Sekitar pukul 08.20 WIB, hari ini, saya baru pulang
dari kejaksaan agung RI, Jakarta. Melihat fakta di lapangan, sambil
melihat-lihat sekeliling, kutemukan banyak sekali ketimpangan sosial-ekonomi.
Anehnya, banyak para ahli mengatakan ekonomi Indonesia dalam keadaan stabil,
bahkan termasuk negara yang selamat dari krisis ekonomi sekitar tahun 2007/
2008. Mungkin, para ahli mengadakan penelitian dengan menutup mata. Mereka
hanya meraba. Sampai kapan Indonesia begini, Kang?
Begitu pesan singkat yang masuk di emailku. Aku
lihat nama pengirimnya, oh… ternyata Mas ‘Adkan, kawan lamaku yang kini kuliah
S2 di Jakarta. Awalnya tidak kupedulikan email itu. Tetapi, ‘Adkan seolah tidak
terima, ia kirimkan email lagi kepadaku.
Kang, sampeyan harus menjawab pertanyaan itu! Ini
menyangkut masa depan bangsa kita, Kang.
Dengan malas-malasan, akhirnya aku jawab juga email
itu secara singkat.
Nasib Indonesia akan semakin terpuruk dan buruk
kalau orang-orang seperti sampeyan masih ada di negeri ini.
‘Adkan kebakaran jenggot. Ia kembali mengirim email
balasan kepadaku.
Maksudmu apa, Kang?
Emailnya kali ini terlihat memendam murka. Mungkin
email balasanku telah mencederai hatinya.
Negeri ini akan semakin runyam kalau kamu hanya
bisa omong sana omong sini, mengeluh sana mengeluh sini, sementara kamu sendiri
tidak pernah melakukan AKSI alias langkah nyata untuk mengubah Indonesia.
‘Adkan kian berang. Ia marah semarah-marahnya.
Justru aku demo sana demo sini, protes sana protes
sini, seminar sana seminar sini, berwacana ke sana berwacana ke sini, semua itu
adalah bukti kepedulian saya untuk mengubah Indonesia agar lebih baik, Kang.
Dengan tersenyum aku jawab lagi emailnya.
Hahaha… ternyata sampeyan telah melupakan sabda
Kanjeng Nabi Muhammad saw. IBDA’ BINAFSIK, Kang! MULAILAH DARI DIRIMU SENDIRI!
Begitu pesan Kanjeng Nabi. Kalau kamu tidak memulai segala sesuatu dari dirimu
sendiri, mustahil banget kamu bisa memperbaiki Indonesia. Jangankan Indonesia,
memperbaiki diri kamu sendiri saja kamu nggak bisa.
‘Adkan diam, tidak lagi membalas emailku. Apa dia
merenungkan ucapakanku itu, atau justru semakin marah dan mangkel kepadaku?!
Ah, masa bodoh, aku kirimkan lagi pesan singkat melalui emailnya.
Kang 'Adkan, sampeyan kan suka seminar sana seminar
sini, ceramah sana ceramah sini. Pulang dari seminar dan ceramah, pasti
sampeyan dapat amplop alias salam tempel, kan. Nah, mestinya kalau sampeyan mau
mengubah Indonesia menjadi lebih baik, ya sedekahkan amplop itu kepada
orang-orang miskin. Apa ini pernah sampeyan lakukan?!
Bagaimana mau menjadikan Indonesia lebih baik kalau
untuk mendapatkan gelar sarjana, magister, atau bahkan doktor saja sampeyan
masih minta subsidi dari orangtua atau bahkan negara. Apa sampeyan tidak malu
ngomongke masa depan Indonesia sementara sampeyan sendiri seperti itu.
Bagaimana dapat menyaingi Malaysia, kalau sampeyan sendiri tidak bisa
menciptakan lapangan kerja untuk tetangga-tetanggamu yang miskin itu? Karena
itu Kang, negeri ini tidak akan pernah berubah kalau tidak kita mulai dari diri
kita sendiri. Jangan cuma O-O-Te alias Omong-Omong Thok! Jangan cuma Jarkoni,
Iso Ngajar Ora Iso Nglakoni! Mbokyo pakai teorine maling: Banyak Kerja, Sedikit
Bicara! Tapi, nyolonge jangan ditiru, ya. Haha..
Aku lalu teringat pesan Gusti Allah Swt di dalam
Al-Qur'an Al-Karim, “Amatlah besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.” (Q.S. Ash-Shaff: 3)
Selesai membalas email itu, datanglah kawanku
seorang mahasiswa kedokteran dengan menaiki mobil putih mulus semulus sapi
putih di belakang rumahku.
Sambil membanting pintu mobilnya, dia memuntahkan
murkanya, “Wah, kasihan banget, Kang. Di Jalan yang aku lalui tadi ada korban
kecelakaan. Nggak ada seorang pun yang peduli menolongnya. Pada kebangeten
semua! Egois! Di mana jiwa sosial mereka?!”
Aku diam sejenak untuk menangkap apa arti dari
kemurkaannya lalu mengungkapkan Tanya kepadanya, “Sampeyan tadi menolongnya?”
Mendegar pertanyaanku, seketika wajah kawanku berubah
merah-kuning-hijau.
Aku ulangi pertanyaanku, “Sampeyan tadi menolong
sang korban apa tidak?”
Kawanku, sang calon dokter itu, dengan berat hati
akhirnya menggelengkan kepala menahan malu. Tanpa disadari, di balik murkanya
menuding dan mengatai-ngatai orang lain egois, ternyata dia sendiri justru
lebih egois. Bahkan, sangat egois! Dasar O-O-Te! Omong-Omong Thok!
“Oalah…, jebul sampeyan podho egoise!” umpatku
dalam hati.
Ketika menuding orang lain salah, tanpa kita sadari
kita sendirilah yang justru tenggelam dalam kesalahan yang teramat parah.
Ibda' binafsik... Mulailah dari dirimu sendiri!
Catatan tercecer pada September 2010
0 comments:
Post a Comment