Merangkak perlahan tapi pasti, berkejar-kejaran, dan saling berganti, itulah waktu. Selalu berganti
tanpa ada yang dapat menghentikannya, kecuali Sang Pencipta waktu itu sendiri. Setiap kali waktu berganti selalu ditandai dengan suatu peristiwa yang khas. Misalnya, pergantian jam ditandai dengan dentingan lonceng atau alarm, pergantian hari ditandai dengan kokok ayam di fajar yang sunyi, pergantian pelajaran di sekolah juga ditandai dengan bunyi bel bahkan ketika bel panjang berbunyi para siswa bersorak-sorai dan berteriak kegirangan tanda tiba saatnya pulang.
Bagi sebagian besar masyarakat, pergantian tahun dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Untuk itulah mereka pun berusaha membuat tanda dan torehan kenangan istimewa agar berkesan dan selalu diingat sepanjang masa. Saat matahari di penghujung tahun mulai tenggelam, saat itu pula manusia mulai menghambur ke keramaian; ke jalan raya, puncak gunung, pantai, kafe-kafe, tempat-tempat pertunjukan, dan sebagainya. Bunyi terompet yang memekakkan telinga dan beragam acara yang super meriah turut menyemarakkan ”hari sakral” penanda bergantinya tahun.
Mencari Makna
”Acara apa yang kita persiapkan, dan ke mana akan merayakan?”, adalah pertanyaan yang sering dan selalu muncul menghadapi pergantian tahun. Barangkali, pertanyaan seperti ini terlalu mudah dan cepat terjawab, terlebih oleh kawula muda. Karena bagi mereka, ragam acara di tahun baru telah teragendakan secara rapi jauh-jauh hari sebelum datangnya hari ”istimewa” itu. Bermacam jawaban pun meluncur, ”pesta di kafe, nonton hiburan, konvoi di sepanjang jalan, bersama pacar menghabiskan malam,” dan beragam jawaban yang sejenis. Intinya, bersenang-senang, berpesta pora, dan membebaskan segala duka!
Pertanyaan mengenai makna tahun baru, mungkin agak sulit untuk dijawab langsung. Kita perlu meluangkan waktu dan curahan pikiran untuk merenungkannya. Melalui tulisan ini, marilah secara kolektif kita lakukan kontemplasi atau renungan untuk menjawab pertanyaan itu. Lagu Ebiet G Ade yang sarat inspirasi (barangkali) bisa menstimuli ”semedi” kita.
Dalam baitnya, Bang Ebiet berujar:
”Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu//
Entah sampai kapan tak ada yang dapat menghitung//
Hanya atas kasih-Nya, hanya atas kehendak-Nya, kita masih bertemu matahari//
Kepada rumpun ilalalang, kepada bintang gemintang//
Kita dapat mencoba meminjam catatannya//
csampai kapankah gerangan, waktu yang masih tersisa//
Semuanya menggeleng, semuanya terdiam, semuanya menjawab tak mengerti//
Yang terbaik hanyalah segeralah bersujud/
/Mumpung kita masih diberi waktu.”
Kehidupan laksana sebuah perjalanan rotatif. Kita memulainya dari satu titik, dan akan terus berjalan sampai pada akhirnya kita akan berhenti di titik yang sama. Dalam bahasa agama, kita berasal dari Tuhan dan akan kembali pula kepada Tuhan. Awalnya kita tidak ada, kelak pun akan kembali tiada. Dahulu kita mengawali hidup dengan ketidakmampuan, kelak kita pun akan kembali dalam ketidakberdayaan. Dalam analogi perjalanan rotatif itu, pergantian tahun berarti kita berjalan mendekat pada ketiadaan dan ketidakberdayaan.
Panjang pendek usia kita ditentukan oleh besar kecilnya lingkaran yang dihadiahkan Tuhan. Semakin besar lingkaran itu, semakin lama perjalanan kita, berarti semakin lebar pula kesempatan untuk berkarya di dunia. Sebaliknya, semakin pendek lingkaran yang diberikan kepada kita, semakin pendek pula kesempatan untuk menghirup udara.
