ads
Friday, September 29, 2017

September 29, 2017
6


Judul               : Islam, Negara dan Masa Depan Ideologi Politik
Penulis             : Dr. Abdul Chalik
Penerbit           : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan           : Juni, 2017
Tebal               : xviii + 310 halaman
ISBN               : 978-602-229-748-2


Di Indonesia, perbincangan Islam sebagai ideologi politik mulai santer sejak kemunculan Piagam Jakarta. Piagam tersebut secara tegas menempatkan Islam sebagai dasar negara melalui penggalan teks “...Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.  Dalam perkembangannya penggunaan kalimat ini mengalami perdebatan, sampai akhirnya lahir kesepakatan untuk menghilangkan kalimat tersebut pada sidang konstituante 2 Juni 1959.
Pascareformasi 1998, perbincangan Islam sebagai ideologi politik kembali mengemuka. Bersamaan itu, ormas-ormas Islam --yang selama orde baru tiarap dan lebih banyak bergerak di bawah tanah—bermunculan dengan agenda ideologi politik yang berbeda. Bersamaan itu pula muncul beberapa organisasi dan gerakan transnasional, yang di antara gerakan itu mengampanyekan misi pendirian pemerintahan bersistem khilafah.
Benarkah khilafah merupakan kewajiban absolut yang harus didirikan berdasarkan sumber primer ajaran Islam, Alquran dan Sunah? Buku ini menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus juga mengajak kita merunut sejarah ideologi politik Islam dari masa ke masa dan dari suatu negara ke negara yang lain.
Sebelum wafat, Nabi tidak pernah mewasiatkan sistem dan struktur tertentu dalam kepemimpinan/pemerintahan. Nabi menyerahkan urusan itu kepada umat Islam sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman sebagaimana sabda Nabi, “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Bagaimana dengan kemunculan khilafah pada masa khulafa’ al-rasyidin? Itu merupakan hasil ijtihad para sahabat kala itu dengan berpijak pada sabda tersebut. (hlm. 154-155)  
Dalam konteks Indonesia --sebagai negara yang berbhinneka tunggal ika--, beban sejarah dan kemunculan gerakan ekstrem dan eksklusif ala Al-Qaeda dan ISIS (yang jauh dari kesan Islam) menuntut lahirnya alternatif baru dalam politik Islam. Salah satunya adalah ideologi Islam Nusantara, yakni ajaran Islam yang bercorak keindonesiaan dengan tradisi lokalitas yang kuat, menampilkan ajaran Islam yang ramah, toleran, dan menjunjung tinggi sifat asasi manusia.

*) Tulisan singkat ini dimuat di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat pada Senin, 11 September 2017, halaman 22.

6 comments:

Maya said...

Semoga terjaga dari aliran-aliran yang mengatasnamakan Islam yg bertujuan merusak Islam

Aisyah M.Yusuf said...

Meneladani Jejak Generasi Terbaik.
Rasulullah Saw bersabda, “Apabila Allah Swt menginginkan kebaikan kepada seseorang dari umatku, maka Allah Swt akan menaruh kecintaan terhadap sahabat-sahabatku di dalam hatinya” (HR. Dailami, Munadul Firdaus)

Rasulullah Saw bersabda, “Para Sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit, siapapun yang kalian ikuti jejak dari mereka, niscaya kalian akan mendapatkan hidayah (petunjuk).”

Itulah generasi yang pantas kita cintai dan teladani jejak pejuangan mereka dalam menegakkan kekhilafahan Islam dan menyebarkan Islam kepenjuru dunia.


Ijma’ para sahabat, bahwa mereka lebih mendahulukan permusyawaratan untuk menentukan Khalifah sebagai pengganti Rasulullah sebagai kepala Negara , daripada mengurus jenazah Rasulullah saw. sendiri Para sahabat dan pemimpin-pemimpin Islam pada waktu itu ramai membicarakan dan memusyawarahkan pengangkatan Khalifah, sampai akhirnya terpilihlah Abu Bakar Siddiq menjadi Khalifah pertama setelah Rasulullah saw.

Sikap para sahabat itu menunjukan, bahwa pengangkatan Khalifah sangat penting dan sangat menentukan bagi kehidupan umat Islam selanjutnya. ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Rasulullah Saw bersabda, “Para Sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit, siapapun yang kalian ikuti jejak dari mereka, niscaya kalian akan mendapatkan hidayah (petunjuk).”

Irham Sya'roni said...

Aamiin... semoga dunia ini, khususnya, Indonesia senantiasa rukun dan damai, walaupun berbeda-beda suku dan agamanya.

Irham Sya'roni said...

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak komentar di blog saya.

Semua orang tahu bahwa pascawafat Rasulullah para sahabat lebih berfokus menentukan pengganti atau penerus kepemimpinan beliau (yang kemudian disebut khalifah) daripada mengurus jenazah beliau. Kita semua juga tahu bahwa mengangkat seseorang menjadi pemimpin itu sangat penting. Bahkan, dalam level sekecil apa pun (misalnya, kelas, kelompok pengajian, dll) pastilah akan kita angkat pemimpin.

Peristiwa pengangkatan Abu Bakar itu merupakan ijtihad para sahabat akan pentingnya mengangkat pemimpin; tidak boleh ada kekosongan pemimpin dalam suatu komunitas. Peristiwa itu bukan legitimasi absolut akan diwajibkannya mendirikan sebuah pemerintahan dg sistem khilafah, yg pemangku jabatannya digelari Khalifah.

Karena memang tidak pernah ada nash qath'i tentang kewajiban mendirikan (negara) khilafah, maka umat Islam di tempat dan zaman yg berbeda melakukan ijtihad politiknya (termasuk khulafa'ur rasyidin, dinasti umayyah, dinasti abbasiyah, dll) sehingga bermunculan sistem yg beragam; mamlakah (kerajaan), emirat (keamiran), sulthaniyyah (kesultanan), jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.

Salam hangat, dan salam persaudaraan!

Bayu Fajar Pratama said...

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Jika ada pertentangan dasar negara Indonesia dengan ajaran Islam, mari kita diskusikan. Siapa tau saya yang khilaf karena tidak menemukan pertentangannya.

Irham Sya'roni said...

Memang tidak ada pertentangan antara pesan pokok dalam sila-sila Pancasila dengan ajaran Islam, Mas. Kalau ada, pastilah para ulama dan founding father muslim sudah sedari dulu bersepakat menggugat dan mencampakkan Pancasila.