Tumben, mataku yang biasanya baru lemah dan sayu di atas pukul 12 malam, hari ini melemah secara prematur pukul 20.00 WIB. Daripada jatuh sakit, aku putuskan saja untuk tidur lebih awal. “Mas Babel mau bobo’ nggak?” tanyaku kepada jagoan kecil Muhammad Ar-Rusyda Babel Haqq.
“Iya, Ba,” jawabnya.
Anak pertamaku itu memang suka memanggilku dengan panggilan Baba. Tapi, tak jarang pula melontarkan panggilan yang jamak di masyarakat pedesaan, yaitu Bapak. Hanya dua panggilan ini yang dia tahu untuk menyebut lelaki yang menjadi orangtuanya. Tak pelak, ketika ada anak lain menyebut orangtuanya “Papa”, “Ayah”, “Abah”, "Abi", “Pak-e”, dan lain-lain dia mlongo karena merasa asing. Maklum, usianya belum genap 3 tahun. Tapi, alhamdulillah ada Bundanya yang selalu sabar dan telaten mendampinginya setiap hari dan menjelaskannya dengan bahasa cinta.
“Mau pipis dulu, Ba, biar nggak ngompol. Kata Ibu, kalau ngompol itu bau. Bau itu jelek. Kalau jelek dimarahi Allah.”
Aku tersenyum. “Ini nih didikan istriku!” batinku, bangga.
Memang dalam hal-hal seperti ini, aku akui kalak telak deh sama sang istri. Dialah yang lebih piawai memoles anak. Inilah yang kadang tidak disadari para bapak. Merasa paling hebat dan istimewa karena merekalah yang bekerja dan mencari nafkah untuk keluarga. Padahal tanpa mereka sadari, ketika para bapak pergi bekerja dari pagi sampai sore, masa depan dan baik-buruknya adab anak ada di tangan sang istri. Kebiasaan dan didikan dari istrilah yang akan mewarnai kepribadian anak.
Itu jika sang istri memiliki waktu dan intensitas yang tinggi untuk membersamai anak. Bagaimana jika orangtua, dua-duanya sibuk bekerja? Pastilah kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan kepribadian orang yang selalu membersamainya. Bisa pembantu, teman bermain, atau bahkan bisa terbentuk oleh didikan makhluk bernama televisi.
Itu jika sang istri memiliki waktu dan intensitas yang tinggi untuk membersamai anak. Bagaimana jika orangtua, dua-duanya sibuk bekerja? Pastilah kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan kepribadian orang yang selalu membersamainya. Bisa pembantu, teman bermain, atau bahkan bisa terbentuk oleh didikan makhluk bernama televisi.
Walaupun pipis dulu sebelum bobo’, kadang remnya tetap saja blong alias tetap ngompol. Yach…, namanya juga masih anak-anak. Setidaknya bisa mengurangi sedikit demi sedikit aksi ngompolnya. Seperti kemarin, waktu tidur, bajuku basah kuyup dan terasa anget banget dengan aroma khas menyengat. Hadeuuhh... ternyata kena ompol sang jagoan. Terpaksa mandi “besar” dech. ^_^
Melanjutkan cerita tadi, seperti malam-malam biasanya, sebelum tidur selalu ada obrolan ringan atau cerita-cerita rekaan spontan untuk membawa sang jagoan ke alam mimpinya. Lalu dipungkasi dengan bersama-sama membaca doa sebelum tidur. Belum fasih sih, juga belum sempurna pelafalan hurufnya, tapi setidaknya sudah hafal bagaimana rangkaian doanya.
Lagi-lagi aku bangga tapi sekaligus malu. Bangga karena mempunyai istri yang telaten mendidik dan membersamainya hingga beberapa doa pun telah dihafalnya. Malu karena sang jagoan bisa seperti itu bukan karena bimbinganku, melainkan karena kehebatan istriku. “Habbaitak, ya Habibi…! Laki al-jannah wa ridhallah. Amin.” ^_^
Lagi-lagi aku bangga tapi sekaligus malu. Bangga karena mempunyai istri yang telaten mendidik dan membersamainya hingga beberapa doa pun telah dihafalnya. Malu karena sang jagoan bisa seperti itu bukan karena bimbinganku, melainkan karena kehebatan istriku. “Habbaitak, ya Habibi…! Laki al-jannah wa ridhallah. Amin.” ^_^
Gelap dan lelap. Bunda dan si kecil Neswa sudah nyenyak di kamar depan. Sementara aku dan sang jagoan di kamar belakang. Benar-benar sunyi. Semua lelap, termasuk kodok-kodok di sekitar rumah yang biasanya berpaduan suara, juga diam tak bersuara. Mungkin karena tidak sedang hujan, makanya mereka lebih memilih diam tanpa ada kontes akapella.
“Baaaa…. Baaa….,” seru jagoanku, sambil mengguncang-guncangkan tubuhku. Karena terlampau ngantuk, hanya aku jawab dengan lirih dan malas-malasan.
“Baaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….!!!” dia kembali berseru dengan volume yang lebih keras.
“Ada apa, Sayang?” jawabku masih malas-malasan.
“Game pesawat, Baaa….!”
Masya Allah, ternyata dari tadi dia belum tidur. Hadeuuuhhh…. Memang tidak biasanya dia tidur lebih awal. Kadang jam 22.00 atau jam 23.00 baru tidur. Mungkin niru bapaknya ya, suka begadang. ^_^
Karena nguantuknya nggak ketahan, jadi rada emosi juga mendengar permintaan main game pesawat di tengah enaknya tidur. Lagi-lagi, Bundanya Babel yang berhasil membujuknya untuk tidur. “Maafkan Baba ya, Sayang. Baba akan berusaha selembut Bundamu!”
Anehnya, setelah itu mataku justru tidak bisa diajak kembali melanjutkan tidur. Ora Jawa bilang, klisak-klisik alias nggak bisa tidur. Daripada klisak-klisik seperti ini, mendingan melanjutkan kerja menyunting naskah. Kebetulan masih ada 8 bab yang belum tuntas aku sunting.
Segera aku siapkan segelas kopi panas untuk teman kerja. Baru saja aku letakkan kopi itu di atas meja, tiba-tiba… “Pluuuunggg….!” Seperti ada sesuatu yang masuk di dalamnya. Layaknya detektif Conan Edogawa, investigasi pun segera aku lakukan. Aku tuang perlahan-lahan kopi itu. Di tuangan yang mendekati akhir, terkuaklah nama sang pelaku. Ternyata, CICAK! Jatuh dan mati seketika di dalamnya.
Mengheningkan cipta dan renungan malam pun aku lakukan, “Seperti inikah gambaran neraka? Puuuanas dan menyakitkan!”
Alhamdulillah, berkat rengekan sang jagoan yang ingin main Game Pesawat dan tragedi Kopi cap Cicak, malam ini justru bisa merampungkan 4 bab. Makin nyatalah, bahwa di balik peristiwa yang kadang kita anggap menyebalkan, ternyata ada hikmah positif yang terselip di dalamnya.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.'' (Q.S. Al-Baqarah [2]: 216)
2 comments:
Critanya bagus2. Tetep semanget kang
@AnonimSemangat apa semanget nih? hehe
Post a Comment