ads
Monday, August 13, 2007

August 13, 2007

Judul Buku : Meneropong Fenomena Kemiskina; Telaah Perspektif Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Hamdar Arraiyyah, MA
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : ix + 149 halaman

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2007 mengalami penurunan 2,13 juta menjadi 37,17 juta orang. Dengan penurunan itu, jumlah penduduk miskin menjadi 16,58% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 224,177 juta orang.Angka ini sedikit turun dari jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 yang mencapai 17,75% atau sebanyak 39,30 juta orang dari total penduduk saat itu sebesar 221,328 juta orang.

Terlepas dari kontroversi dan kevalidan data BPS, serta dengan meminggirkan perasaan bangga atas “keberhasilan” yang dicapai, data tersebut hendaknya menjadi pemacu untuk menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Mengentaskan kemiskinan bukan hanya tugas pemerintah. Tapi, menjadi national effort yang harus berangkat dari diri setiap individu di negeri ini.Untuk menanggulanginya, permasalahan yang harus dipecahkan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang menyangkut pemahaman sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi, nilai, dan politik.

Sebagai salah satu sumber nilai yang dijunjung tinggi, agama mempunyai ruang hegemonik untuk meneropong dan menyadarkan manusia akan adanya kemiskinan yang sesungguhnya tidak sejalan dengan kondisi ideal yang diharapkan oleh syari’at Islam, yaitu manusia sejahtera lahir dan batin, di dunia dan akhirat.Sebagai kitab suci, Al-Qur’an memuat sejumlah ayat yang menguliti secara sempurna fenomena dan problematika kemiskinan. Nasr Hamid Abu Zaid, pemikir Islam Liberal asal Mesir, dengan mengutip statement Sayyidina Ali RA pernah menandaskan bahwa Al-Qur’an adalah teks yang diam, hanya manusialah yang membuatnya hidup dan berbicara.Karena itu, tak mengejutkan beragam interpresi bersembulan. Pun terhadap ayat-ayat tentang kemiskinan.

Kebanyakan interpreter memandang kemiskinan sebagai kodrat hidup (sunnatullah) yang bersifat langgeng dan selalu ada di setiap generasi manusia. Kemiskinan adalah cobaan yang harus dijalani dengan sabar dan nerimo (diterima dengan senang hati). Disadari atau tidak, interpretasi asketis ini justru melahirkan sikap pasif bagi penyandang kemiskinan sehingga mereka tidak menganggapnya sebagai masalah dalam kehidupan.

Yusuf al-Qardlawiy, dalam Musykilat al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam (Problem Kemiskinan dan Bagaimana Islam Menanggulangi), mengatakan bahwa tak ada satu pun ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang memuji kemiskinan. Sebaliknya, kemiskinan adalah masalah yang harus diselesaikan dan ditanggulangi.

Yang menjadi keprihatinan saat ini bukan pada agama atau skriptural Islam, melainkan interpreter dan penganut agama itu sendiri. Tidak kurang teks-teks suci itu menyuarakan pentingnya jiwa sosial dan rasa solidaritas, bahkan dengan gamblang memberikan tuntunan pengentasan kemiskinan baik yang bersifat wajib semisal zakat, infak wajib, dan kewajiban menolong orang miskin, atau yang bersifat anjuran seamsal sedekah, infak, ihsan dan kurba.

Tapi, kewajiban dan anjuran itu menjadi tak berarti manakala sampai ke tangan manusia-manusia pongah, arogan, dan oportunis. Bahkan dalam pembangunan nasional pun, masyarakat miskin bukan menjadi fokus yang harus dientaskan tapi justru ditumbalkan. Inilah pentingnya manusia (individu dan pemerintah) kembali merujuk kepada wahyu untuk mengentaskan kemiskinan dengan membuka kesadaran sosial dan solidaritas. Mustahil angka kemiskinan bisa terus ditekan jika kesadaran, komitmen dan political will tidak menjadi bagian yang utuh dan integral dalam diri setiap individu-individu kaya dan pemangku kekuasaan pada suatu negara yang notabene semua beragama. ***

----------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di Batam Pos pada Minggu, 12 Agustus 2007.


0 comments: