ads
Sunday, July 24, 2016

July 24, 2016
4

Hikmah Syawalan
Syawalan, Halal Bihalal, atau apa pun istilahnya, adalah tradisi khas Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan. Selama tidak bertabur kemaksiatan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tradisi syawalan atau halal bihalal layak dilestarikan.

Di antara nilai kebaikan yang terkandung dalam tradisi ini adalah terbukanya kesempatan untuk saling silaturahim, saling berkunjung, dan saling mengenal antara satu saudara dengan saudara lainnya.

Setiap lebaran, keluarga saya pun melanggengkan tradisi ini. Dari pihak ayah mertua saya digelar Syawalan Trah Kromosono (keluarga besar Simbah Buyut Kromosono). Sementara dari pihak ibu mertua diadakan Syawalan Trah Haji Syaibani (keluarga besar Simbah Buyut Haji Syaibani).

Di Jogja, tradisi ini sudah sangat mengakar. Hampir semua keluarga besar menggelarnya. Dalam tradisi ini terlihat nyata kemanfaatannya. Semua keluarga dan saudara, baik saudara dekat maupun jauh, berkumpul bersama. Mereka yang semula tidak saling mengenal, menjadi saling mengenal. Mereka yang semula tak bertegur sapa, menjadi cair dan hangat dalam perbincangan-perbincangan ringan.

Rukun, damai, harmonis, dan bersaudara. Suasana itulah yang membuat saya iri, dan ingin menggelarnya di keluarga saya di Purwodadi. Alhamdulillah, sudah lima tahun ini Syawalan Bani Muslih Djuremi berhasil kami gelar.

Tidak seperti Syawalan Trah Kromosono dan Trah Haji Syaibani yang dihadiri lebih dari seratus saudara, Syawalan Bani Muslih Djuremi dihadiri 17 orang saja. Maklum, karena Syawalan yang kami adakan bukan keluarga besar dari simbah atau simbah buyut, melainkan keluarga kecil, anak dan cucu dari ayah saya.

Muslih Djuremi adalah ayah saya. Almarhum memiliki lima orang anak laki-laki, dan saya adalah anak keempat. Akan tetapi, karena kakak kandung saya meninggal, bergeserlah saya menjadi anak ketiga. Kakak pertama saya bernama Miftahul Huda (mempunyai 2 anak). Kakak kedua bernama Rohmi Abdul Halim (mempunyai 3 anak), sedangkan adik saya bernama Asnawi Lathif (mempunyai 1 anak). 

Berawal dari 17 orang ini, semoga kelak jika beranak-pinak, tradisi Syawalan Bani Muslih Djuremi tetap dijaga. 

Keluarga Bani Muslih Djuremi

Anjuran Merunut dan Menulis Silsilah
Syawalan keluarga bisa menjadi momentum yang tepat untuk mengenal saudara dengan merunut dan menulis silsilahnya. Kanjeng Nabi pernah bersabda,

تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ ، فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الأَهْلِ ، مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ ، مَنْسَأَةٌ فِي الأَثَرِTop of Form

"Pelajarilah dari nasab (garis keturunan) kalian apa yang membuat kalian bisa menyambung tali silaturahim; karena silaturahim dapat menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, melapangkan harta, dan memanjangkan umur.” (HR. Tirmidzi)

Di antara manfaat merunut dan menulis silsilah adalah:
  1. Saling mengenal antarsaudara. Dengan saling mengenal akan mengertilah kedudukan kita dengan saudara lainnya. Dengan begitu, akan lahirlah sikap menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.
  2. Dengan adanya kejelasan nasab/silsilah, kita akan mengetahui siapa saja yang menjadi ahli waris. Ini sangat penting untuk keperluan pembagian warisan.
  3. Dengan adanya kejelasan nasab/silsilah, kita menjadi tahu siapa yang termasuk mahram. Bukan muhrim, lho, ya... muhrim itu artinya orang yang sedang melaksanakan ihram (haji atau umroh), sedangkan mahram ialah orang yang haram kita nikahi.


Jangan sampai anak angkat kita tulis dalam garis nasab sebagai anak kandung, karena hakikatnya dia adalah orang lain, bukan anak kandung. Sebagai orang lain (ajnabi/ajnabiyah) maka berlaku hukum sebagai orang lain pula. Misalnya, jika anak angkat itu perempuan, maka (menurut madzhab Syafi’i) membatalkan wudhu jika saya bersentuhan kulit dengannya. Sebagai orang lain, saya boleh-boleh saja menikahinya. Dan, sebagai orang lain, jika dia hendak menikah dengan lelaki lain, saya tidak boleh menjadi walinya.

Rasulullah bersabda,
مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Siapa yang mengaku-aku anak dari seseorang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa lelaki itu bukanlah bapaknya, maka haram baginya surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dahulu Rasulullah juga mempunyai anak angkat yang sangat beliau sayangi. Namanya Zaid bin Haritsah. Saking sayangnya beliau kepada Zaid, para sahabat biasa menyebut Zaid bin Muhammad. Padahal senyatanya Zaid bukanlah putra Nabi Muhammad, melainkan putra dari Haritsah.

