“Malas,
Mbah. Capek! Shalat atau tidak shalat itu tidak ada pengaruhnya!” jawabku.
“Lhoo…
Lhoo… kamu kok bisa berkata begitu?!”
“Buktinya,
dulu waktu aku rajin shalat, berdzikir, atau baca al-Qur’an, Tuhan tidak pernah
seketika menjatuhkan pahala-Nya kepadaku. Begitu juga sebaliknya, waktu aku putuskan
untuk tidak lagi rajin shalat, berdzikir, atau baca al-Qur’an, ternyata Dia juga
tidak menjatuhkan siksa kepadaku.”
Mbah Sabdo lalu meraih pundakku. Merangkulku.
“Apa
kamu tidak merasa kalau Tuhan saat ini sedang menyiksamu?”
Seketika
aku tergelak. Tawaku pecah tak keruan.
“Wah,
sampeyan sedang ngigau, ya, Mbah? Lha wong saya sehat dan kuat begini kok
dibilang sedang disiksa Tuhan. Hahaha…”
“Perhatikan
lebih dalam lagi dirimu. Sebetulnya Tuhan sedang menyiksamu, tetapi kamu tidak
merasakannya?”
Aku
mulai terdiam. Berpikir keras. Tidak lagi mengumbar tawa seperti sebelumnya.
“Serius,
aku tidak merasakan apa-apa, Mbah. Aku tidak merasakan siksa sekecil apa pun
dari Tuhan.”
“Coba
perhatikan lebih dalam lagi dirimu, lalau rasakan!” ucap Mbah Sabdo, “Apakah kamu
masih merasakan lezatnya shalat, sejuknya berdzikir, dan manisnya bermunajat
kepada Tuhan?”
Aku
geleng kepala.
“Apa
kamu merasakan luasnya hatimu dan tenangnya pikiranmu?”
Lagi-lagi
aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Itu
artinya, Tuhan sedang menyiksamu,”tegas Mbah Sabdo, “Dia menghukummu dengan cara
yang tidak engkau sadari. Dia menjauhimu sehingga hilanglah rasa lezat dalam ibadahmu.
Shalatmu, dzikirmu, munajatmu, dan tadarusmu, semuanya hampa. Tidak lagi berasa.”
Tuturan
Mbah Sabdo seketika membuat tulang-tulangku lunglai. Tubuhku pun akhirnya roboh
menjadi bangkai. Astaghfirullah wa atubu ilaih.
0 comments:
Post a Comment