Namanya
Suparman. Sepulang dari nyantri di beberapa pondok pesantren, dia aktif mulang
ngaji di surau di tetangga desa kami.
Siang itu,
ketika aku melintas di dekat surau, aku dengar Kiai Parman memberi pengajian:
"Poro rawuh, mangertoso bilih sholat niku mboten mawi rukuk lan sujud.
[Hadirin, ketahuilah bahwa dalam shalat itu tidak ada rukuk dan sujud]."
Mendengar
ceramah itu seketika aku tercekat. Wajahku sontak memerah karena marah.
Cepat-cepat aku kumpulkan warga untuk menghentikan paksa pengajian sesat dan
menyesatkan itu.
"Allaahu
akbar...! Allaahu akbar...!" teriakku bersama warga.
Belum sampai di
surau, Mbah Sabdo sudah lebih dulu menghentikan langkah tegap kami.
"Weleehhh,
ada apa ini, Dul, kok kamu bawa warga segitu banyaknya? Mau latihan lomba
takbir, ya? Lebaran kan sudah lewat. Idul Adha juga masih 2 bulan lagi," ucap
Mbah Sabdo.
"Kami mau
membubarkan paksa pengajian Kiai Parman, Mbah. Dia itu kiai sesat dan mengajarkan kesesatan,"
terangku.
"Sesat
bagaimana maksudmu?"
"Tadi aku
dengar Kiai Parman mengajarkan bahwa shalat itu tidak boleh ada gerakan rukuk dan
sujud. Ini kan jelas-jelas sesat tho, Mbah?!"
"Kamu sudah
tabayun alias klarifikasi kepada Kiai Parman tentang isi ceramahnya itu?"
"Ndak perlu
tabayun segala, Mbah. Sudah jelas-jelas sesat begitu, buat apa kita kasih
hati."
"Pokoknya
harus tabayun dulu! Ndak boleh seenak udelmu asal menghakimi dan menghukum
orang lain seperti itu!"
Akhirnya, aku
ikuti Mbah Sabdo untuk tabayun kepada Kiai Parman.
"Mbah
Sabdo, Kang Ngabdul, dan saudara-saudara yang saya hormati," Kiai Parman
memulai uraian klarifikasinya, "Saya tadi memang menjelaskan kepada jamaah
bahwa shalat itu tidak boleh ada gerakan rukuk dan sujud. Tapi, ceramah saya tadi itu
tentang Shalat Jenazah. Jadi, apa yang salah dengan ceramah saya?"
"Nah, Dul,
makanya biasakan tabayun dulu! Jangan keburu emosi!" tutur Mbah Sabdo.
Mak-klipukkkk...
seketika kepalaku tertunduk. Malu.
8 comments:
Oh, ternyata salat jenazah. Memang, kita harus berhati-hati dan tabayun dulu sebelum menuding (sesat) seseorang.
aku udah nyangka, ini mbahas zenajah. lagi juga yang mau ngeroyok ko so tau amat ya, hahaha. ga mau dengerin klarifiasinya dulu... ya seperti itulah indonesiia kebanyakan, bondo emosi dulu.. hihihi.
jadi malu ya gan... kayanya harus di perbanyak ngaji bukan emosi....
saatnya muhasabah diri
Benar, Mas, kita kadang atau bahkan sering keburu emosi tanpa berusaha tabayun dulu. Semoga kisah ini jadi teguran untuk kita.
Bondo emosi, itu berbahaya banget, ya, Mas. Moga-moga kisah singkat di atas bisa menyadarkan kita, ya.
Saya suka dengan kalimat penutup dari Anda: "kayanya harus di perbanyak ngaji bukan emosi". Sipp!
Benar banget, Mbak. Semoga kita dijauhkan dari sifat buruk seperti kisah di atas, ya, Mbak.
Post a Comment