Allah tidak menghendaki itu. Karena itulah Dia memerintahkan para sahabat agar menyebut Zaid bin Haritsah, bukan Zaid bin Muhammad. Firman Allah Ta’ala,

اُدْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ  فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1]....” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 5)

Walaupun secara nasab Zaid tidak boleh disebut sebagai bin (putra) Muhammad, tetapi secara sosial Zaid tetap disayangi oleh Nabi seperti layaknya anak sendiri. Kasih sayang beliau tidak hanya berhenti kepada Zaid. Bahkan, beliau juga sangat menyayangi anak lelaki Zaid, yaitu Usamah bin Zaid.

Sebagaimana kita tahu, dahulu Zaid bin Haritsah dinikahkan oleh Nabi dengan seorang perempuan bernama Zainab binti Jahsy.[2] Akan tetapi, kehidupan rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Mereka bercerai.

Pada zaman itu, masyarakat Arab meyakini bahwa mantan istri dari anak angkat tidak boleh dinikahi oleh ayah angkat. Keyakinan seperti ini jelas keliru. Oleh karena itulah, atas perintah Allah, Kanjeng Nabi mengajarkan bahwa mantan istri dari anak angkat boleh dinikahi oleh ayah angkat. Beliau lalu menikahi Zainab binti Jahsy, janda dari Zaid bin Haritsah.

Selepas bercerai dari Zainab binti Jahsy, Zaid bin Haritsah lalu menikah dengan Ummu Aiman, perempuan yang sangat dihormati Kanjeng Nabi selayaknya anak menghormati ibunya. Dialah perempuan yang menjadi asisten rumah tangga Aminah, ibunda Kanjeng Nabi. Tatkala Aminah meninggal, Ummu Aimanlah yang merawat dan mengasuh Kanjeng Nabi. Dari pernikahan Zaid bin Haritsah dan Ummu Aiman inilah lahir seorang pejuang bernama Usamah bin Zaid.


Mencoba Merunut Silsilah Saya
Untuk merunut dan mencatat silsilah/nasab ternyata tidaklah mudah. Saat catatan sampai pada garis anak, kesulitan belumlah terasa. Tetapi, ketika anak-anak itu kemudian melahirkan anak-anak lagi alias cucu, kemudian lahir dan berkembang pula garis buyut dan seterusnya, di sinilah kesulitan akan terasa.

Saya juga memiliki catatan silsilah dari pihak bapak saya. Entah siapa yang telah merunutnya dan menuliskannya. Yang jelas, kata keluarga saya, catatan itu shahih. Mungkin simbah-simbah dan para orang tua terdahulu memang sabar, tekun, dan telaten menuliskannya.

Berikut garis silsilah saya dari pihak Bapak, Muslih bin Djuremi.



Jika garis silsilah tersebut ditarik dari leluhur yang lebih atas lagi, akan tampaklah garis-garis silsilah seperti ini.



Jangan Bangga dan Sombong!
Setelah mengetahui garis silsilah kita, jangan sampai kesombongan meruntuhkan kerendahan hati kita. Keturunan siapa pun kita, di hadapan Allah itu tiada guna. Hanya ketakwaan yang membuat kita mulia di depan-Nya. Sebaliknya, jika kita durhaka kepada-Nya, walaupun kita keturunan orang mulia, tiada balasan yang tepat kecuali neraka.

firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Anda pernah mendengar nama Kan’an, kan? Dia adalah anak lelaki dari Nabi Nuh. Namun sayang, walaupun keturunan Nabi, dia tidak mau beriman kepada Allah. Dia justru durhaka kepada-Nya sehingga nerakalah balasan baginya.

Oleh karena itu, jika ada seseorang menyombongkan nasabnya atau garis keturunannya, misalnya dengan menyebut “saya ini keturunan Pangeran Diponegoro”, jawab saja “Saya malah keturunan nabi, yaitu Nabi Adam.” Hehe... J

Wallahu a’lam



[1] Maula ialah hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Hudzaifah disebut Salim maula Hudzaifah.
[2] Zainab binti Jahsy adalah sepupu Kanjeng Nabi. Ibunya bernama Umaimah binti Abdul Muththallib. Sementara Kanjeng Nabi adalah putra dari Abdullah bin Abdul Muththallib. Umaimah (ibunda Zainab) dan Abdulllah (ayahanda Kanjeng Nabi) sama-sama putra Abdul Muththallib dari ibu bernama Fathimah binti Amr. Selengkapnya silakan klik link ini: http://nabimuhammad.info/umaimah-binti-abdul-muthalib/

4 comments:

Unknown said...

lengkap banget kangg :) semoga silaturahmi nya tetap terjaga :) saya juga sering di beri pepatah oleh kakek tentang penting nya hala bihala namun sayang nya tahun ini kakek sudah wafat :(

Irham Sya'roni said...

Aamiin... terima kasih doanya, Mas Effendi. Doa pula untuk kakek Mas Effendi, semoga amal baiknya diterima Allah Ta'ala.

Unknown said...

Senengnya bisa kumpul bareng keluarga ya gan! ...

Irham Sya'roni said...

Tentu, Mas.