Masalahnya, kita tak tahu dan tak akan pernah diberi tahu seberapa besar lingkaran yang diberikan Tuhan kepada kita. Yang jelas, kita tak ingin perjalanan ini rugi, sia-sia, tanpa arti. Kita hanya bisa mewaspadai dan mengantisipasi sampainya perjalanan ke titik akhir dengan beragam karya dan prestasi serta kesalehan (sosial maupun spiritual).
Cukupkah kontemplasi kita lakukan? Tidak! Ada beberapa langkah lagi yang harus kita kerjakan sebagai bentuk konkretisasi hasil kontemplasi, yaitu evaluasi, introspeksi, refleksi, dan restrukturisasi program.
Yang pertama (evaluasi), kita lakukan dengan menilik kembali buku catatan selama satu tahun yang telah lewat, adakah kesalahan dan kegagalan yang terjadi? Jika ya, kita perlu mencari akar penyebab kesalahan dan kegagalan itu, mungkin karena kecerobohan, kelalaian, perilaku negatif, atau bahkan kebiadaban kita.
Jika akar itu telah kita temukan, refleksi (gerakan) sebagai langkah selanjutnya harus segera kita susulkan. Reflkesi akan membuahkan hasil yang gemilang jika kita susun dalam rencana program yang sistematis dan rasional. Dapat dikata, restrukturisasi program adalah menata kembali program-program kita yang gagal di satu tahun kemarin, serta menyusun agenda baru yang lebih produktif dan kreatif untuk masa yang akan datang, minimal satu tahun ke depan.
Dengan demikian, ”semedi” tak hanya berhenti pada perenungan diri, melainkan di-follow up-i dengan tindakan riil untuk menata kehidupan yang lebih bermakna serta lebih membuahkan prestasi. Jika ini dapat kita lakukan, berarti kita telah mengantongi satu modal utama untuk berhasil di masa selanjutnya.
Tak Boleh Merayakan?
Bergembira tentunya boleh-boleh saja. Namun, jangan sampai kegembiraan itu terluapkan dalam perbuatan yang berlebihan (euforia), anarkis, dan asusila. Karena kegembiraan yang berlebihan hanya akan membuat terlena dan lupa akan kesejatian eksistensi kita di dunia.
Dalam catatan sejarah pergantian tahun di Indonesia (atau bahkan di dunia), masyarakat kita masih suka menyambutnya secara kekanak-kanakan. Bahkan penyakit kekanak-kanakan ini tidak hanya melanda remaja namun juga orang dewasa, bukan hanya orang biasa namun juga para elit-negara. Tak dipungkiri, kita masih terlalu cinta dengan foya-foya, hura-hura, euforia, pesta narkoba, pesta seks, dan sebagainya. Terus berjalan seperti itu di setiap tahunnya.
Ironis sekali, jika tahun baru ini dirayakan dengan euforia yang miskin makna, terlebih di saat Indonesia sedang didera banyak derita mulai dari banjir, korban lumpur Lapindo yang tak tentu lagi nasibnya, problem kemiskinan yang tak terentaskan, dan masih banyak lainnya.
Terlebih di bulan terakhir tahun ini, belum lama berlalu, umat Islam merayakan hari mulia yang sarat pesan sosial, yaitu Hari Raya Kurban, kemudian dilanjutkan dengan peringatan hijrah Nabi SAW (tahun baru Hijriah 1430 H). Saudara-saudara kita yang Kristiani pun merayakan hari istimewa yang juga penuh pesan sosial, yakni Perayaan Natal. Sebagai masyarakat yang dewasa, beragama, dan terdidik, tentulah kita tidak ingin menari binal di atas derita saudara yang dibelit persoalan kehidupan.
Mari kita tunjukkan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang dewasa dan berperadaban! Selamat Tahun Baru 2009 M!
----------------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di surat kabar Batam Pos pada Selasa, 30 Desember 2009.
Friday, January 2, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment