"Dul, sampeyan kok puasa Rajab! Apa sampeyan ndak tahu kalau
puasa di bulan Rajab itu bid'ah? Haram lho! Dosa sampeyan!" semprot Pakdhe
Kartubi.
Si Dul tersenyum saja mendapat semprotan itu.
"Ojo namung mesem, Dul! (Jangan cuma tersenyum, Dul!) Puasa
Rajab itu tidak ada dalilnya lho!"
"Hmm… gitu, ya, Pakdhe?"
"Hayoo begitu. Karena tidak ada dalil yang memerintahkan
berpuasa pada bulan Rajab, jadinya ya haram kalau kamu tetap berpuasa pada
bulan ini."
"Kalau puasanya cuma beberapa hari saja gimana, Pakdhe?"
"Hayo tetep ndak boleh! Bid'ah! Duso!"
"Berarti bulan Rajab memang harus free alias bersih
dari aktivitas puasa, ya, Pakdhe? Kita tidak boleh juga berpuasa Senin dan Kamis,
atau Senin doank, Kamis doank, atau puasa zig-zag alias Dawud, ya, Pakdhe?"
Sejenak Pakdhe Kartubi berpikir. Sebetulnya dia masih ragu untuk
menjawab, tapi karena takut dibilang bodoh, ya dia jawab saja sekenanya.
"Yo tetap ndak boleh, Dul! Pokoke puasa apa saja, berapa pun jumlah
harinya, selama di bulan Rajab maka tidak boleh dilakukan. Bid'ah!"
"Wah, ngeri banget, ya, Pakdhe. Berarti kalau pada bulan Sapar/Shafar,
Rabingul Awal, Rabingul Akir, Madilawal, Madilakir, kita juga dilarang
berpuasa, ya, Pakdhe?"
“Siapa bilang ndak boleh?” sahut Pakdhe Kartubi.
“Bukankah kata jenengan tadi puasa pada bulan-bulan yang tidak ada
dalilnya atau tidak ada perintah dari Nabi maka itu bid’ah. Setahu saya Nabi
tidak pernah memerintahkan atau menganjurkan kita berpuasa pada bulan
Sapar/Shafar, Rabingul Awal, Rabingul Akir, Madilawal, dan Madilakir. Kalau begitu
kan haram tho, Pakdhe, kita berpuasa pada bulan-bulan tersebut?”
Pakdhe Kartubi diam cukup lama. Dia mulai galau dengan pertanyaan
lanjutan itu. Cepat-cepat dia ambil HP supercanggih-nya. Dia sowan kepada Mbah
Gugel secara online untuk meminta jawaban atas pertanyaan itu. Berderet jawaban
sudah ditawarkan oleh Mbah Gugel, tetapi tidak ada satu pun jawaban tentang
puasa pada bulan shafar. Adanya puasa dalam safar (perjalanan). Lagi-lagi
Pakdhe Kartubi dicekam kegalauan tingkat tinggi. Daripada tidak menjawab sehingga
dibilang bodoh, Pakdhe Kartubi akhirnya menjawab sekenanya.
"Tidak ada dalil tentang puasa di bulan Shafar dan bulan-bulan
lain yang kamu tanyakan tadi, Dul. Karena ndak ada dalilnya, maka bid'ah dan
haram hukumnya berpuasa pd bulan Shafar dan lain-lain tadi!"
"Kalau saya niatkan puasa sunnah mutlak gimana, Pakdhe? Apa
tetep ndak boleh?"
Pakdhe Kartubi mengernyitkan dahi. Lagi-lagi dia harus bertanya
kepada Mbah Gugel tentang pengertian puasa sunnah mutlak. Pasalnya, dia tidak benar-benar
paham tentang puasa sunnah tersebut. Berderet jawaban dari Mbah Gugel pun
menyembul.
Oooo… ini toh yang dinamakan puasa sunnah mutlak. Puasa sunnah yang
tidak terikat pada waktu atau jumlah hari tertentu. Puasa ini memang bisa
dilakukan kapan pun dan berapa pun jumlahnya, selama tidak pada hari-hari yang
diharamkan, yakni dua hari raya dan tiga hari tasyrik. Tapi, karena aku sudah
terlanjur bilang bahwa semua puasa itu tadi bid'ah dan haram, tentu malulah aku
kalau harus meralatnya, batin Pakdhe Kartubi.
Akhirnya, demi menghindari kemaluannya (baca: rasa malunya), Pakdhe
Kartubi bersikukuh menjawab bahwa puasa pada bulan-bulan yang disebutkan tadi adalah
bid'ah, sesat, dan haram.
Kang Dul manggut-manggut. Bukan karena taslim atau sepakat dengan jawaban
Pakdhe Kartubi, melainkan sekadar membahagiakan hati rekan bicaranya itu. Bukankah idkhalus-surur
(bukan idkholuth-thuyur lho) alias menyenangkan hati orang lain adalah
sedekah dan berpahala?
