ads
Thursday, September 28, 2017

September 28, 2017
6
Kisah pilu Tiara Debora Simanjorang sangat melukai nurani sekaligus membuka mata kita bahwa rasa empati dan kemanusiaan di korporasi rumah sakit saat ini telah digagahi oleh syahwat kapitalisme. Rumah sakit, yang semestinya menjadi rujukan orang-orang yang sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, telah berubah menakutkan, ekseklusif, dan birokratis-kapitalistik. Demi meraup keuntungan superbesar, para pemilik modal telah menjadi penguasa kejam dalam bisnis korporasi pelayanan jasa kesehatan ini.
Para pemilik modal memang patut kita apresiasi karena telah berkontribusi besar membangun sarana pelayanan kesehatan di negeri ini. Akan tetapi, mereka harus membuka kesadaran bahwa semangat membangun sarana pelayanan kesehatan tidaklah sama dengan membangun perusahaan otomotif, tekstil, elektronik, dan barang-barang lain. Membangun rumah sakit tidak hanya bersentuhan dengan benda atau barang dagangan, tetapi lebih banyak bersinggungan dengan nyawa manusia. Karena itulah seharusnya nyawa manusia lebih dipentingkan daripada syarat biaya dan tetek-bengek administrasi lainnya.
Apa berarti pemilik modal tidak boleh meraup untung dalam bisnis korporasi jasa pelayanan kesehatan ini? Bukan begitu, sebagai badan usaha, tentu kita mafhumi bahwa keuntungan menjadi salah satu tujuan para pemilik modal. Akan tetapi, target profit bukanlah satu-satunya dan paling utama dalam bisnis. Ada misi lain yang lebih utama, yaitu sosial kemanusiaan. Jangan sampai karena benturan kepentingan bisnis rumah sakit dan kepentingan penyelamatan pasien, rumah sakit melupakan fungsi sosialnya.

Kembali kepada kasus Debora, pemerintah, dalam hal ini kementerian kesehatan tidak cukup hanya memberi surat teguran kepada pihak rumah sakit. Harus dilakukan penyelidikan secara komprehensif dengan menggali data dan informasi secara lengkap dari kedua pihak (rumah sakit dan pasien), apakah ada tindak pidana dalam tragedi Debora ini.

*) Tulisan ini dimuat di Koran Republika, 28 September 2017.
**) Alhamdulillah, masih diberi kekuatan dan kesempatan oleh Allah untuk terus belajar menulis.

6 comments:

Maman Achman said...

Kapitalisme apapun bentuknya tetap tidak dibenarkan ya pak, banyak merugikan terutama untuk rakyat kurang mampu. Semoga kisah yang menimpa adek kita Debora tidak terulang kembali...

Irham Sya'roni said...

Iya, Kang Maman, semoga tidak ada Debora-Debora lainnya lagi.

Bayu Fajar Pratama said...

Waah luar biasa mas Irham tulisannya masuk lagi ke media cetak hehe :D

Rumah sakit ataupun tempat pelayanan kesehatan bukannya tidak boleh mencari untung. Kalau tidak ada untung, rumah sakit lama-kelamaan akan bobrok dan tidak bisa lagi memberikan pelayanan.

Saya tidak ingin menyalahkan pihak mana pun, karena saya tidak tahu bagaimana keadaan pasien saat itu: apakah benar-benar tidak ditangani atau keadaan pasien tiba-tiba memburuk setelah kegawatan ditangani. Perlu ditekankan bahwa tidak ada jaminan bahwa pasien akan selamat jika pasien dimasukkan ke dalam ruang perawatan intensif, karena tidak jarang saya melihat pasien yang meregang nyawa di ruang perawatan intensif.

Saya setuju dengan mas Irham bahwa perlu dilakukan penyelidikan secara komprehensif terhadap kasus ini sehingga kita berharap kejadian yang serupa tidak terulang kembali.

Irham Sya'roni said...

Bener, Mas, agar maju dan berkembang, RS memang harus mengambil untung. Kalau buntung, bisa berabe deh. Cuma ya itu tadi, RS jg harus menyadari bhwa korporasi mereka berbeda dg bisnis2 lain yang minim akan misi-misi sosial-kemanusiaan. Karena itu, selain berikhtiar mendapatkan untung, RS jg harus mengedepankan misi kemanusiaan tsb. Tidak hanya target profit semata.

Nah, penyelidikan komprehensif itu nantinya yg akan menguak apa sebenarnya yg telah terjadi di sana.

Terima kasih sudah berkunjung kemari, Mas. Sukses selalu untuk Mas Bayu.

Bayu Fajar Pratama said...

Benar sekali mas. Mari kita lihat perkembangan dari kasus ini agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.

Terima kasih kembali mas Irham :D

Irham Sya'roni said...

Sama-sama, Mas Bay, terima kasih juga untuk Mas Bayu.