Sebut saja namanya Pak Dain. Beliau termasuk pemangku jabatan pengayom dan pengayem masyarakat di wilayahku. Tapi bukan PNS, bukan pula pegawai honorer. Jabatan yang beliau emban benar-benar murni pengabdian kepada masyarakat. Masyarakatlah yang memilihnya untuk didaulat sebagai tempat bersandar dan berkeluh kesah manakala ada masalah.
Namun,
sore itu aku benar-benar dibuat tersentak oleh penuturan beliau. Ternyata, saat
warga berkeluh kesah kepadanya tentang beragam masalah, sejatinya ada bertumpuk
masalah pribadi beliau yang justru lebih berat. Namun, beliau mencoba tetap
tegar, tersenyum, dan bijak membantu menyelesaikan masalah warga.
“Serapat-rapatnya
saya menyembunyikan masalah pribadi, ternyata tetap saja ada titik kulminasi ketidaksanggupan
saya untuk menahan beban itu sendirian, Pak,” kesah beliau kepadaku sore itu.
“Saya sudah curhat kepada Tuhan, tetapi sebagai manusia biasa rasanya belum plong
jika belum curhat pula kepada sesama manusia.”
“Memangnya
ada apa, Pak, sepertinya kok penting banget?” tanyaku kepada beliau.
“Sudah
sangat lama sumber pencaharian saya macet, Pak. Namun, saya mencoba tetap bersabar
sambil terus berusaha mencari rezeki sedapatnya. Yach, sekadar untuk makan saya
dan keluarga dalam sehari. Namun, hari ini saya benar-benar kepepet. Ada
kebutuhan yang sangat mendesak, sementara saya tidak mempunyai uang serupiah
pun,” tuturnya dengan wajah yang tidak lagi menyisakan senyum.
Sungguh,
penuturan yang di luar dugaan. Seketika saya tercekat dibuatnya. Pasalnya, setiap
kali bersua beliau, tak sekalipun beliau berbicara tentang diri sendiri. Selalu saja yang
beliau bincangkan adalah tentang masyarakat, umat, dan orang banyak. Namun,
kali ini, beliau benar-benar terdesak sehingga terpaksa berbicara tentang
masalah pribadinya.
“Apa
yang bisa saya bantu, Pak?”
“Sebelumnya
saya minta maaf, saya boleh pinjam uang Pak Irham? Sekali lagi saya mohon maaf,
saya benar-benar kepepet,” ujarnya.
“Pak
Dain tidak perlu meminta maaf. Sebagai sesama manusia kita kan memang
ditakdirkan untuk saling menolong. Jika saya bisa dan mampu, tentu akan saya
bantu. Berapa yang Bapak butuhkan?”
“Dua
ratus ribu rupiah,” jawab Pak Dain singkat.
Seketika
hati saya teriris. Bagaimana tidak, saat para warga berlomba menghamburkan uang
untuk hal-hal yang bukan primer, ternyata tokoh pengayom dan pengayem mereka
justru sedang terimpit masalah keuangan dasar yang teramat akut. Bahkan, semakin
teriris sakit manakala mengingat beberapa hari sebelumnya beliau menyalamiku sambil
berucap lirih, “Ini ada sedikit uang untuk Pak Irham sebagai bisyarah.”
“Loh,
bisyarah apa ini?” ucapku saat itu, sembari menepis tangan Pak Dain yang hendak
menyelipkan selembar amplop ke dalam saku bajuku.
“Ini
tanda terima kasih saya dan para wali santri karena Pak Irham telah merelakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk ngajari anak-anak kami mengaji.”
Demi
melegakan hati dan tidak mengecewakan mereka, aku terima amplop itu. Entah berapa
isinya, aku tidak tahu. Karena, sedari dulu aku memang diajari oleh almarhum al-Walid
(bapak saya) untuk tidak melihat isi amplop dari siapa pun.
“Masukkan
ke dalam lemari tanpa perlu kaulihat isinya!” pesan beliau saat itu. “Atau berikan kepada orang
lain yang membutuhkan; istrimu, tetanggamu, atau siapa saja yang layak kauberi.”
Pak
Dain masih duduk tertunduk di hadapanku.
“Sebentar,
saya tanya istri saya dulu, ya, Pak. Soalnya, istri saya yang lebih tahu tentang kondisi keuangan kami, sebab dialah yang kebagian
tugas memegang dan mengelola semua uang. Ibaratnya, bendahara rumah tangga,” jawabku sambil tersenyum kecil.
Aku
segera undur diri dari hapadan Pak Dain. Aku temui istriku yang tengah sibuk di
dapur.
“Masih
ada uang, istriku?” tanyaku. “Itu Pak Dain sedang butuh bantuan kita.”
“Sebentar,
saya lihat dulu, ya, Mas. Soalnya pengeluaran kemarin cukup banyak,” sahut
istriku sambil berlalu menuju tempat ia menyimpan uang.
“Ini,
Mas, tinggal ini,” ujar istriku seraya mengulurkan amplop kecil berwarna putih kepadaku.
“Kalau tidak salah, ini amplop pemberian Pak Dain beberapa hari lalu,”
imbuhnya.
