Kitab
ini diberi nama Matan al-Arba’in an-Nawawiyah fi al-Ahadits ash-Shahihah
an-Nabawiyah, yang berarti matan empat puluh hadits yang dikumpulkan oleh
Imam Nawawi berupa hadits-hadits shahih dari beliau shallallahu ‘alahi
wasallam.
Walaupun
diberi judul al-Arba’in, yang berarti 40, kitab ini senyatanya berisi 42
hadits. Pemberian judul al-Arba’in tersebut tentu bertujuan untuk
memudahkan penyebutan, dengan membulatkan 42 menjadi 40 (al-Arba’in).
Secara
fisik, kitab ini sangat kecil dan tipis, yakni hanya sekira 24 halaman. Tetapi,
secara materi, kitab ini memuat kualitas dan pancaran spiritual yang sangat luar
biasa. Tidak mengherankan jika kitab ini terus dikaji oleh umat Islam, utamanya
para santri, sejak abad ke-6 hijriyah sampai sekarang. Bahkan, insya Allah akan
terus ditelaah oleh umat Islam di dunia sampai akhir zaman.
Para
ulama menyebut, seperti inilah karya tulis yang barakah. Tidak usang oleh waktu.
Tidak tersingkirkan oleh zaman. Juga tidak tenggelam oleh kemunculan jutaan karya
tulis baru. Bolehlah saya atau Anda membuat buku setebal ratusan halaman, tetapi
eksistensinya di pasar pembaca mungkin hanya bertahan beberapa tahun. Setelah
itu tidak lagi dikaji atau bahkan tidak lagi diingat keberadaan terbitnya.
Al-Arba’in
dan karya-karya
sejenis lainnya bisa menjadi sedemikian barakah karena memang ditulis oleh
penulisnya atau disusun oleh penyusunnya dengan landasan hati yang suci dan niat
yang ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Sementara karya-karya yang hanya
bertahan beberapa tahun di tangan pembaca, bisa jadi penulisan atau
penyusunannya tidak didasari kesucian hati dan keikhlasan niat. Salah satunya
mungkin adalah saya. Sampai hari ini telah puluhan buku dan karya tulis lain
yang berhasil saya terbitkan. Tetapi, tidak sampai sekian tahun,
tulisan-tulisan saya itu tidak lagi diingat atau dikaji banyak orang. Bisa jadi
karena perhatian pada laporan penjualan buku lebih besar daripada ketulusan
hati saya untuk menyebarkan ilmu Allah.
Saat
membaca muqaddimah kitab al-Arba’in ini saya terperangah
sekaligus takjub terhadap laku tirakat beliau Imam Nawawi dalam menyusun kitab
kecil ini. Dalam muqaddimah tersebut beliau berkata:
وَ قَدِ
اسْتَخَرْتُ اللّهَ تَعَالَى فِيْ جَمْعِ اَرْبَعِيْنَ حَدِيثًا
“Sungguh aku
beristikharah (meminta petunjuk kebaikan) kepada Allah dalam mengumpulkan empat
puluh hadits ini.”
Subhanallah, untuk
menghasilkan karya kecil ini beliau awali dengan laku riyadhah atau tirakat berupa
istikharah. Beliau tentu tidak meminta agar kitabnya ini laris dan terus cetak
ulang. Tentu tidak! Beliau hanya meminta petunjuk kepada Allah agar apa yang
ditulisnya/disusunnya merupakan ilmu yang haqq, tidak menyesatkan umat, bahkan bermanfaat
untuk kebaikan umat.
Sementara aku dan
kawan-kawan penulis lain, selalu merasa angkuh; memulai menulis atau menyusun tanpa
meminta petunjuk kepada Allah sebagaimana Imam Nawawi. Bisa jadi yang menjadi
konsentrasi utama adalah bagaimana buku ini tampak keren, lalu disanjung dan
dibeli banyak orang, kemudian laris dan cetak ulang. Astaghfirullahal ‘azhim,
kepala mendadak tertunduk; malu kepada beliau al-Imam an-Nawawi.
Baca juga:
Mengapa 40 Hadits?
Baca juga:
Mengapa 40 Hadits?
0 comments:
Post a Comment