ads
Monday, January 9, 2012

January 09, 2012

Ada dua kunci utama agar semua amal ibadah yang kita lakukan diterima Allah swt., yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas berarti melakukannya semata-mata karena Allah, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti cara peribadatan yang beliau contohkan.

Terkait dengan ittiba’ dalam hal shalat, kita dapat berpijak pada sabda berikut:
Abu Qilabah berkata, “Bahwa Malik (Ibnu al-Khuwairits) r.a., telah menyampaikan hadits kepada kami, ‘Kami mendatangi Rasulullah saw. sedangkan kami masih muda-muda. Kami tinggal bersama Rasulullah saw. selama dua puluh hari. Beliau sangat menyayangi dan penuh perhatian kepada kami. Ketika beliau melihat bahwa kami ingin bertemu keluarga dan merindukan mereka, beliau bertanya kepada kami tentang keluarga kami. Kami pun memberitahukannya. Beliau bersabda, ’Pulanglah kalian untuk menemui keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka. Ajari mereka ilmu dan suruhlah mereka (untuk mengamalkan)’.’ Beliau menyebutkan beberapa hal yang saya hafal dan yang tidak saya hafal’. ‘Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat!’ Maka, jika tiba waktu shalat, hendaklah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan hendaklah yang paling besar (tua) di antara kalian menjadi imam.” (H.r. Muslim)
“.... Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat! ....”, penggalan hadits inilah yang menjadi dasar kewajiban kita untuk mengikuti cara beliau dalam mendirikan shalat.

Dari itulah, kemudian muncul pertanyaan, bagaimana cara beliau shalat? Pertanyaan ini ternyata menuai jawaban yang sangat beragam. Terbukti, ada yang shalat tanpa membaca basmalah dalam rangkaiannya dengan Al-Fatihah, ada yang redaksi iftitahnya berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang mendirikan shalat Shubuh dengan qunut dan ada pula yang tidak, ada yang shalat tarawih 8 rakaat dan ada pula yang 20 rakaat, ada yang menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan ada juga yang tidak, serta masih banyak lagi perbedaan kaifiyah furu’iyah (cara beribadah yang bersifat cabang, bukan mendasar) lainnya.

Apakah fenomena perbedaan ini meng-indikasikan bahwa mereka tidak mengikuti contoh dari Nabi? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kaji secara mendalam hadits kunci di atas, yakni sabda beliau:

---ARAB--
Wa shallû kamâ ra´aitumûnî ushallî
“Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Cobalah Anda bandingkan redaksi hadits tersebut dengan dua ungkapan berikut:

---ARAB--
Shallû kashalâtî
“Shalatlah kalian seperti shalatku.”

atau:
---ARAB--
Shallû bishalâtî
“Shalatlah kalian dengan shalatku.”

Apa yang Anda rasakan dengan ketiga kalimat di atas? Sekilas ketiganya tampak sama. Tetapi, jika dikaji lebih mendalam, ternyata ada kandungan makna yang berbeda antara redaksi hadits Nabi di atas dengan dua kalimat pembanding sesudahnya. Di antara perbedaannya sebagai berikut:

1. Redaksi hadits Nabi tersebut mengandung makna yang lebih luas daripada dua kalimat pembanding setelahnya. Sabda beliau “sebagaimana kalian melihat”, menunjukkan bahwa dalam proses ittiba’ membutuhkan peran penglihatan orang-orang yang hidup bersama Nabi (istri dan para sahabat beliau). Tetapi, boleh jadi penglihatan seseorang akan berbeda dengan penglihatan seorang lainnya. Bahkan, sangat mungkin masing-masing memiliki fokus penglihatan yang berbeda, baik pada masalah fisik maupun nonfisik.

2. Kalimat “kalian melihat” juga menyiratkan muatan makna bahwa para sahabat (tentunya juga istri-istri beliau) tidak sekadar melihat kaifiyat shalat Nabi, tetapi juga memerhatikan bagaimana beliau menghayati makna shalat, menjiwai bacaannya, bagaimana interaksi beliau dengan Al-Qur’an, serta pengaruh shalat dalam kehidupan sehari-hari.