Kami
lalu membuka amplop tersebut. Ternyata isinya dua ratus lima puluh ribu rupiah.
“Ya,
sudah, yang dua ratus ribu kasihkan Pak Dain, Mas,” kata istriku, mantap. “Saya cukup lima puluh ribu
saja. InsyaAllah, Allah akan menggantinya pada waktu yang lain. ”
Satu
hal yang sampai detik ini masih menyesaki pikiranku, bagaimana harus membantu menstabilkan
perekonomian Pak Dain, sehingga beliau benar-benar total dalam mengabdi kepada masyarakat,
umat, dan orang banyak. Bahkan, sekelebatan muncul pula pikiran buruk, “Apa
jadinya jika suatu ketika Pak Dain, sosok yang dituakan di wilayah kami, tidak kuat menanggung beban hidupnya lalu mengambil
jalan pintas dengan melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang?”
Ah,
itu hanya kekhawatiranku yang berlebihan dan tidak beralasan! Andai aku dan seluruh warga berpadu membantunya, pastilah kekhawatiran burukku itu tidak akan muncul.
***
Ibnu
Abbas berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا
يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ
لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فََرَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Sesungguhnya
Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawaan beliau akan
bertambah pada bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Beliau bertemu
dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk mempelajari Al-Qur'an, dan Rasulullah saw lebih dermawan dari angin yang
bertiup kencang.” (HR. Bukhari)
Dalam
suatu hadits, Rasulullah Saw bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ
مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ
لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidak berkurang harta yang disedekahkan, dan Allah
tidak akan menambahkan kepada seseorang yang suka memaafkan melainkan
kemuliaan, dan tidaklah seseorang bertawadhu (berendah hati) karena Allah
melainkan Allah akan mengangkat derajat orang tersebut.” (HR. Muslim)
***
*)
Semoga pada bulan suci ini banyak hati yang terketuk untuk mendermakan hartanya
demi membantu jutaan Pak Dain di atas bumi Allah ini.
12 comments:
Duh, Ya Allah.. Pak Dain... :')
Semoga semua masalah pribadi Pak Dain dibantu oleh Allah, sebagaimana Pak Dain gemar membantu menyelesaikan masalah orang lain juga karena Allah.
Iya, Mbak Dewi. Terima kasih sudah mengingatkan.
Terima kasih juga atas kunjungannya..
Reminder buat pribadi lebih banyak bersedekah :)
Betul, Mbak Herva, terlebih pada bulan mulia ini, ya...
Terima kasih sudah berkunjung.
Sungguh mulia hati pak dain dan mas Irham ini :) saya kagum terhadap mas Irham yang di ajarkan oleh sang ayah untuk tidak membuka isi amplop pemberian orang lain dan lebih memilih di simpan di dalam lemari dan di buka ketika membutuhkan saja :) kalau orang lain di kasih amplop itu memang tidak langsung di buka namun suka di terawang terawang gtu mas dalam nya warna merah,biru atau hijau :D bagaimana tuh mas dengan orang yang kaya gtu ?
Sebetulnya, setelah kita terima amplop itu dari si pemberi, itu sudah jadi hak kita, Mas. Sudah jadi milik kita. Mau kita intip, mau kita elus-elus, ya gak papa. Kan milik kita. :)
Cuma, (almarhum) ayah saya mengajarkan cara lain yang mungkin lebih beretika. Khususnya untuk melatih bagi hati agar ikhlas. Aktivitas mengajar ngaji tetap jalan; tidak terpengaruh oleh adanya pemberian atau tidak adanya pemberian.
Ohm jadi boleh-boleh saja ya mas kalau misal di intip dulu ? hihi Tergantung gimana ajaran orang tua ya jika orang tua berpesan seperti itu ya sebisa mungkinkita turutin karena orang tua tidak ada yang mengajarkan hal jelek kepada anaknya :) benar mas ngajar ngaji nya niatin aja ibadah apalagi di bulan yang penuh berkah ini :)
Tidak perlu ngintip supaya tidak terpengaruh dengan isinya, Mas. :)
Semoga aktivitas ibadah dan ngaji kita pada bulan ini penuh berkah, ya, Mas..
Iya Pak..klo di kmpung..saya membayangkan pak Dain adalah sosok Rois ..sering diminta bantuan warga dalam hal agama, mendoakan orang meninggal...memimpin upacara doa bersama. Perannya vital, tapi sering termarginalkan dlm hal kesejahteraan..
Insyaalloh, kmi msh ingat untuk berderma Pak..tentunya sesuai kapasitas juga:-)
Kalau di kampungku, di Purwodadi sana, disebutnya "Pak Modin". Kalau di Bantul sini, namanya "Mbah Kaum", ada juga yang menyebut "Rois".
Semangat berderma dan membantu sesama, ya, Mbak. Sesuai kemampuan kita masing-masing. InsyaAllah membuahkan kepuasan dan kebahagiaan di hati karena bisa berbagi.:)
subhanallah, ramadhan memang bulan paling mulia, sangat membantu infonya
Post a Comment