Pakdhe Kartubi pun tersenyum bangga. Serasa menjadi jawara dalam
debat terbuka.
"Maaf, Pakdhe, mau tanya lagi nih? Kalau saya berpuasa pada
hari Rabu atau Selasa boleh ndak, Pakdhe?”
“Sudah dibilangi, pokoknya kalau ndak ada dalil yang memerintahkan
berpuasa, ya ndak boleh berpuasa. Coba kamu cari dalil tentang puasa Selasa
atau Rabu, ndak bakalan ketemu. Makanya, bid’ah dan haram hukumnya berpuasa
pada hari Selasa dan Rabu.”
“Tapi, puasa saya itu puasa qadha' Ramadhan, Pakdhe. Atau, puasa lain
semisal sunnah mutlak. Pripun niku, Pakdhe? (Bagaimana itu, Pakdhe?)”
Pakdhe Kartubi mendadak kliyengan. Dia bingung harus menjawab
bagaimana. Mau tidak mau, dia harus kembali bertanya kepada Mbah Gugel.
Cepat-cepat ia keluarkan HP hadiah dari Caleg yang ia pilih dalam pileg kemarin.
Tapi sayang, HP-nya ngedrop. Pakdhe Kartubi tentu judeg bin jengkel minta
ampun. Akhirnya, lagi-lagi dia jawab sekenanya.
"Kamu kok ndak paham-paham tho, Ndul. Pokoknya, selama ndak
ada dalil yang memerintahkan berpuasa, ya jangan berpuasa. Dosa! Nabi tidak
pernah memerintahkan berpuasa pada hari Selasa dan Rabu maka kamu ya jangan
berpuasa pada hari itu. Entah puasa bayar utang Ramadhan atau puasa sunnah
mutlak, tetap saja ndak boleh. Dengan niat apa pun, tetap saja bid'ah! Lha wong ndak ada dalil puasa pada hari Selasa dan Rabu kok."
"Lho, tapi kan tidak ada juga dalil yang melarang saya bepuasa
pada hari Selasa atau Rabu, Pakdhe. Bahkan, tidak ada juga dalil yang
mengharamkan saya berpuasa pada bulan Shafar dan sebagainya tadi. Termasuk
bulan Rajab, juga tidak ada satu pun dalil yang melarang atau mengharamkan saya
berpuasa pada bulan tersebut tho, Pakdhe?"
Cerocosan Kang Dul itu muncul secara tiba-tiba tanpa diduga oleh
Pakdhe Kartubi. Pakdhe Kartubi tentu kelabakan, bahkan serasa kebakaran. Panas,
jengkel, dan benci kepada si Dul memuncak hingga ke ubun-ubun.
"Jadi, puasa-puasa yang kita obrolkan tadi pada intinya memang
tidak ada perintah yang sharih (tegas) dari Nabi juga tidak ada larangan yang
sharih pula dari beliau. Benar begitu, kan, Pakdhe?"
Pakdhe Kartubi diam, tak menjawab. Matanya memerah. Wajahnya pun
membara memperlihatkan ekspresi marah.
"Kembali lagi ke puasa pada bulan Rajab, ya, Pakdhe. Setahu
saya, memang tidak ada dhawuh-dhawuh Nabi atau hadits-hadits beliau yang
secara tegas alias tersurat yang memerintahkan kita berpuasa pada bulan Rajab.
Begitu juga tidak pernah ada satu pun dhawuh beliau yang melarang kita
berpuasa pada bulan tersebut. Yang ada adalah dalil yang sifatnya umum dan implisit
atau tersirat. Uppss, sorry, Pakdhe, saya keceplosan memakai bahasa
implisat-implisit. Hehhee...maklum tadi habis sahur dengan menu hamburger. Jadi, bahasa
gaul saya keceplosan keluar. Maaf, nggih, Pakdhe. "
"Wes, ra perlu dowo-dowo. Dalil opo iku? (Sudah tidak
usah berpanjang kata. Dalil apa yg kau maksud itu?)" sergah Pakdhe
Kartubi.
"Apa Pakdhe tidak mengakui adanya dalil atau dhawuh
Nabi yang menganjurkan kita memperbanyak berpuasa pada bulan-bulan Haram
(mulia). Arba'atun Hurum; ada empat bulan haram, Pakdhe."
"Apa saja?" cetus Pakdhe.
"Dulkangidah alias Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan
Rajab. Nah, Rajab itu termasuk bulan Haram (hurum), Pakdhe. Jadi, boleh-boleh
saja kalau kita memperbanyak berpuasa pada bulan itu, bahkan baik."
Pakdhe Kartubi masih saja memperlihatkan wajah tidak bersahabat.
Mukanya ditekuk, bibirnya cemberut. Walaupun begitu, dalam hati ia membenarkan
apa yang dijelaskan oleh Kang Dul. Tapi, malu rasanya jika dia harus taslim
atau begitu saja sepakat dengan Kang Dul.
"Itu dalil yang pertama, yang sifatnya umum. Ada juga dalil
lain, Pakdhe. Kita bisa menggali hukumnya secara tersirat dari dhawuh ini.
Alkisah, suatu hari Kanjeng Nabi ditanya mengapa beliau suka memperbanyak
berpuasa pada bulan Sya'ban, beliau menjawab bahwa Sya'ban adalah bulan yang
dilupakan oleh banyak orang, di antara Rajab dan Ramadhan. Secara tersirat
alias implisit, beliau bermaksud mengatakan bahwa orang-orang itu sangat ingat
dengan kemuliaan Ramadhan dan Rajab. Mereka sedemikian rupa memuliakan Ramadhan
dan Rajab, salah satunya dengan berpuasa. Dia ingat pada dua bulan itu, tetapi
mereka lupa pada Sya'ban. Mereka berpuasa pada Rajab dan Ramadhan, tetapi tidak pada Sya’ban. Karena itulah, selain berpuasa Rajab dan Ramadhan, beliau juga mencontohkan berpuasa pada bulan Sya'ban.”
Pakdhe Kartubi diam sejuta bahasa. Wajahnya mulia melunak, tapi
tetap saja terlihat ketidakbersahabatannya. Bibirnya tetap saja dimancungkan;
cemberut.
“Gimana, Pakdhe? Kalau jenengan pengen tahu versi Arabnya
dua dalil tersebut, jenengan buka saja kitabnya langsung, Pakdhe. Biar
benar-benar paham, sebaiknya buka yang versi Arabnya, Pakdhe. Jangan yang
terjemahan. Kalau kesulitan, silakan jenengan tanya kepada lek Ngadimin.
Dia pernah nyantri kepada Kiai Toha. Jadi, sedikit atau banyak dia tahu bahasa
Arab; setidaknya tahu mubtada'-khobar; fa'il-maf'ul; dalil 'amm dan khash, nasab-rafa’-jer,
dll."
"Kementhus! Keminter!" kali ini wajahnya kembali membengkak; memerah.
"Bukannya saya kementhus atau keminter, Pakdhe. Saya hanya tidak ingin membid'ah-bid'ahkan jenengan karena jenengan sudah berkata sekenanya dan membuat hukum seenaknya pula. Begitu juga saya tidak ingin jenengan menyesat-nyesatkan saya hanya karena pemahaman saya terhadap suatu hadits berbeda dengan jenengan. Jadi, sebaiknya kita saling menghormati, atau setidaknya menahan diri dari menyesatkan orang lain, Pakdhe."
"Anak baru kemarin sore sudah berlagak sok tahu!"
Sekonyong-konyong muntahlah murka Pakdhe Kartubi. Harga dirinya sebagai sesepuh dan orang alim di desa itu terasa terinjak, bahkan tercabik-cabik. Buru-buru Pakdhe Kartubi bangkit; Keluar dari masjid; Cepat-cepat ia pakai sandal lalu bergegas menjauh dari Kang Dul.
"Bukannya saya kementhus atau keminter, Pakdhe. Saya hanya tidak ingin membid'ah-bid'ahkan jenengan karena jenengan sudah berkata sekenanya dan membuat hukum seenaknya pula. Begitu juga saya tidak ingin jenengan menyesat-nyesatkan saya hanya karena pemahaman saya terhadap suatu hadits berbeda dengan jenengan. Jadi, sebaiknya kita saling menghormati, atau setidaknya menahan diri dari menyesatkan orang lain, Pakdhe."
"Anak baru kemarin sore sudah berlagak sok tahu!"
Sekonyong-konyong muntahlah murka Pakdhe Kartubi. Harga dirinya sebagai sesepuh dan orang alim di desa itu terasa terinjak, bahkan tercabik-cabik. Buru-buru Pakdhe Kartubi bangkit; Keluar dari masjid; Cepat-cepat ia pakai sandal lalu bergegas menjauh dari Kang Dul.
"Pakdheeee...! Pakdheeee...! Yang jenengan pakai itu
sandal saya, Pakdhee!!!"
Teriakan Kang Dul tak lagi didengarkan oleh Pakdhe Kartubi. Maklum,
telinganya sudah tertutupi oleh amarah, emosi, dan gengsi.
"Nasiiiibbb... Nasiiibb...! Sandal barukuu!" Kang Dul
meratap.
2 comments:
kunjungan malam mas ustadz ...heeee...mantap pelajarannya..makasih
Terima kasih, Mas. Maaf, saya baru sempat membalas komen panjenengan dan teman2 blogger lainnya. Maklum, beginilah kondisi buruh, yg harus merampungkan ini-itu. :)) Semoga bermanfaat, Mas.
Post a Comment