3. Kalimat “sebagaimana kalian melihat aku” memberi peluang untuk berbeda sesuai kadar penglihatan masing-masing. Hal ini memungkinkan terjadinya keragaman praktik shalat (dalam batas tertentu), sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kesempatan sahabat melihat shalat beliau.

Sama halnya dengan kita, seandainya diminta untuk menggambarkan sifat dan bentuk suatu bangunan, masjid misalnya, tentu masing-masing memiliki jawaban yang berbeda antara satu dengan lainnya. Saya yang melihatnya dari arah depan, pasti akan menggambarkan secara berbeda dengan Anda yang melihatnya dari arah samping, belakang, atau mungkin dari arah atas. Anda yang melihatnya dari jarak dekat, tentu juga akan menggambarkan secara berbeda dengan saya yang melihatnya dari kejauhan.

Begitu pula yang terjadi pada masa Rasulullah. istri-istri beliau, keluarga, dan para sahabat, mereka melihat sifat shalat Nabi dengan fokus pandangan yang berbeda-beda. Tak mengherankan jika kemudian muncul banyak riwayat hadits yang menceritakan suatu masalah secara berbeda. Misalnya dalam hal menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, ada riwayat berbeda tentangnya. Dalam hal rukuk, setidaknya ada enam versi bacaan yang dibaca ketika itu. Begitu pula bacaan ketika tasyahud, setidaknya ada lima versi. (lihat Praktik Shalat Nabi, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

4. Sedangkan dua kalimat pembanding (“Shalatlah kalian seperti shalatku” dan “Shalatlah kalian dengan shalatku”) mengandung makna yang sempit, di mana kalimat tersebut tidak memberi peluang untuk berbeda antara seseorang dengan lainnya. Juga tidak boleh berbeda sedikit pun dari Rasul, baik secara lahir maupun batin.

Keduanya menuntut kita untuk dapat menunaikan shalat secara “persis-Sis!” seperti shalat Nabi, tanpa berbeda sedikit pun. Ya, tidak boleh berbeda sedikit pun! Padahal, dalam suatu hadits disebutkan beliau shalat malam sampai kedua kaki beliau bengkak-bengkak. Apakah kita juga seperti itu? Begitu pula dalam shalat-shalat tertentu beliau membaca surat yang panjang-panjang, sementara kita seringkali hanya mengulang surat Al-Ikhlas dan Al-Kautsar.

Setelah mencermati dan mengkaji kandungan makna terdalam dari hadits kunci di atas, kita patut meningkatkan kekaguman kepada Nabi karena kearifannya. Beliau tidak otoriter. Beliau justru memberi kelonggaran dan peluang kepada umatnya untuk berbeda, tentunya dalam batas-batas tertentu. Beliau tidak mengatakan, “Shalatlah kalian seperti shalatku” atau “Shalatlah kalian dengan shalatku”, tetapi “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Dalam rangkaian ittiba’ kepada Nabi saw., ada baiknya pula kita mengkaji firman Allah swt.:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Q.s. Al-Hasyr [59]: 7)

Ada dua sikap tegas yang harus diambil berdasarkan ayat tersebut, yaitu mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Sementara apa yang tidak dibawa dan tidak pula dilarang, kemungkinan akan memunculkan perbedaan. Demikian pula menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Rasul atau melarang sesuatu yang tidak dilarangnya, sangat mungkin menimbulkan pro dan kontra. Dalam kondisi demikian, sikap tasamuh (toleransi) adalah jalan terbaik untuk mempertahankan keutuhan ukhuwah dan persatuan umat Islam.

Begitu pula dalam praktik shalat, jika kita menemukan kondisi demikian maka sikap tasamuh adalah solusi terbaik untuk menjaga kekuatan Islam.

0 comments: