabulkan doamu saat ini dan di tempat ini. Akhirnya, doamu dikabulkan sekarang, tapi sekadarnya saja, padahal Dia punya janji atau rencana yang lebih baik lagi untukmu kelak. Sayangnya, kamu ndak sabar dan ndak percaya janji-Nya itu. Hehehe..."
Klakepppp! Aku diam seribu bahasa sambil menggemeretakkan semua gigi.
6 comments:
Jadi ingat perkataan Syekh Ibnu Atho'illah dalam Hikam (hikmah ke-6).
* Sekadar tanya, itu kata Sampeyan kenapa dimiringkan, ya?
Cerita sederhana namun sarat makna di atas saya dapat dari beliau (almarhum walmaghfurlah) Gus Wahid Zuhdi.
* Karena bukan bahasa Indonesia, Mas.
Sama berarti, Saya juga mendengar kalam hikmah tersebut dari beliau.
* Di KBBI ada lema sampean (tanpa huruf y).
Oh, iya, ya. Saya malah baru ngeh sekarang, ternyata lema sampean masuk dalam KBBI. Ada juga kidul dan kulon. Tapi, mengapa wetan dan lor tidak ada, ya?
Hmmm... kalau sampean resmi masuk dalam KBBI, berarti kemiringan tulisan sampeyan bisa dibenarkan karena menyalahi ejaan yang baku, ya, Mas. :))
He-he-he, mungkin karena kita sudah lama mengenal Legenda Nyi Roro Kidul dan Taman Nasional Ujung Kulon. Jadi dua kata itu yang "dipaksa" masuk ke dalam KBBI.
Bisa juga :)
Sepertinya, kata "lor" dan "wetan" juga harus dipaksakan masuk KBBI nih, Mas. Mengacu kepada sosok yang tidak kalah tenar, yaitu Pangeran Sabrang Lor dan Pangeran Sabrang Wetan. Hehehe... :)) Sayangnya, kita tidak mempunyai hak untuk ikut-ikutan memaksa, ya. :)
Post a Comment